Sejarah Lahirnya MBS

On Minggu, 03 Oktober 2010 1 komentar

SEJARAH MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Oleh : Mustanan,

I. PENDAHULUAN
Apapun aktivitas yang dilakukan oleh manusia apabila ingin berhasil dengan baik pasti membutuhkan manajemen. Manajemen juga dibutuhkan oleh semua organisasi, karena tanpa manajemen, besar kemungkinan semua usaha akan sia-sia dan pencapaian tujuan akan lebih sulit. Dalam Q.S. al-Hasyr / 59 : 18 Allah swt. Berfirman :
Terjemahnya :
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat tersebut memberi perintah untuk memperhatikan apa yang akan diperbuat untuk hari esok. Serta melakukan evaluasi terhadap amal-amal yang telah dilakukan. Perencanaan (Planning) dan evaluasi (evaluating) merupakan salah satu dari fungsi manajemen. Planning adalah kemampuan untuk merencanakan suatu tindakan yang tepat dan akurat. Untuk memudahkan menyusun rencana tersebut maka harus bisa menjawab rumus 5W+1H yaitu what (apa) yang akan dilakukan, why (mengapa) harus melakukan, when (kapan) melakukan, where (dimana) melakukan, who (siapa) yang melakukan apa, how (bagaimana) cara melakukan. Sedangkan Evaluating adalah suatu proses pengawasan untuk mengukur atau membandingkan antara perencanaan yang telah dibuat dengan pelaksanaan yang telah di capai.
Azhar arsyad dalam bukunya Retorika Kaum Bijak mengemukakan salah satu syair arab yaitu :
Artinya :
Kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang teratur dengan baik (terorganisir).
Syair tersebut menunjukkan begitu pentingnya sebuah manajemen dalam mengatur kehidupan. Siapa yang mampu memperbaiki manajemen hidupnya itulah yang akan sukses. Oleh karena itu setiap pelaku organisasi selalu melakukan inovasi untuk menata manajemen organisasinya, baik organisasi dalam bentuk yang luas seperti Negara, maupun organisasi dalam lingkup yang lebih kecil daripada itu, termasuk bidang pendidikan.
Dewasa ini di Indonesia terjadi perubahan signifikan dalam paradigma manajemen pembangunan nasional. Paradigma tersebut bersumber dari pergeseran orientasi pembangunan dari pendekatan sentralistik ke pendekatan desentralistik. Perubahan ini seiring dengan munculnya tuntutan demokratisasi disamping adanya kesadaran bahwa apapun yang dilakukan hendaknya tetap bertumpuh (berbasis) pada kemampuan sumber daya organisasi hingga ke lapisan bawah. Dengan diberlakukannya otonomi daerah sebagai perwujudan undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka sebagian besar kebijakan pemerintahan pusat dilimpahkan ke pemerintah daerah.
Dengan otonomi dan desentralisasi diharapkan masing-masing daerah termasuk masyarakatnya akan lebih terpacu untuk mengembangkan daerahnya masing-masing agar dapat bersaing. Konsekuansi dari otonomi dan desentralisasi juga terjadi di bidang pendidikan. Muara tujuan dari otonomi di bidang pendidikan adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan Nasional di Indonesia.
Berbagai hal telah dilakukan pemerintah untuk memajukan pendidikan sebagai bentuk implementasi tujuan Pendidikan Nasional. Perhatian pemerintah telah lebih maju dengan melakukan pergeseran orientasi pembaharuan dengan lebih fokus pada penataan menajemen pendidikan. Salah satu contoh terbaik untuk melukiskan hal itu adalah penerapan Manajemen Berbasil Sekolah (MBS). Meskipun konsep ini lebih menekankan pada peningkatan partisipasi warga sekolah dan penyerahan kewenangan seluas-luasnya kepada sekolah dalam mengambil keputusan dalam melaksanakan kegiatannya, namun diyakini bahwa dengan kewenangan dan partisipasi itu, sekolah memiliki keluasan yang cukup besar dalam mengembangkan sekolahnya yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu sekolah.
Konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan salah satu kebijakan nasional yang dituangkan dalam undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 2000-2004, dan termuat dengan jelas dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Manajemen Berbasis Sekolah merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu efesiensi pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dalam membentuk pribadi peserta didik.
Pendekatan manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan salah satu sistem yang secara luas dikenal dalam rangka pemberian kewenangan luas kepada sekolah. Pendekatan ini berpijak pada anggaran dasar bahwa dengan memberi kewenangan dan kemandirian kepada sekolah akan mencipatakan efektifitas dan efisiensi dalam pengelolaan sekolah. Penerapan MBS akan meningkatkan partisipasi warga sekolah (guru, siswa, staf, dan masyarakat) dalam proses pelaksanaan pendidikan sehingga pada gilirannya akan meningkatkan akuntabilitas sekolah pada warganya.

II. PEMBAHASAN
A. Penegertian Manajemen Berbasis Sekolah
Sebelum menjelaskan pengertian Manajemen Berbasis Sekolah maka, terlebih dahulu penulis akan menguraikan pengertian manajemen secara umum. Yang ditemukan di berbagai referensi. Manjemen secara etimologi berasal dari kata to manage (Bahasa Inggris) yang berarti mengatur. dalam Webstr’s New Coolegiate Dictionary kata Manage berasal dari bahasa Itali managgio yang selanjutnya kata ini berasal dari bahasa latin manus yang berarti tangan (hand). Tangan di sini dapat dipahami sebagai suatu kecakapan dalam mengelola sesuatu.
Secara terminology manajemen adalah suatu proses atau kerangka kerja yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang-orang kearah tujuan organisasional atau maksud-maksud yang nyata. Istilah manajemen mengacu pada proses mengkoordinasi dan mengintegrasikan kegiatan-kegiatan kerja agar diselesaikan secara efisien dan efektif melaui orang lain. Manajemen dipahami sebagai kemampuan atau keterampilan melakukan suatu proses dengan cara sistematis dalam melaksanakan pekerjaan.
Manajemen sering pula diartikan sebagai ilmu, kiat dan profesi. Dikatakan sebagai ilmu karena menejemen dipandang sebagai suatu bidang pengetahuan yang secara sitematik berusaha memahami mengapa dan bagaimana orang bekerja sama. Dikatakan sebagai kiat karena manajemen mencapai sasaran melaui cara-cara dengan mengatur orang lain menjalankan tugas. Dikatakan sebagai profesi karena manajemen dilandasi oleh keahlian khusus untuk mencapai suatu tujuan. Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan dalam melaksanakan suatu aktifitas dengan mengguanakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan.
Semua bidang kehidupan pasti memerlukan manjemen dalam melaksanakan kegiatannya, termasuk dalam bidang pendidikan. Kini dunia pendidikan telah menerapkan sutu konsep manajemen yang dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Secara leksikal Manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya yang berdasar pada sekolah itu sendiri dalam proses pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan .
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Secara umum dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah . Dengan pengertian itu sekolah memiliki kewenangan lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu dan melakukan evaluasi peningkatan mutu). Jadi sekolah merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedangkan unit di atasnya merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Pengambilan keputusan partisipatif yang diterapkan dalam MBS adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik. Warga sekolah didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berkonstribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan dalam pengambilan keputusan, maka dia akan mempunyai rasa memiliki terhadap keputusan tersebut, sehingga juga akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah.
Slamet PH. Dalam Syaifuddin mengemukakan bahwa Manajemen berbasis sekolah merupakan pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otonom melalui sejumlah infut manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Kelompok kepetingan yang dimaksud tersebut meliputi : kepala sekolah beserta wakil-wakilnya, guru, siswa konselor, tenaga administratif, orang tua siswa, tokoh masyrakat, para profesional, wakil pemerintah, serta wakil oraganisasi pendidikan.
Secara luas MBS berarti pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah pada tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Apabila dipahami secara sempit maka MBS meletakkan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan dari pemerintah daerah ke kepada sekolah, yang, yang menyangkut bidang anggaran, personel dan perumusan tujuan sekolah. Oleh karena itu MBS memberikan hak kontrol yang lebih besar dalam proses pendidikan dan memberikan mereka tanggung jawab untuk mengambil keputusan.
Menurut Umaedi dalam B. Suryosubroto menjelaskan bahwa MBS adalah konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing-masing berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Dalam penjelasan pasal 51 undang-undang sistem pendidikan nasional MBS diartikan dengan Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Yang dmaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hat inl kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendldikan.
Dari berbagai pengertian yang telah dikemukakan di atas maka dapat dipahami bahwa Manajemen Berbsasis Sekolah merupakan bentuk pengelolaan sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai dengan adanya otonomi yang luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan lingkungan setempat.
B. Sejarah Munculnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
1. Manajemen Berbasis Sekolah di Negara-Negara Maju
Negara Inggris Raya, New Zealand, beberapa negara bagian di Australia, dan Amerika Serikat adalah negara yang pertama kali pada tahun 1970-an telah menerapkan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam agenda pembangunan pendidikannya. Pada tahun 1990-an, kebijakan MBS kemudian diadopsi di negara-negara Asia, termasuk wilayah Hongkong, Sri Langka, Korea, Nepal, dan dunia Arab. Daerah Eropah Timur, revolusi politik pada tahun 1990-an telah menimbulkan perubahan dalam kebijakan pendidikan, yang kemudian merambat ke daerah Afrika, kawasan Latim Amerika, dan negara-negara berkembang lainnya di seluruh dunia.
Munculnya MBS tidak terlepas dari upaya-upaya untuk memperbaiki mutu pendidikan di suatu negara. Sejak tahun 60-an dan 70-an banyak sekali inovasi yang telah dilakukan, misalnya pengenalan kurikulum baru, pendekatan baru dan metode baru dalam proses pembelajaran, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Baru ketika tahun 80-an, saat terjadi perkembangan manajemen dalam dunia industri dan organisasi komersial mencapai sukses, maka para pakar pendidikan pun percaya bahwa untuk memperbaiki mutu pendidikan, perlu ada lompatan pemikiran dari lingkup pengajaran di dalam kelas secara sempit ke lingkup organisasi sekolah. Lompatan pemikiran yang dimaksud tersebut adalah perubahan dalam struktur dan gaya manajemen sekolah dengan mengadopsi aplikasi manajemen modern.
Setelah adanya kesadaran itu muncullah berbagai gerakan reformasi seperti gerakan sekolah efektif (effective scholl), ada gerakan anggaran sekolah mandiri (self budgeting school) yang menekankan otonomi penggunaan sumber dana sekolah. Ada juga pengembangan kurikulum berbasis sekolah (school based curriculum development), pengembangan staf berbasis sekolah (school based staff develovment) serta bimbingan siswa berbasis sekolah (scholl based student counseling). Gerakan reformasi yang menggunakan pendekatan berbeda-beda itu kemudian melahirkan satu konsep dengan istilah Manajemen Berbasis Sekolah.
Lahirnya MBS di suatu Negara tetap berdasarkan dengan sistem pendidikan yang ada sebelumnya. Di Hongkong misalnya kemunculan MBS dilatar belakangi kondisi pendidikan yang kurang baik sehingga perlu adanya perbaikan sistem pendidikan. MBS di sebut dengan the School Management Initiative. Di Kanada kemunculan MBS menggunakan istilah School Site Decision Making, yang didasari dengan adanya kelemahan dari pendekatan fungsional yang mengontrol dan membatasi partisipasi bawahan. Agar kekuatan bawahan menjadi suatu kekuatan yang nyata maka perlu dilembagakan yaitu dalam bentuk MBS.
Di Amerika Serikat kemunculan MBS disebabkan masyarakat mulai mempertanyakan relevansi dan korelasi hasil pendidikan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Saat itu kinerja sekolah-sekolah di negeri paman sam itu dianggap tidak sesuai dengan tuntutan yang dibutuhkan oleh siswa untuk terjun ke dunia kerja. Setelah dianggap tidak mampu memberikan hasil maksimal dalam konteks kehidupan kompetitif secara global. Salah satu indikasinya adalah perstasi siswa untuk beberapa mata pelajaran tidak memuaskan. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka langkah yang ditempuh adalah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah sehingga menghasilkan kinerja sekolah yang baik. Hal itu dapat dipahami bahwa penerapan MBS di Amerika terjadi setelah masyarakat dan pemerintah menyadari pentingnya pendidikan di masa depan.
Lahirnya MBS di Inggris berawal dari inisiatif reformasi pendidikan yang kemudian diakomodir dalam undang-undang pendidikan (education art) antara lain berisi adanya kurikulum inti nasional, adanya ujian nasional serta pelaporan nasional. Kontrol terhadap anggaran sekolah diberikan kepada lembaga pengelola/pengawas beserta para kepala sekolah. Selain itu juga memberikan pilihan kepada orang tua dengan cara meningktkan diversifikasi dan meningktkan akses terhadap sekolah. Sementara itu bantuan dana pendidikan dari pemerintah pusat diberikan langsung kepada sekolah-sekolah. Dengan dasar inilah sehingga di inggris MBS dikenal dengan istilah grant maintained school (GMS). Atau manajemen swakelola pada tingkat lokal.
Reformasi bidang pendidikan seperti ini juga terjadi di Negara-negara maju lainnya seperti Australia, Francis, New Zeland dan sebagainya. Dari uraian tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa meskipun konsep dan motif penerapan MBS di berbagai Negara mempunyai perbedaan, akan tetapi rata-rata dilatar belakangi oleh beberapa hal yaitu :
a. Terjadinya ketimpangan kekuasaan dan kewenangan yang terlalu terpusat pada atasan dan mengesampingkan bawahan
b. Kinerja pendidikan yang tidak kunjung membaik bahkan cenderung menurun.
c. Adanya kesadaran para birokrat dan desakan dari para pecinta pendidikan untuk merekunstrukturisasi pengeloalaan pendidikan.
d. Untuk melibatkan semua warga sekolah dalam mengambil kebijakan dan merumuskan tujuan sekolah.
2. Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia
Di Indonesia latar belakang munculnya MBS tidak jauh berbeda dengan Negara-Negara maju yang lebih dulu menerapkannya. Perbedaan yang mencolok hanya lambatnya kesadaran para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia. Negara maju sudah banyak mengadakan reformasi pendidikan pada tahun 1970-an sampai tahun 1980-an, sementara Indonesia reformasi pendidikan tersebut terjadi 30 tahun kemudian.
Di Indonesia munculnya gagasan MBS sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Pengelolaan pendidikan di Indonesia selama ini sangat bersifat sentralistik, di mana pusat sangat dominan dalam pengambilan keputusan, sebaliknya daerah dan sekolah bersifat fasif hanya sebagai penerima dan pelaksana perintah pusat. Pola kerja sentralistik itu sering mengakibatkan adanya kesenjangan antara kebutuhan ril sekolah dengan perintah dengan perintah atau apa yang digariskan oleh pusat. Sistem sentralistik dinilai kurang bisa memberikan pelayanan yang efektif dan tidak mampu menjamin kesinambungan kegiatan lokal. Oleh karena itu perlu adanya formula baru dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia. Formula baru itu memungkinkan sekolah memiliki otonomi yang seluas-luasnya, yang menuntut peran serta masyarakat secara optimal. Dengan dasar inilah muncul penerapan MBS di Indonesia.
Penerapan MBS di Indonesia diawali dengan dikeluarkannya undang-undang No.25 tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional tahun 2000-2004. Konsep MBS ini kemudian tertuang dengan jelas dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 51 Yaitu :
1. Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.
2. Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.
Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia menggunakan model Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) muncul karena beberapa alasan antara lain, pertama, sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemampaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya. Kedua sekolah lebih mengetahui kebutuhannya. Ketiga, keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat mencipatakan transparansi dan demokrasi yang sehat. MBS adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh Karena itu MBS di Indonesia merupakan pola baru dalam di dunia pendidikan yang diharapkan dapat memberikan angin segar terhadap peningkatan mutu pendidikan.
C. Tujuan dan Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah
1. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk memberdayakan sekolah, terutama sumber daya manusia. Melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan. Sedangkan menurut Supriono Subakir dan Achmad Sapari bahwa tujuan utama penerapan MBS adalah untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan dan meningkatkan relevansi pendidikan di sekolah, dengan adanya wewenang yang lebih besar dan lebih luas bagi sekolah untuk mengelola urusannya sendiri. MBS akan meningkatkan kualitas keputusan tentang pendidikan karena keputusan itu dibuat oleh orang yang paling mengerti tentang sekolah. Partisipasi dalam mengambil keputusan akan menghasilkan tingkat komitmen yang tinggi.
Menurut Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia seperti yang dikutif Nurkolis menyatakan bahwa tujuan MBS dengan model manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah adalah :
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah tanpa mengabaikan kebijakan dan prioritas sekolah.
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada sekolahnya
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Tujuan lain Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang dinyatakan dalam GBHN. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, messo maupun mikro.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum tujuan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah adalah untuk memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh warga sekolah dalam kerangka meningkatkan kualitas pendidikan. MBS memberikan kewenangan yang luas kepada kepala sekolah dalam mengelola sekolah tanpa mengabaikan kebijakan dan prioritas pemerintah.
2. Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Salah satu manfaat MBS adalah memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar kepada sekolah disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otooimi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat sekolah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugas.
Menurut Nurkolis penerapan Manajemen Berbasis sekolah mempunyai beberapa manfaat atau keuntungan yaitu :
a. Secara formal MBS dapat memahami kehlian orang-orang yang bekerja di sekolah. Keahlian dan kemapuan personil sekolah itu dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran.
b. Meningkatkan moral guru. Moral guru akan meningkat karena adanya komitmen dan tanggung jawab dalam setiap pengambilan keputusan. Selanjutnya guru akan mendukung dengan sepenuh tenaganya untuk mencapai tujuan.
c. Keputusan yang diambil oleh sekolah memiliki akuntabilitas. Hal ini terjadi karena konstituen sekolah memiliki andil yang cukup dalam setiap pengambilan keputusan. Akhirnya mereka dapat menerima konsekuensi atas keputusan yang diambil dan memiliki komitmen untuk mencapai tujuan yang ditetapkan bersama.
d. Menyesuaikan sumber keuangan terhadap tujuan instruksional yang dikembangkan di sekolah. Keputusan yang diambil pada tingkat sekolah akan lebih rasional karena mereka tahu kekuatannya sendiri, terutama kekuatan keuangannya.
e. Menstimulasi pemimpin baru di sekolah. Pengambilan keputusan di sekolah tidak akan berjalan tanpa adanya perang seorang pemimpin. Dalam MBS pemimipn akan muncul dengan sendirinya tanpa menunggu penunjukan dari birokrasi pendidikan.
f. Meningkatkan kualitas, kuantitas dan fleksibilitas komunikasi tiap komunitas sekolah dalam rangka mencapai kebutuhan sekolah. Kebersamaan dalam setiap pemecahan masalah di sekolah telah memperlancar arus komunikasi di antara warga sekolah.
Pendapat lain mengemukakan bahwa penerapan MBS memberi manfaat yang lebih besar. Manfaat-manfaat tersebut adalah pertama, memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang dapat memperbaiki pembelajaran. Kedua, memberikan kesempatan kepada seluruh komunitas sekolah untuk memberikan keputusan utama. Ketiga, mempokuskan pada akuntabilitas keputusan. Keempat, mengerahkan pada adanya kretivitas dalam mendesain program. Kelima, menggerakkan kembali sumber daya guna mendukung pencapaian tujuan yang dikembangkan oleh masing-masing sekolah. Keenam, mengarahkan pada penganggaran yang realistik karena orang tua dan guru semakin menyadari stautu keuangan sekolah, batasan pengelauaran dan pembiayaan program. Ketujuh, meningktakan moralitas guru dan memelihara munculnya pemimpin baru.
Secara umum manfaat MBS adalah menekankan keterlibatan maksimal berbagai pihak, sehingga mnjamin partisiasi staf, orang tua, peserta didik dan masyarakat yang lebih luas dalam perumusan-perumusan keputusan tentang pendidikan. Selanjutunya aspek-aspek tersebut pada akhirnya akan mendukung efektivitas dalam mencapai tujuan sekolah. Adanya control dari masyarakat dan monitoring dari pemerintah, pengelolaan sekolah menjadi lebih akuntabel, transparan, egaliter, dan demokratis serta menghapuskan monopoli dalam pengelolaan pendidikan.

Teori Belajar

On 0 komentar

Macam-Macam Teori Yang Mendasari Pembelajaran
oleh : Mustanan
Dalam kegiatan pembelajaran, kita tidak dapat melepasakan diri dari berbagai teori-teori psikologi yang memiliki hubungan erat dengan permasalahan tersebut. Dikatakan demikian karena yang melakukan kegiatan pembelajaran itu adalah manusia yang memiliki keunikan dibandingkan dengan mahluk-mahluk lain dan hanya manusialah yang dapat melakukan kegiatan pembelajaran itu.
Banyak teori yang membahas tentang terjadinya perubahan tingkah laku, namun demikian setiap teori itu berpangkal dari pandangan tentang hakikat manusia yaitu hakikat manusia menurut pandangan Jhon Locke dan hakikat manusia menurut Leibnitz. Menurut Jhon Locke manusia itu adalah manusia yang fasif. Dengan teori Tabularasanya Jhon Locke mengannggap bahwa manusia adalah seperti kertas putih, hendak ditulisi apa kertas itu tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan yang mendasar tentang hakikat manusia itu, memunculkan aliran belajar Behavioristik-Elementeristik.
Berbeda dengan pandangan Locke, Leibnitz menganggap bahwa manusia adalah organisme yang aktif. Manusia merupakan sumber dari semua kegiatan. Pada hakikatnya manusia bebas untuk berbuat, manusia bebas untuk membuat pilihan dalam setiap situasi. Titik pusat kebebasan tersebut adalah kesadarannya sendiri. Menurut aliran ini tingkah laku manusia hanyalah ekspresi yang dapat diamati sebagai akibat dari eksistensi internal yang pada hakikatnya bersifat pribadi. Pandangan hakikat manusia menurut pandangan Leibnitz ini kemudian melahirkan aliran belajar Koginitif holistik.
Berangkat dari konsep manusia yang berbeda dalam menjelaskan terjadinya prilaku, kedua aliran teori belajar yaitu aliran behavioristik elementeristik dan aliran kognitif holistik memiliki perbedaan pua. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Teori Belajar Behavioristik Teori Belajar Kognitif
- Mementingkan pengaruh lingkungan - Mementingkan apa yang ada dalam diri
- Mementingkan Bagian-Bagian - Mementingkan Keseluruhan
- Mengutamakan Peranan Reaksi - Mengutamakan Fungsi Kognitif
- Hasil Belajar Terbentuk Secara Mekanis - Terjadi keseimbangan dalam diri
- Dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu - Tergantung pada kondisi saat ini
- Mementingkan pembentukan kebiasaan - Mementingkan terbentuknya struktur kognitif
- Memecahkan masalah dilakukan dengan trial and error - Memecahkan masalah didasarkan oleh insight
Berpangkal dari pandangan Jhon Locke dan Leibnitz tersebut di atas melahirkan dua teori pembelajaran yaitu Teori Pembelajaran Behavioristik dan Teori Pembelajaran Koginitif. Untuk memahami kedua teori tersebut, selanjutnya akan dibahas lebih jauh.
1. Teori Behaviorisme
Teori Belajar Behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran Behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori Behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata.
Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku. Artinya bahwa anak (peserta didik) sebagai organisme yang merespon terhadap stimulus dari dunia sekitarnya. Teori ini lebih dikenal dengan istilah stimulus (S), respon (R), dan organisme (O), yang disingkat dengan istilah S-O-R.
Teori Behaviorisme sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat diamati atau diukur. Teori-teori dalam rumpun ini bersifat molekular, karena memandang kehidupan individu terdiri dari unsur-unsur seperti halnya mulekul-molekul. Ada beberapa ciri dari rumpun teori ini yaitu :
a. Mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil
b. Bersifat mekanistis
c. Menekankan peranan lingkungan
d. Mementingkan pembentukan reaksi atau respon
e. Menekankan pentingnya latihan.
Fungsi guru dalam kaitannya dengan teori ini adalah menyajikan stimulus tertentu yang dapat membangkitkan respon peserta didik berupa hasil belajar yang diingingkan. Untuk mengatur proses stimulus-respon secara sitematis, bahan pelajaran harus dipilah-pilah menjadi butir-butir informasi lalu diurut secara tepat, dimulai dari yang sederhana sampai kepada yang paling kompleks.
Teori behaviorisme ini melahirkan beberapa anak teori yaitu :
a. Teori Koneksionisme
Teori pembelajaran koneksionisme (connectionism) ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike sekitar tahun 1913. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain adalah merupakan suatu hubungan antara peransang-jawaban atau stimulus-respons, maka pembelajaran merupakan pembentukan hubungan stimulus-respons sebanyak-banyaknya. Teori ini mempunyai doktrin pokok yakni hubungan antara stimulus dan respons, asosiasi-asosiasi dibuat antara kesan-kesan pandangan dan dorongan untuk berbuat. Ikatan atau koneksi-koneksi dapat diperkuat atau diperlemah serasi dengan dengan banyaknya penggunaan dan pengaruh dari penggunaan itu.
Teori ini menyebut asosiasi antara kesan indrawi dan inpuls dengan tindakan sebagai ikatan atau koneksi. cabang-cabang asosiasionisme sebelumnya telah berusaha menunjukkan bagaimana ide-ide menjadi saling terkait. Menurut Thorndike bentuk paling dasar dari proses belajar adalah trial and error learning (belajar dengan uji coba) atau yang disebutnya selecting and connecting (pemilihan dan pengaitan).
Thorndike dalam penelitiannya yang menghasilkan teori koneksionisme ini mengemukakan tiga perinsip atau hukum dalam belajar yaitu (1) law of readiness, belajar akan behasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut; (2) law of exersice, yaitu belajar akan berhasil apabila banyak latihan dan ulangan; (3) law of effect, belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik.
Hasil penelitian Thorndike di atas dapat dipahami bahwa siapa yang menguasai stimulus-respons sebanyak-banyaknya ialah orang pandai atau berhasil dalam belajarnya. Pembentukan hubungan stimulus – respons ini dilakukan melalui ulangan-ulangan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan belajar dan pembelajaran akan berhasil dan berkesan lama serta tersimpan dalam memori peserta didik apabila dilakukan secara berulang-ulang.
b. Teori Classical Conditioning (Pengkondisian)
Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) dikembangkan berdasarkan hasil eksprimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936) seorang ilmuwan besar Rusia yang berhasil meraih hadiah nobel pada tahun 1909. Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut. Pavlov berspekulasi bahwa setiap kejadian di lingkungan berhubungan dengan beberapa titik di otak dan saat kejadian ini dialami, ia cenderung menggairahkan atau menghambat aktivitas otak. Jadi otak terus dirangsang atau dihambat tergantung apa yang dialami oleh organisme.
Pavlov melakukan percobaan dengan seekor anjing. Bentuk percobaannya, Pavlov ingin membentuk tingkah laku tertentu pada anjing. Sebelum diberikan makanan kepada anjing terlebih dahulu dibunyikan lonceng dan setelah melihat makanan air liur anjing keluar. Keadaan ini diulang terus menerus. Setelah beberapa kali dilakukan ternyata pada akhirnya setiap lonceng berbunyi air liur anjing keluar walaupun tanpa diberi makanan.
Dari eksprimen tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian tetentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam pancingan yang dapat menumbuhkan tingkah laku.
c. Teori Operant Conditioning
Teori operant conditioning yang dikembangakan oleh Skinner merupakan pengembangan dari teori stimulus respons. Skinner membedakan dua macam respons yaitu respondent response dan operant response. Respondent response adalah respons yang ditimbulkan dengan peransang-peransang tertentu , misalnya peransang stimulus makanan menimbulkan keluarnya air liur.
Skinner membedakan dua jenis prilaku yaitu responden behavior (prilaku responden), yang ditimbulkan oleh suatu stimulus yang dikendali, dan operant behavior (prilaku operan), yang tidak diakibatkan oleh suatu stimulus yang dikenal tetapi dilakukan sendiri oleh organism. Respons yang terkondisikan (bersyarat) atau uncondisioned respons adalah contoh dari prilaku responden adalah semua gerak refleks, seperti menarik tangan ketika tertusuk jarum, menutupnya kelopak mata ketika terkena cahaya yang menyilaukan dan keluarnya air liur ketika melihat makanan.
Operant response adalah respons yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh peransang-perangsang tertentu. Peransang yang demikian yang disebut reinforser karena peransang tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Jadi dengan demikian peransang tersebut mengikuti dan memperkuat suatu tingkah laku yang telah dilakukan. Misalnya, jika seseorang telah belajar melakukan sesuatu lalu mendapat hadiah maka ia akan menjadi lebih lebih giat dalam belajar.

2. Teori Belajar Kognitif

Teori belajar kognitif dikembangkan oleh para ahli psikologi kognitif. Teori ini berbeda dengan behaviorisme, bahwa yang utama pada kehidupan manusia adalah mengetahui bukan respons. Dalam proses pengembangan teori Kognitif terdapat tiga aliran teori yaitu teori Gestal, teori Medan, dan teori Konstruktivisme.
a. Teori Gestal
Teori Gestalt dikemukakan oleh Koffkka dan Kohler dari Jerman yang sekarang menjadi tenar di seluruh dunia. Menurut teori Gestalt belajar adalah proses mengembangkan insigh. Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori behavioristik yang menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat mekanistis, sehingga mengabaikan peranan insight. Teori Gestalt justru mengungkap bahwa insight adalah inti dari pembentukan tingkah laku.
Kohler sebagai penemu teori ini melakukan eksprimen dengan menyimpan simpanse pada sebuah jeruji. Dalam jeruji itu disediakan sebuah tongkat, dan di luar jeruji disimpan sebuah pisang. Setelah dibiarkan beberapa lama ternyata simpanse dapat meraih pisang yang ada diluar jeruji dengan menggunakan tongkat yang disediakan itu.
Dari percobaan tersebut simpanse mampu mengembangkan insight, artinya dia dapat menangkap hubungan antara jeruji, tongkat dan pisang. Ia memahami benar bahwa pisang adalah makanan, ia juga memahami bahwa tongkat dapat digunakan meraih yang berada di luar jeruji. Inilah hakikat belajar. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa belajar terjadi karena adanya kemampuan menangkap makna serta keterhubungan makna antara komponen yang ada dengan lingkungan sekitarnya.
Insight yang merupakan inti dari belajar menurut teori Gestalt memiliki ciri-ciri yaitu :
1) Insight tergantung dari kemampuan dasar, sedangkan kemampuan dasar tergantung kepada usia dan posisi yang bersangkutan dalam kelompok.
2) Insight tergantung dari pengalaman masa lampau yang relevan.
3) Insight hanya timbul apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa.
4) Apabila insight telah diperoleh maka dapat digunakan untuk menghadapi persoalan dalam situsi yang lain.
Para ahli yang menganut teori ini menganggap peserta didik bukan hanya sekedar objek dalam pembelajaran, tetapi juga sebagai objek didik, dengan pengertian lain anak dianggap sentral dalam proses tersebut. Dengan kata lain anak tumbuh dalam bentuk keseluruhan organisme-nya, perubahan pada satu bagian akan berpengaruh pada keseluruhan pribadi anak.
b. Teori Medan
Teori medan di kembangkan oleh Kurt Lewin. Sama dengan teori Gestalt, toeri medan menganggap bahwa belajar adalah proses pemecahan masalah. Beberapa hal yang yang berkaitan proses pemecahan masalah menurut Lewin dalam belajar adalah :
1) Belajar adalah Perubahan Struktur Kognitif.
Setiap orang dapat memecahkan masalah jika ia bisa mengubah struktur kognitif. Permasalahan yang sering dijadikan contoh adalah sebagai berikut :
Ada Sembilan buah titik. Hubungkan kesembilan titik tersebut dengan empat buah tarikan garis tanpa mengangkat tangan !
Orang yang melihat sebilan buah titik sebagai sebuah bujur sangkar akan sulit memecahkan persoalan tersebut. Oleh karena itulah agar Sembilan buah titik dapat dilewati dengan empat buah tarikan garis, kita harus, kita harus mengubah struktur koginitf kita, bahwa Sembilan titik itu bukan sebuah bujur sangkar.
2) Pentingnya Motivasi.
Para ahli berpendapat bahwa motivasi adalah prilaku manusia yang berasal dari kekuatan mental umum, insting, dorongan, kebutuhan, proses kognitif, dan interaksi. Motivasi adalah paktor yang dapat, mendorong setiap individu untuk berprilaku. Motivasi muncul karena adanya daya tarik tertentu. Misalnya, nilai merupakan sesuatu yang dapat menjadi daya tarik seseorang (motivator) akan tetapi, untuk mendapatkan nilai yang baik itu misalnya belajar dengan giat, melaksanakan setiap tugas, merupakan hal yang tidak menarik.
Oleh karena itu sering untuk mengejar daya tarik itu seseorang melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan, misalnya menyontek, menjiplak tugas dan sebagainya. Untuk menghindari hal tersebut diperlukan pengawasan yang memadai. Itulah sebabnya selain diperlukan paktor pendorong melalui hadiah juga diperlukan hukuman terutama apabila terjadi gejala-gejala prilaku yang tidak sesuai.
Di samping hal tersebut di atas motivasi juga bisa muncul karena pengalaman yang menyenangkan, misalnya pengalaman kesuksesan. Seseorang yang mengalami keberhasilan mencapai sukses seperti berhasil meraih angka tertinggi dari suatu tes, maka yang bersangkutan akan termotivasi untuk melakukan tindakan lebih bagus, ia akan lebih senang, gembira, dan merasa puas. Sebaliknya, seseorang yang gagal meraih sukses akan merasah sedih, malu, tidak mersa puas, yang pada gilirannya akan melemahkan motivasi mereka untuk bertindak lebih lanjut.
c. Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme ini dikembangkan oleh Piaget pada pertengahan abad ke 20. Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor, anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan.
Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner.
Piaget berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna, sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna.
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Dalam hal tersebut Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut.

PENTINGNYA SILATURAHIM

On Sabtu, 02 Oktober 2010 0 komentar

ada sebuah cerita, entah cerita ini adalah fiktif atau sebuah relita yang jelas cerita ini layak kita mengambil i'tibar kepadanya.
di sebuah kampung terdapat seorang yang setengah baya. orang tersebut bernama pak Hadi. pak hadi adalah seorang yang ahli ibadah, dia sangat kuat beribadah kepada Allah, shalat wajibnya tidak pernah bolong dia juga rajin shalat tahajjud, disamping itu puasa sunnatnya juga gencar.
suatu ketika kampung pak hadi dilanda banjir bandang sampai semua warga kampung meninggalkan kampungnya, mereka mengungsi menyelamatkan diri.
ketika lewat di depan rumanya pak hadi para warga kampung memanggil pak hadi "pak hadi........! mari kita pergi mengungsi karena banjir semakin besar, namun pak hadi menjawab "pergilah kalian selamtkan dirimu karena saya sedang menunggu pertolongan Allah". pak hadi sangat yakin ditolong oleh Allah karena ia adalah ahli ibada.
lama kemudian banjir semakin besar, datang lagi tim SAR melalui helikopternya, menurunkan tali kepada pak Hadi, tim SAR berkata : "pak hadi.........! peganglah pada tali ini saya akan menarik kamu naik ke helikopter". namun jawaban pak hadi masih sama, "Selamatkan saja yang lain karena saya sedang menunggu pertolongan ALLah".
akhirnya banjir semakin besar, rumah pak hadi pun terseret banjir. ketika pak hadi ikut terseret banjir dia berteriak "yaa..Allah kenapa kamu mematikan saya seperti orang durhaka dan orang kafir padahal saya adalah hamba-Mu yang sangat taat beribadah kepadamu. pada saat itu pak hadi mendengarkan suara gaib yang mengatakan " saya suadah dua kali datang menolongmu, pertama saya bersama orang kampung dan yang kedua saya bersama tim SAR, namun kamu tidak mempedulikannya."
kesimpulan yang bisa kita petik dari cerita ini bahwa Allah tidak mungkin turun dengan wujudnya menolong hamba-Nya, akan tetapi pertolongan Allah melalui sesama manusia.
jadi apabila ada orang yang banyak memutuskan siaturahim dengan sesamanya maka berputus pulalah pertolongan Allah pada kita.oleh karena itu marilah senantiasa mempererat silaturahim, sambung yang putus, luruskan yang bengkok, dan leraikan yang kusut.

Ilmu, Pengetahuan dan Teknologi menurut islam

On 0 komentar

Ilmu, pegetahuan dan teknologi merupakan kebutuhan pokok yang sangat penting bagi umat manusia, di dalam al-Qur'an sendiri ayat yang pertama turun adalah Q.S. Al-‘Alaq (96) : 1-5 yang menjelaskan tentang perintah membaca. Dengan demikian Allah memberi isyarat bahwa ilmu adalah landasan utama dalam melaksanakan segala bentuk aktifitas. Sebagai kenyataan kehidupan, Franz Rosenthal, melihat bahwa pada zaman abad pertengahan, ilmu berkembang menjadi konsep yang sangat sentral dalam masyarakat muslim. Sebenarnya tidak ada satu konseppun, yang secara operatif berperan menentukan dalam pembentukan peradaban (kebudayaan) manusia di segala aspeknya, yang sama dampaknya dengan konsep ilmu.
Di abad modern saat ini, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang pesat namun pada kenyataannya perkembangan pesat itu telah terjaadi sekat-sekat ilmu pengetahuan, Sebagian menganggap ilmunya lebih baik dari yang lain. Oleh karena itulah dalam hal ini dibutuhkan suatu penyeimbang yaitu Agama. Agama tidak kalah pentingnya bagi kehidupan umat manusia. Agama di samping sebagai spirit peradaban, juga sebagai penyeimbang ilmu pengetahuan, agar tetap dalam rel-rel kemanusiaan. Agama membawa manusia pada suatu tingkat di mana ia menjadi sempurna dibandingkan dengan mahluk-mahluk lain dimuka bumi ini. Betapa manusia hanya hewan yang berakal, tanpa dilandasi agama.
Demikian urgensi ilmu, pengetahuan dan teknologi sehingga perlu pembahasan lebih lanjut yang insya Allah penulis uraikan dalam makalah ini, dengan mengacu pada berbagai literatur yang ada.

Ilmu, pengetahuan dan teknologi menurut islam

On 0 komentar

ILMU, PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
Oleh :Mustanan, S.Pd I


I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Sepanjang sejarah umat manusia, ilmu pengetahuan menjadi hal yang sangat penting untuk keperluan hidupnya. Hampir-hampir manusia tidak akan dapat bertahan hidup tanpa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan berkembang sejalan dengan sejarah peradaban umat manusia. Bersama peradaban umat manusia tersebut, ilmu pengetahuan membuktikan dirinya sebagai fasilitas utama manusia da1am menghadapi segala tantangan.
Sejarahpun mengungkap tentang bagaimana umat manusia dapat menghadapi seleksi alam yang sangat ganas. Kisah petualangan umat manusia dibuktikan dengan survivenya keturunan mereka sampai sekarang. Bangunan-bangunan sejarah di penjuru dunia masih dapat disaksikan, karya-karya gemilang abad-abad yang lalu masih tersisa sampai sekarang. Semua itu merupakan saksi-saksi bahwa betapa manusia membangun dan mempertahankan dirinya dengan ilmu, pengetahuan dan juga teknologi.