PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

On Minggu, 05 Desember 2010 0 komentar

Oleh : MUSTANAN

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara alami manusia selalu menghadapi masalah dalam kehidupannya yang harus diselesaikan. Masalah dalam pembelajaran termasuk dalam mata pelajaran sejarah merupakan suatu keharusan yang harus diselesaikan dalam menghadapi dunia yang tidak menentu. Karena itu selayaknyalah jika manusia termasuk peserta didik pada khususnya perlu berlatih menyelesaikan masalah. Pendidikan tidak hanya mengajarkan fakta dan konsep, tetapi juga harus membekali peserta didik untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan ini. Dengan kondisi dan situasi yang demikian ini, pembelajaran yang semestinya disusun ialah berdasarkan masalah.
Dilihat dari aspek filosofis tentang fungsi sekolah sebagai wadah untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat hidup di masyarakat, maka Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) memungkinkan dan sangat penting untuk dikembangakan. Hal ini disebabkan pada kenyataannya setiap manusia akan selalu dihadapkan kepada masalah. Mulai masalah yang sederhana sampai kepada masalah yang kompleks. Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah inilah diharapkan dapat memberikan latihan dan kemampuan setiap individu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Metode ceramah yang dipergunakan dalam pembelajaran secara umum dan pembelajaran sejarah pada khususnya selama ini menyebabkan peserta didik terpaku mendengarkan cerita dan betul-betul membosankan, situasi pembelajaran diarahkan pada learning to know, dan permasalahan yang disampaikan cenderung bersifat akademik (book oriented) tidak mengacu pada masalah-masalah kontekstual yang dekat dengan kehidupan peserta didik sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna.
Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli pembelajaran telah menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran konstruktivistik untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas. Dengan perubahan paradigma belajar tersebut terjadi perubahan pusat (focus) pembelajaran dari belajar berpusat pada guru kepada belajar berpusat pada siswa. Dengan kata lain, ketika mengajar di kelas, guru harus berupaya menciptakan kondisi lingkungan belajar yang dapat membelajarkan siswa, dapat mendorong siswa belajar, atau memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif mengkonstruksi konsep-konsep yang dipelajarinya. Kondisi belajar di mana siswa hanya menerima materi dari pengajar, mencatat, dan menghafalkannya harus diubah menjadi sharing pengetahuan, mencari (inkuiri), menemukan pengetahuan secara aktif sehingga terjadi peningkatan pemahaman (bukan ingatan). Untuk mencapai tujuan tersebut, pengajar dapat menggunakan pendekatan, strategi, model, atau metode pembelajaran inovatif.
Pendekatan apapun yang digunakan dalam pembelajaran harus mendudukkan peserta didik sebagai pusat perhatian dan peran guru sebagai fasilitator dalam mengupayakan situasi untuk memperkaya pengalaman belajar peserta didik.. Penyempurnaan pembelajaran dicobakan dengan mengimplementasikan model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning). Dalan hal ini pembelajaran didesain dengan mengkonfrontasikan peserta didik dengan masalah-masalah kontekstual yang berhubungan dengan materi pembelajaran sejarah sehingga peserta didik mengetahui mengapa mereka belajar kemudian mengidentifikasi dan mengumpulkan informasi dari buku sumber serta diskusi dengan temannya untuk dapat mencarikan solusi masalah yang dihadapinya.
Dengan demikian pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu strategi dan model pembelajaran yang sangat penting untuk diterapkan dalam proses pembelajaran untuk mengasah wawasan berfikir peserta didik untuk senantiasa bersikap kritis, kreatif dan inovativ. Dengan Pembelajaran Berbasis Masalah ini peserta didik mampu memahami dan mengetahui setiap masalah yang dihadapinya dalam pembelajaran serta berusha menemukan solusi dari masalah tersebut.

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis/berdasarkan masalah dikenal dengan istilah problem based learning (PBL), pada awalnya dirancang untuk program graduate bidang kesehatan oleh Barrows (1988) yang kemudian diadaptasi untuk program akademik kependidikan oleh Stepein Gallager. PBL ini dikembangkan berdasarkan teori psikologi kognitif modern yang menyatakan bahwa belajar suatu proses yang dalam di mana pembelajar secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksinya dengan lingkungan belajar yang dirancang oleh fasilitator pembelajaran.
Teori yang dikembangkan ini mengandung dua prinsip penting yaitu 1) belajar adalah suatu proses konstruksi bukan proses menerima (receptive process), 2) belajar dipengaruhi oleh faktor interaksi sosial dan sifat kontekstual dari pelajaran. Teori ini mengisyaratkan bahwa dalam pembelajaran terdapat proses konstruksi pengetahuan oleh pembelajar, terjadi interaksi sosial baik antar peserta didik maupun guru serta materi pembelajaran yang bersifat kontekstual. Berdasarkan dua prinsip yang terkandung dalam PBL, maka guru harus mampu memberikan kesempatan yang luas bagi peserta didik untuk mengkonstruksi pengetahuan yang ingin dipelajarinya
Model pembelajaran berbasis masalah ini telah dikenal sejak zaman Jhon Dewey. Dewasa ini, model pembelajaran ini mulai diangkat, sebab ditinjau secara umum pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu model pembelajaran berdasarkan banyaknya permasalahan yang membutuhkan pembelajaran yang autentik yakni penyelidikan yang membutuhkan penyelesaian nyata dari permasalahan tersebut.
Pembelajaran Berbasis masalah (Probelem Based learning), yang kemudian disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada peserta didik . PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah . Lebih lanjut Boud dan Felleti, menyatakan bahwa Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar.
Menurut Arends seperti yang dikutif oleh Ibrahim dan M. Nur menyatakan bahwa:
Pembelajaran berdasarkan masalah adalah merupakan suatu pendekatan sekaligus model pembelajaran di mana siswa diajarkan pembelajaran yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri.
Model pembelajaran berbasis masalah ini juga mengacu pada pada model pembelajaran yang lain seperti pebelajaran berdasarkan proyek (project based instruction), pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience based instruction), belajar autentik (authentic learning) dan pembelajaran bermakna atau pembelajaran berakar pada kehidupan (anchored instructioni). Model pembelajaran berbasis masalah ini bukan hanya sekadar metode mengajar tetapi juga merupakan metode berpikir, sebab dalam pemecahan masalah menggunakan metode-metode lainnya dimulai dengan mencari data sampai kepada menarik kesimpulan.
Belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dengan respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Linkungan memberi masukan kepada peserta didik berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik. Pengalaman peserta didik yang diperoleh dari lingkungan akan menjadikan kepadanya bahan dan materi guna memperoleh pengertian serta bisa dijadikan pedoman dan tujuan belajarnya.
Dari berbagai uraian pendapat-pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan sekaligus model pembelajaran yang memberikan rangsangan kepada peserta didik untuk berpikir kritis dalam menyikapi setiap permasalahan yang dihadapinya terutama dalam proses pembelajannya. Pembelajaran berdasarkan masalah ini merupakan model yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah ada dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri untuk memecahkan masalah yang sedang dipikirkannya itu.

B. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah
Strategi pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning / PBL) dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Model pembelajaran ini terutama digunakan untuk meransang peserta didik untuk berfikir. Karenanya model ini akan banyak memamfaatkan metode lain yang dimulai dari pencarian data samapi kepada penarikan kesimpulan.
Pembelajaran Berbasis masalah memiliki karakteristik-karakteristik yaitu : (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata peserta didik, (3) mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja.
Berdasarkan uraian tersebut tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh siswa atau guru), kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar.
Ibrahim dan M. Nur dalam Kunandar mengemukakan bahwa ada empat hal yang menjadi ciri atau kerakteristik pembelajaran berbasis masalah yaitu :
1. Pembelajaran mengedepankan pertanyaan atau masalah
Pembelajaran berbasis masalah bukan hanya mengorganisasikan perinsip-perinsip atau keterampilan akademik tertentu tetapi mengorganisasikan pengajaran disekitar pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk peserta didik. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata yang autentik, menghindari jawaban sederhana, dan menemukan berbagai macam solusi untuk situasi itu.

2. Berfokus pada keterkaitan antardisiplin
Meskipun pembelajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu, (IPA, Matematika, dan ilmu-ilmu sosial termasuk sejarah) tetapi dalam pemecahannya melalui solusi, peserta didik dapat meninjaunya dari berbagai mata pelajaran yang ada. Sebagai contoh keruntuhan dinasti islam masa lalu yang rata-rata disebabkan lemahnya pemerintah dalam mengambil kebijakan, terjadinya perebutan kekuasaan di tingkat pusat, berubahnya sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi yang akhirnya menyebabkan disintegrasi bangsa. Lalu kemudian guru mengaitkan dengan kondisi bangsa sekarang lalu dicari pemecahnnya.

3. Penyelidikan Autentik
Pembelajaran berbasis masalah mengharuskan peserta didik melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksprimen (jika diperlukan), membuat interfensi dan merumuskan kesimpulan

4. Menghasilkan produk / karya dan memamerkannya
Pembelajaran berbasis masalah menuntut peserta didik untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelasaian masalah yang mereka temukan. Produk ini dapat berupa transkrip debat, laporan, model fisik, dan video.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga ciri utama dari strategi pembelajaran berbasis masalah. Pertama, pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktifitas pembelajaran, artinya dalam implementasinya ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. Pembelajaran berbasis masalah tidak mengharapkan peserta didik hanya sekedar mendengarkan, mencatat kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi peserta didik aktif berfikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data dan akhirnya menyimpulkan. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Pembelajaran berbasis masalah menempatkan masalah sebagai kata kunci proses pembelajaran. Ketiga pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan dengan tahpan-tahapan tertentu, sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas.

C. Manfaat Pembelajaran Berbasis Masalah
Pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning / PBL) adalah konsep pembelajaran yang membantu guru menciptakan lingkungan pembelajaran yang dimulai dengan masalah yang penting dan relevan (bersangkut-paut) bagi siswa, dan memungkinkan siswa memperoleh pengalaman belajar yang lebih realistik (nyata). Pemecahan masalah memegang peranan penting baik dalam pelajaran sains maupun dalam banyak disiplin ilmu lainnya, terutama agar pembelajaran berjalan dengan fleksibel. Kalau seorang peserta didik dihadapkan pada suatu masalah pada akhirnya bukan hanya sekedar memecahkan masalah, tetapi juga belajar sesuatu yang baru.
Manfaat lain dari pembelajaran berbasis masalah adalah membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah. Dengan pembelajaran berbasis masalah ini siswa berusaha berpikir kritis dan mampu mengembangkan kemampuan analisisnya serta menjadi pembelajar yang mandiri. Pembelajaran berbasis masalah memberikan dorongan kepada peserta didik untuk tidak hanya sekedar berpikir sesuai yang bersifat konkret tetapi lebih dari itu berpikir terhadap ide-ide yang abstrak dan kompleks.
Selain manfaatnya, pembelajaran berbasis masalah juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan PBM sebagai suatu model pembelajaran adalah :
1. Realistis dengan kehidupan siswa.
2. Konsep sesuai dengan kebutuhan siswa.
3. Memupuk sifat inquiri siswa.
4. Retensi konsep jadi kuat.
5. Memupuk kemampuan problem solving.

Dari kelebihan tersebut dapat dipahami bahwa pembelajaran berbasis masalah membantu peserta didik mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah dan keterampilan intelektualnya. Para peserta didik belajar dengan keterlibatan langsung dalam pengalaman nyata atau simulasi serta menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri.
Selain kelebihan yang telah dkemukakan di atas pembelajaran berbasis masalah juga memiliki beberapa kekurangan antara lain, yaitu :
1. Membutuhkan persiapan pembelajaran (alat, problem, konsep) yang kompleks.
2. Sulitnya mencari problem yang relevan.
3. Sering terjadi miss-konsepsi.
4. Memerlukan waktu yang cukup lama dalam proses penyelidikan.

Guru adalah pendidik yang membelajarkan siswa, maka guru harus melakukan pengorganisasian dalam belajar, menyajikan bahan belajar dengan pendekatan pembelajaran tertentu dan melakukan evaluasi hasil belajar, guru professional selalu berusaha mendorong siswa agar berhasil dalam belajar.
Kekurangan-kekurangan dalam model pembelajaran berbasis masalah ini bukan berarti PBL merupakan model pembelajaran yang kurang efektif untuk deterapkan dalam proses pembelajaran, akan tetapi kekurangan-kekurangan dalam penerapan model pembelajaran berbasis masalah yang dikemukakan di atas, menuntut guru sebagai pendidik harus kreatif dalam meminimalisir serta berusaha mencari solusi untuk mengatasi kekurangan-kekurangan tersebut.

BEBERAPA PANDANGAN TENTANG MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA

On 1 komentar

Oleh : Mustanan

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kedatangan Islam pada abad ke-7 M. ke Dunia dianggap oleh sejarawan sebagai pembangun dunia baru dengan pemikiran baru, cita-cita baru, kebudayaan serta peradaban baru. Semenjak Nabi Muhammad saw. Menyebarkan ajaran baru dalam bidang teologi monoteisme, bidang kehidupan individu, bidang kehidupan masyarakat dan kenegaraan, terbentanglah peradaban Islam dari Jasirah Arabiah sampai daratan Andalusia, dari lembah sungai Wolga di Rusia menembus Benteng Cina sampai ke Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. menurut statistik penduduk Indonesia berjumlah 206.264.595 jiwa. Data ini merupakan hasil sensus penduduk tahun 2000. Ahmad Usairy mengatakan bahwa penduduk Indonesia yang muslim berkisar 89 %. Dengan demikian jumlah penganut Agama Islam berjumlah sekitar 183.575.785 dan sisanya sekitar 22.687.810 inilah jumlah penduduk non muslim di Indonesia seperti penganut Agama Kristen, Hindu, Budha, Tionghoa dan penganut kepercayaan. Jumlah penduduk yang beragama Islam ini merupakan angka yang sangat luar biasa karena Islam diturunkan pertama kali bukan di Negeri yang dijuluki zamrud Khatulistiwa ini. Islam pertama kali diseruh di Jazirah Arab, nanti beberapa abad kemudian baru sampai di Nusantara Indonesia.
Sebelum kedatangan Agama Islam di Indonesia, masyarakat kepulauan Nusantara ini telah menganut agama yaitu Agama Hindu dan Budha disamping aliran kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Agama-agama ini telah mempunyai pengaruh yang cukup besar, hal ini dibuktikan dengan berbagai bukti peninggalan sejarah seperti Candi dan Kuil. Selain daripada itu di masa sebelum kedatangan Islam juga telah berdiri kerajaan-kerajaan besar yang menganut Agama Hindu dan Budha seperti Kerajaan Mataram Konu, Sriwijaya, Majapahit dan sebagainya.
Setelah kedatangan Agama Islam, masyarakat Indonesia telah mengalami transpormasi dari masyarakat feodal pengaruh Hindu-Budha menjadi masyarakat Islam. Secara berangsur - angsur peradaban Islam di Indonesia telah menampakkan dominasinya, menggeser secara perlahan-lahan peradaban Hindu-Budha. Masuknya Islam di Indonesia sangatlah konpleks, sehingga terdapat banyak perbedaan pendapat terutama mengenai, kapan awal masuknya Islam di Indonesia. Hal ini membutuhkan kajian yang lebih mendalam untuk mengungkap fakta sejarah yang sesungguhnya. Mengenai hal tersebut insya Allah penulis akan uraikan lebih lanjut dalam makalah ini.


II. PEMBAHASAN
A. Pandangan Tentang Masuknya Islam Di Indonesia
Sejak zaman pra sejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelaut ulung yang sanggup mengarungi samudera luas. Sejak awal abad masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagagan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara. Awal abad masehi yang masih pada fase peralihan dari zaman prasejarah akhir di wilayah nusantara telah ada rute-rute perdagangan antar pulau dan antar daerah.
Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual di sana menarik perhatian bagi para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku dipasarkan di Jawa dan Sumatra untuk kemudian dijual kepada pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa dan Sumatra sejak abad ke-1 dan ke-7 M. sudah ramai dikunjungi oleh pedagang asing.
Pedagang-pedagang muslim asal Tanah Arab, Persia dan India juga telah ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 M. (abad 1 H.). hal inilah kemudian menjadi tonggak sejarah masuknya Islam di Indonesia. Islam masuk dan berkembang di Indonesia mempunyai watak atau karakteristik yang berbeda dengan watak islam di kawasan lain, khususnya di timur tengah. Karakteristik islam di nusantara lebih damai, ramah dan toleran. Penyebaran islam secara damai di kawasan nusantara berbeda dengan ekspansi islam di berbagai wilayah Timur Tengah, Asia Selatan dan Afrika yang oleh sumber-sumber Islam disebut futuh, yakni pembebasan yang sering melibatkan kekuatan militer, Akhirnya wilayah-wilayah ini mengalami arabisasi yang lebih intens. Perbedaan penyebaran Islam di jazirah Arab dengan Indonesia ini disebabkan karena di penyebaran Islam di tanah Arab juga disertai dengan kepentingan politik yaitu penguasaan wilayah sehingga dalam beberapa kasus dalam penaklukan wilayah kekuasaan Islam ditempuh dengan jalan peperangan, sedangkan di Indonesia penyebaran Islam pada masa itu tanpa unsur politik.
Islam dalam batas tertentu masuk di Indonesia disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama (da’i) dan pengembara sufi. Orang yang terlibat dalam kegiatan da’wah pertama itu tidak bertendensi apa pun selain bertanggung jawab menuanaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga nama mereka berlalu begitu saja. Tidak ada cacatan sejarah yang atau prasasti pribadi yang sengaja dibuat untuk mengabadikan peran mereka, ditambah lagi wilayah Indonesia yang sangat luas dengan perbedaan kondisi dan situasi. Hal ini yang menyebabkan sehingga terjadi perbedaan pendapat tentang kapan, dari mana dan dimana pertama kali Islam datang ke Nusantara Indonesia.

1. Penetapan Waktu Masuknya Islam Di Indonesia
Perbedaan pendapat mengenai awal kedatangan Islam di Indonesia melahirkan tiga versi. Ada yang mengatakan bahwa Islam pertama kali datang ke Indonesia sejak abad ke-7 M., ada juga pandangan yang mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-9 M. serta ada pula yang berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13. Ketiga versi ini masing-masing memiliki argumentasi tersendiri. Berikut penulis akan menguraikan masing-masing versi tersebut.

a. Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke-7 M.
Hasil seminar masuknya Islam ke Indonesia yang dilaksanakan di Medan pada bulan maret tahun 1963 menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pertama kalinya pada abad pertama Hijriyah atau bertepatan dengan abad ke-7 M., yang dibawa langsung dari tanah Arab. Dengan argumentasi bahwa jalur pelayaran niaga sudah berkembang pesat pada abad ke-1 H. / abad ke-7 M. orang-orang Arab dan India sudah mengadakan pelayaran ke Cina melalui perairan kepulauan Indonesia terutama selat Malaka. Dalam perjalanan itu mereka singgah diberbagai wilayah Indonesia, mereka berinteraksi dan berkomunikasi dengan penduduk setempat sehingga memunkinkan terjadi pertukaran budaya atau akulturasi budaya.
Pedagang-pedagang Muslim asal Arab, Persia dan India juga telah ada yang sampai di kepulauan Indonesia untuk berdagang, sejak abad ke-7 M. ketika berkembang pertama kali di Timur Tengah, Malaka sudah merupakan pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh pelosok Nusantara di bawa ke Cina, Gujarat dan Tanah Arab. Melalui jalan pelayaran tersebut kapal-kapal Arab, Persia dan India mondar-mandir dari Barat ke Timur dengan menggunakan angin untuk pelayaran Pulang perginya. Meskipun belum ada bukti yang sahih, tetapi bukan tidak mungkin kalau dalam priode ini telah mulai terbentuk komunitas-komunitas Islam khususnya di daerah pesisir.
Sekitar abad ke-1 H. / abad ke-7 M., meskipun dalam frekuensi yang tidak terlalu besar, kawasan Asia Tenggara mulai berkenalan dengan tradisi Islam. Hal ini terjadi ketika para pedagang Muslim yang berlayar di kawasan ini, singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih intensif khususnya di semenanjung Melayu dan Nusantara belangsung beberapa abad kemudian. Dengan singgahnya para pedagang Muslim di daerah-daerah di Nusantara sangat mungkin terjadi hubungan perkawinan antara penduduk muslim asing dengan penduduk setempat, sehingga menjadikan penduduk pribumi sudah ada yang beralih menjadi muslim.
Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” juga menguatkan temuan bahwa Agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M. Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi Negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara. Dengan berdasar kepada berita Cina dari zaman T’-ang yang menceritakan adanya orang-orang Ta-shih yang mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan Ho-ling dibawah pemerintahan Ratu Sima (674 M.),karena ternyata kerajaan Ho-ling itu sangat keras. Sebutan Ta-shih dalam dalam berita itu ditafsirkan sebagai orang-orang arab. Tempat orang-orang Ta-shih yang dimaksud ada dua, satu bernama Fo-lo-an termasuk daerah Sriwijaya, letak kota tersebut adalah Kuala Brang yang terletak 25 mil dari sungai Trengganu. Tempat yang kedua terletak di Sumatra Selatan. Dari berita itu dapat dipahami bahwa sejak abad ke-7 sudah ada orang arab yang mendiami pesisi nusantara.
Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah saw. memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam. Dengan demikian Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah saw. masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut : Rasululah saw. menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam, periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Dari rekonstruksi sejarah perdagangan sebagaiman pendapat-pendapat para sejarahwan di atas yang disertai bukti-bukti sejarah dan argumentasi yang kuat mengindikasikan bahwa Islam telah hadir di Indonesia pertama kalinya pada abad ke 7- Masehi atau abad pertama hijriyah. Namun ada kemungkinan pada masa awal itu Islam hanyalah merupakan agama yang dianut oleh para musafir muslim yang singgah di perairan dan Bandar-bandar penting di Nusantara.

b. Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-11 M.
Pendapat yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-11, berdasarkan dengan ditemukannya sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun yang yang terletak di Desa Leran, 12 KM. sebelah barat Gresik, Jawa Timur. Penemuan ini menjadi bukti bahwa telah ada penduduk muslim yang mendiami Nusantara pada awal abad ke-11 M.
Makam Fatimah binti Maimun tersebut mememperlihatkan kepada kita data pertanggalan di batu nisan tertulis 475 H. / 1082 M, atau awal abad ke-11 M. data ini merupakan peninggalan Islam tertua di Nusantara. Satu-satunya peninggalan lain yang sama tuanya adalah sebuah makam yang terletak di Pandurangga (Panrang) yang sekarang masuk wilayah Vietnam. Kedua batu nisan yang bertulis Kufi ini telah menarik perhatian besar para ahli efigrafi Islam. Sejauh ini hanya kedua batu nisan itulah yang merupakan bukti tertua kehadiran Islam di Indonesia. Akan tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin kalau sebelum itu memang sudah ada penduduk muslim yang lain mendiami nusantara, hanya saja peninggalannya tidak ditemukan.

c. Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke-13 M.
Pendapat yang menyatakan bahwa Islam masuk di Indonesia pada ke-13 didasarkan kepada dugaan keruntuhan Dinasti Abbasiyah oleh Hulagu Khan tahun 1258. Kemudian diperkuan oleh bukti berita Marco Polo pada tahun 1292, berita Ibnu Batutah pada abad ke-14, kemudian ada juga yang menguatkan bahwa kedatangan Islam sampai terbentuknya masyarakat Muslim di Indonesia pada abad ke-13 berdasarkan kepada arus penyebaran dan kedatangan ajaran tasawuf. Kebanyakan peminat sejarah menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dan berkembang pada abad ke-13 sampai pada abad ke-14. Ira M. Lapidus dalam bukunya yang berjudul a History of Islamic Societes mengemukakan bahwa agama Islam menyebar di ke semenanjung melayu dan kepulauan Indonesia pada abad ke-13 sampai pada abad ke-15. Dengan demikian kita bisa memahami bahwa pada abad tersebut Agama Islam telah menyebar luas di kawasan Nusantara.
Pada waktu konsolidasi Islam terlaksana di anak Benua India para pedagang Muslim dan misionari Sufi mulai melancarkan hubungan dagang dan menyebar secara luas. Pada abad ke-13 M, Asia Tenggara telah menjalin hubungan dengan Muslim Cina, Bengal, Gujarat, Iran, Yaman dan Arabia Selatan. Oleh karena itu Islam tersebar di wilayah Indonesia pada pertengahan abad ke-8 H. (abad ke-14 M.) lewat jalur pedagang yang datang dari India mulalui Sumatra kemudian ke Jawa. Kerajaan Malaka memiliki peranan besar dalam menyebarkan Islam ke pulau-pulau dan giat melakukan da’wah sehingga Islam tersebar merata.
Seorang sejarawan Indonesia yaitu Taufiq Abdullah berkomentar mengenai masuknya Islam Indonesia dengan menyatakan bahwa Belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia ditempat-tempat yang disinggahi oleh para pedagang muslim itu beragama Islam. Pendapat yang bisa dipertanggung jawabkan hanyalah bahwa para pedagang Arab pada abad ke-I H. hanya singgah berdiam untuk sementara di Nusantara untuk menunggu musim yang baik untuk pelayaran. Jadi menurut Taufiq Abdullah pada abad ke-7 M. boleh jadi belum ada penduduk pribumi yang memluk Islam, yang ada hanyalah pedagang arab yang singgah pelabuhan yang ada di Nusantara.
Pada abad ke-13 M. masyarakat Muslim barulah ada di Samudra Pasai, Perlak dan Palembang serta pada abad itu pulah telah ada pemakaman Islam di Tralaya. ini merupakan bukti telah berkembangnya komunitas Islam di Indonesia. Sumber Sejarah yang sahih yang dapat dipertanggungjawabkan tentang berkembangnya masyarakat Islam di Indonesia, baik berupa prasasti maupun hitoriografi tradisional maupun berita asing, baru terdapat ketika kumunitas Islam menjadi pusat kekuasaan.
Pandangan di atas juga kemukakan oleh sarjana-sarjana orientalis belanda diantaranya adalah Snouck Horgronje yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M. dari Gujarat (bukan dari arab langsung). Dengan bukti ditemukannya makam Sultan yang beragama Islam pertama di Indonesia yaitu Sultan Malik al-Shaleh, raja pertama kerajaan Samudra Pasai. Pada makam itu tertulis bahwa dia wafat pada bulan Ramadhan tahun 696 H. / 1297 M. jadi pada abad ini Islam telah menjadi kekuatan politik di nusantara dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai.
Dari uraian di atas Nampak dengan jelas terjadi perbedaan pandangan tentang waktu masuknya Islam di Indonesia. Masing-masing pandangan telah memberikan argumentasi yang kuat. Sarjana muslim kontenporer seperti Taufiq Abdullah mengkompromikan pendapat-pendapat tersebut. Menurut pendapatnya Memang benar Agama Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. / abad ke-1 H. akan tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah dan sebagian kecil warga setempat di mana pedagang Timur Tengah tersebut sering berlabuh. Pada abad ke-9 Agama Islam telah menyebar ke beberapa daerah termasuk sudah meramba Jawa Timur dengan adanya bukti makam Fatimah binti Maimun di Gresik. Sedangkan pada abad ke-13 dan seterusnya Agama Islam melembaga dan telah menyebar secara intensif ke berbagai pelosok Nusantara bahkan telah mempunyai kekuatan politik dan menjadi agama kerajaan, seperti dengan berdirinya Kerajaan Islam Samudra Pasai. Jadi ketiga pendapat tersebut semuanya dapat diterimah karena perbedaan Pandangan tentang masuknya Islam di Indonesia hanyalah disebabkan sudut pandang para sejarawan memang berbeda.
Perlu dipahami bahwa kedatangan Islam dan kegiatan islamisasi di Nusantara merupakan dua hal yanga harus dibedakan. Di sini terdapat jarak yang cukup panjang antara persentuhan Islam pertama kali dengan islamisasi secara intensif. Agama islam memang sudah diperkenalkan di Nusantara pada abad ke-7 M. tetapi stelah abad ke-12 pengaruh islam baru kelihatan lebih nyata, oleh karena itu proses islamisasi tampak mengalami akselerasi antara abad ke-12 sampai abad ke-16

2. Orang Yang membawa Islam Datang ke Indonesia
Mengenai siapa yang membawa Agama Islam datang ke Indonesia, menimbulkan beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli sejarah. Martin van Bruinessen mengatakan cara berlangsungnya perpindahan Agama Islam di Nusantara tidak terekomendasikan dengan baik sehingga menimbulkan banyak spekulasi dikalangan para ilmuwan dan kadang-kadang menimbulkan perdebatan yang sengit. hal tersebut membuat para ahli juga berbeda pendapat tentang negeri asal serta golongan-golongan masyarakat Muslaim yang mengenalkan Agama Islam kepada bangsa Indonesia.
Teori-teori tentang kedatangan Islam di Indonesia didukung oleh sejumlah argument dan bukti-bukti. Dalam uraian berikut dikemukakan beberapa teori, sebagaiamana yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Indonesia.

a. Islam Datang ke Indonesia Dibawa oleh Orang Arab
Teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari arab atau tepatnya Hadramaut dikemukakan oleh Crawfurt (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), de Hollander (1861) dan Veth (1878). Craefurt mengatakan bahwa Islam datang lansung dari arab. Sementara Keyzer beranggapan bahwa Islam datang dari Mesir, yang bermahzab Syafi’i, sama seperti yang dianut masyarakat muslim Indonesia pada umumnya. Teori ini juga dipegang oleh Nieman dan de Hollander, tetapi dengan menyebut Hadramaut, bukan Mesir sebagai sumber datangnya Islam. Sedangkan Veth hanya menyebut orang-orang Arab, tanpa menyebut asal mereka di Timur Tengah. Menilik pemaparan sebelumnya yang menafsiran Ta-shih seperto dikatakan dalam berita cina pada abad ke-7 adalah orang-orang arab dapat disimpulkan bahwa Islam datang ke Nusantara langsung dari Arab.
Teori semacam ini juga diajukan oleh Hamka dalam seminar Sejarah Masuknya Islam di Indonesia di Medan tahun 1963 M. Menurutnya Islam datang ke Tanah air Indonesia sejak abad pertama hijriyah, dibawa oleh saudagar-saudagar Islam yang intinya ialah orang-orang Arab diikuti oleh orang-orang Persia dan Gujarat. Dari argument tersebut memberikan indikasi bahwa Islam datang ke nusantara dibawah oleh orang-orang dari jazirah arab melalui para pedagang.

b. Islam Datang ke Indonesia Dibawa oleh Orang Gujarat (India)
Teori yang mengatakan bahwa Islam datang ke Nusantara dibawa oleh orang India, dikemukakan pertama kali oleh Pijnapel tahun 1872. Berdasarkan terjemahan berbahasa Prancis tentang catatan perjalanan Sulaeman, Marcopolo dan Ibnu Batuta, ia menyimpulkan bahwa orang-orang arab yang bermahzab Syafi’I dari Gujarat dan Malabar di India adalah yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Ia mendukung teorinya yaitu dengan mengatakan bahwa hubungan perdagangan amat memungkinkan terselenggaranya hubungan antara kedua wilayah ini, ditambah lagi dengan umumnya istilah-istilah Persia digunakan oleh masyarakat kota-kota pelabuhan di Nusantara. Pendapat yang mengatakan islam datang ke Nusantara berasal dari Gujarat ini berargumen bahwa penganut islam di Nusantara mempunyai mahzah yang sama dengan muslim Gujarat.
Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang melihat para pedagang kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah baru ini. Teori Snouck ini juga dibenarkan oleh Morrison pada tahun 1951 dengan menunjuk tempat yang pasti di India, ia menyatakan dari sanalah Islam datang ke Nusantara. Ia menunjuk partai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang Muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara. Sejalan dengan pendapat tersebut Ahmad al-Usairi juga mengemukakan bahwa islam tersebar di Indonesia pada pertengahan abad ke-8 lewat jalur para pedagang yang datang dari India, dimulai dari Sumatra kemudian ke Jawa.
Menurut Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, hubungan Islam dengan Gujarat ditandai oleh makam Sultan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, baik jenis maupun bentuk hurup serta bentuk bangunannya secara keseluruhan menunjukkan kesamaan dengan makam di Samudra Pasai. Pendapat-pendapat seperti ini juga diperkuat oleh hasil penelitian J. P. Muquette menilai bahwa batu nisan Sultan Maulana Malik Ibrahim terbuat dari marmer, Bahan dan tulisannya yang bergaya kufi, memberi kesan kuat bahwa kedua batu nisan makam tersebut dibuat di Gujarat, India. Makam tersebut bahkan memiliki kesamaan dengan makam di Cambay, Gujarat. Penjelasan tersebut memberikan bukti bahwa Islam datang ke Indonesia berasal dari Gujarat.

c. Islam Datang ke Indonesia Dibawa oleh Orang Benggali (Bangladesh)
Teori yang menyatakan Islam datang dari Benggali (kini Bangladesh) dikembangkan oleh Fatimi. Ia mengutip keterangan Tome Fires yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau anak keturunan mereka. Juga Islam muncul pertama kali di semenanjung Malaya atau dari arah pantai Timur, bukan dari Barat (Malaka), pada abad ke-11 M. melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran dan Trengganu. Islam berkembang di daera-daerah ini melalui aliran tasawuf. Ia beralasan secara doktrinal, Islam di semenanjung lebih sama dengan Islam di Phanrang. Selain itu elemen-elemen prasasti di Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ditemukan di Leran. Fatimi berpendapat bahwa islam datang ke nusantara berasal dari Benggali karena salah satu saluran islamisi di Nusantara adalah melalui jalur tasawuf, sama dengan saluran pekembangan Islam di Benggali.
Akan tetapi pendapat tersebut ditantang oleh Drewes yang lebih condong mempertahankan teori Snouck. Menurutnya teori Fatimi ini tidak bisa diterima, terutama karena penafsirannya atas prasasti yang ada dinilai merupakan perkiraan liar belaka. Lagi pula, mahzab yang dominan di benggali adalah mahzab Hanafi, bukan mahzab Syafi’I seperti yang dianut masyarakat di semenanjung dan Nusantara secara keseluruhan. Dengan demikian pendapat yang menyatakan Islam datang ke Indonesia di bawah oleh orang Benggali kurang kuat dasarnya apalagi mendapat tantangan dari pakar sejarah yang lain.

d. Islam Datang ke Indonesia Dibawa oleh Orang Cina
Muncul satu lagi teori yang mengatakan bahwa Islam datang pertama kali ke Indonesia dibawa oleh orang Cina. Teori ini dikemukakan oleh Emmanuel Godinho de Eradie, seorang ilmuwan Spanyol yang menulis pada tahun 1613 M. ia mengatakan bahwa :
Sesungguhnya aqidah Muhammad telah diterima di Patthani dan Pam di Pantai Timur kemudian diterima dan dikembangkan oleh permaisuri (parameswara) pada tahun 1411 M.
Masuknya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh orang-orang Cina erat kaitannya dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho ke beberapa pulau di Indonesia. Ia dan pasukannya pertama kali datang ke Pulau Jawa pada tahun 1405. Cheng Ho dikenal sebagai pelaut ulung dan Muslim yang taat. Cheng Ho dipercaya untuk memimpin pasukan tentara Cina yang dikirim oleh Kaisar Yung Lo dari Dinasti Ming, pada sekitar tahun 1368 M. ke wilayah-wilayah Asia Barat dan Kepulauan Nusantara. Misinya adalah untuk memperbaiki hubungan antara rakyat Tiongkok dengan wilayah yang dikunjungi Cheng Ho karena memang sebelumnya hubungan Tiongkok dengan Nusantara dirusak oleh kaisar Mongol, Kubilai Khan yang datang menyerang Pulau Jawa Pada abad ke-12 M.
Pendapat yang mengatakan Islam datang ke Indonesia dibawa oleh orang Cina seperti yang dikemukakan di atas menurut analisa penulis tidaklah shahih atau lemah dasarnya, dengan beberapa asumsi yaitu pedagang-pedagang Muslim Arab, Persia dan Gujarat yang ingin berdagang ke Negeri Cina melewati selat Malaka, singgah dulu berlabuh di pesisir-pesisir Nusantara, jadi masyarakat pesisir Nusantara lebih dulu mengenal Islam dari pada orang di Negeri Cina sendiri. kedatangan Laksamana Cheng Ho ke beberapa pulau di Indonesia juga tidak bisa dijadikan dasar bahwa dia membawa Islam, karena kedatangannya nanti pada awal abad ke-14, sementara itu pada abad sebelumnya (abad ke-13) di Indonesia telah berdiri kerajaan Islam Samudra Pasai.
Dalam kaitannya dengan kedatangan islam di nusantara Azyumardi Azra menyimpulkan bahwa pertama, Islam datang ke nusantara dibawa langsung dari arab, kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyiar professional yaitu yang memang khusus bermaksud menyebarkan Islam, ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para pengauasa baru diikuti kemudian oleh para pengikutnya. Pendapat-pendapat yang telah dipaparkan di atas, maka jelaslah bahwa tidak mudah menentukan degan pasti siapa yang membawa Islam pertama kali datang ke Nusantara. Akan tetapi dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling kuat tentang orang yang membawa Islam ke Nusantara adalah pedagang Muslim dari Arab lalu kemudian disusul oleh orang Gujarat. Para pedagang muslim ini memperkenalkan Islam terlebih dahulu, lalu kemudian dilanjutkan oleh para penyi’ar profesianal yakni para da’I yang memang khusus bermaksud menyebarkan Islam, para penyiar professional itu datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13.

TIGA KERAJAAN BESAR

On 2 komentar

Oleh : MUSTANAN

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 1258 M. ke tangan Bangsa Mongol Tidak hanya mengakhiri pemerintahan Bani Abbasiyah tetapi juga merupakan awal masa kemunduran politik dan peradaban Islam. Kekuasaan Islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya tercabik-cabik menjadi beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain saling mengalahkan. Kondisi politik umat Islam secara keseluruhan nanti mengalami kemajuan kembali setelah terbentuknya tiga kerajaan besar yaitu : Kerajaan Turki Usmani, Kerajaan Safawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India.
Kerajaan Usmani di samping yang pertama berdiri, juga yang terbesar dan paling lama bertahan dibanding kedua kerajaan lainnya. Turki Usmani dianggap sebagai dinasti yang mampu menghimpun kembali umat Islam setelah beberapa lama mengalami kemunduran politik. Munculnya kerajaan Turki Usmani, kembali menjadikan umat Islam sebagai kekuatan yang solid, ia berhasil menaklukkan kota Konstantinofel, yang sejak masa dinasti Umayyah telah dicoba untuk ditaklukkan, namun selalu gagal.
Selain Kerajaan Usmani, di Persia muncul juga satu dinasti baru yang kemudian menjadi kerajaan besar di dunia Islam, yaitu dinasti Safawi. Kerajaan ini mampu mempersatukan seluruh daerah Persia sebagai satu negara yang besar dan independen.
Seperempat abad setelah berdirinya kerajaan Safawi, berdiri pula kerajaan Mughal di India dengan Delhi sebagai ibu kotanya. kerajaan Mughal bukanlah kerajan Islam pertama di anak Benua India. Awal kekuasaan Islam di wilayah India terjadi pada masa khalifah al-Walid dari Dinasti Bani Umayyah. Akan tetapi Kerajaan Mughal termasuk salah satu kerajaan yang cukup berarti dalam mengkonstruksi peradaban dunia Islam.
Fase kemajuan tiga kerajaan besar tersebut dikenal dengan masa kemajuan Islam II, ketiga kerajaan besar ini mempunyai masa kejayaan masing-masing, inilah yang menarik untuk dukaji lebih lanjut, yang insya Allah penulis akan uraikan dalam makalah ini.

II. PEMBAHASAN

A. Kerajaan Usmani
1.Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Usmani
Pendiri kerajaan ini adalah Bangsa Turki dari kabilah Urghus yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara Negeri Cina. Garis keturunan Bani Usmani bersambung pada kabilah Turkamaniyah yang pada abad ketujuh hijriyah atau bertepatan dengan abad ketiga belas masehi, mendiami Kurdistan. Mereka berpropesi sebagai penggembala. Pada tahun 617 H./1220 M., Sulaiman kakek Usman melakukan hijrah bersama kabilahnya menuju Anatolia dan mereka pun menetap di kota akhlath.
Dalam kurun waktu kira-kira tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad kesembilan atau kesepuluh masehi. ketika mereka menetap di asia tengah di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M. mereka melarikan diri ke daerah barat dan mencari tempat pengungsian di tengah-tengah saudara mereka, orang-orang turki Seljuk di dataran tinggi Asia kecil.
Di daerah ini, di bawah pimpinan Ertoghrul mereka mengabdikan diri pada Sultan Alauddin II (Sultan Seljuk) yang kebetulan berperang melawan Bizatiun. Berkat bantuan mereka Sultan Alauddin Mendapat kemenangan. Atas jasa baik itulah Alauddin menghadiakan tanah di kawasan Asia kecil yang berbatasan dengan Bizantiun. Di sinilah mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukud sebagai ibu kota.
Ertoghrul meninggal dunia pada tahun 1289 M. kepemimpinannya dilanjutkan oleh puteranya, Usman. Putra Ertoghrul Unilah yang dikenal sebagai pendiri kerajaan Usmani. Pada tahun 1300 M. bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuk, dan Sultan Alauddin terbunuh, kerajaan Seljuk Rum akhirnya terpecah-pecah menjadi kerajaan kecil, Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Usmani dinyatakan berdiri, penguasa pertamanya adalah Usman yang juga sering disebut dengan Usman I.

2. Perkembangan dan Masa Kejayaan Kerajaan Usmani
Pada awal terbentuknya kerajaan Usmani hanyalah sebuah emirat di daerah perbatasan, namun kemudian berkembang menjadi menjadi sebuah kerajaan besar. Raksasa baru ini berdiri mengangkang di Borporus satu kakinya di Asia dan kaki lainnya di Eropa.
Setelah Usman I mengumukan dirinya sebagai Padisyah al-Usman (raja besar keluarga Usman) tahun 699 H. / 1300 M. setapak demi setapak wilayah kerajaan dapat diperluasnya, ia menyerang daerah perbatasan Bizantiun dan menaklukkan kota Broessa yang kemudian dijadikan sebagai ibu kota kerajaan. Pada masa pemerinatahan Orkhan (726 H./1326 M. - 761 H./1359 M.) kerajaan Turki Usmani dapat menaklukkan Azmir (Smirna) tahun 1327 M., Thawasyanli (1330 M.) Uskandar (13380), Ankara (1354) dan Gallipoli (1356).
Ketika Murad I pengganti Orkhan berkuasa (761 H./ 1359 M. – 789 H./ 1389 M.), selain memantapkan keamanan dalam negeri, ia juga melakukan perluasan daerah ke Benua Eropa. Ia dapat menaklukkan Adrianopel yang kemudian dijadikannya sebagai ibu kota kerajaan baru, ia menaklukkan pula Macedonia, Sopia, Salonia, dan seluruh wilayah bagian utara Yunani. Merasa cemas terhadap kemajuan ekspansi kerajaan ini ke Eropa, Paus mengobarkan semangat perang, sejumlah besar pasukan sekutu Eropa disiapkan untuk memukul mundur Turki Usmani, pasukan ini dipimpin oleh Sijisman, Raja Hongaria. Namun Sultan Bayazid I (1389-1403 M.) pengganti Murad I dapat menghancurkan pasukan sekutu kristen tersebut. Peristiwa ini merupakan catatan yang sangat gemilang bagi umat Islam.
Pada saat Sultan Muhammad I berkuasa (1403-1421 M.) ia melakukan perbaikan-perbaikan dan meletakkan dasar-dasar keamanan dalam negeri. Usaha ini kemudian diteruskan oleh Murad II. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II yang biasa disebut Muhammad al-Fatih (1451-1454) ekspansi kembali dilakukan ia berhasil mengalahkan Bizantiun dan menaklukkan Konstantinopel tahun 1453 M. ketika Sultan Salim I naik tahta (1512-1566 M.) ekspansi wilayah dialihkan ke arah timur dangan menaklukkan Persia, Syiria dan diansti Mamalik di Mesir.
Usaha Sultan Salim I dikembangkan oleh Sultan Sulaiman al-Qanuni (1520-1566) pada masa pemerintahannya sebagian besar wialyah Hongaria ditaklukkan, Wina tunduk dan Rhodes dapat diduduki. Ia terus melebarkan sayapnya dari Budapes ke Baghdad, dan dari Crimenia hingga air terjun pertama sungai Nil. Pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman inilah merupakan Puncak kejayaan kerajaan Usmani. Sultan Sulaiman dijuluki rakyatnya dengan gelar “al-Qanuni” (pemberi hukum), karena dengan bantuan Ibrahim al-Halabi ia dia berhasil menyusun sebuah kitab Multaqa al-Abhur (titik pertemuan dua lautan) yang kemuadian menjadi karya standar menyangkut undang-undang hukum Kerajaan Usmani.
Kesultanan ini menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi dengan Konstantinopel (sekarang Istambul) sebagai ibukotanya. Pada abad ke-16 dan ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan angkatan lautnya yang kuat.
Kemajuan dan perkembangan ekspansi Kerajaan Usmani yang semakin luas dan berlangsung dengan cepat diikuti pula dengan kemajuan-kemajuan dalam bidang kehidupan lain, diantaranya :

a. Bidang Militer
Pada bidang militer, Kerajaan Usmani dikenal mempunyai strategi politik yang jitu. Pembaharuan dalam tubuh organisasi militer tidak hanya dalam bentuk mutasi personil-personil pimpinan, tetapi juga diadakan perombakan keanggotaan. Bangsa-Bangsa non-Turki dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-anak Kristen yang masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit. Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut pasukan jenissari atau inkisyariah. Pasukan inilah yang mampu mengubah Negara Usmani menjadi mesin perang yang sangat kuat. Kerajaan Turki Usmani pada masanya telah jauh meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer.

b. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Budaya
Keseluruhan kebudayaan Turki merupakan campuran dari beraneka ragam elemen yang berbeda-beda. Dari orang Persia yang telah berhubungan dengan bangsa Turki bahkan sebelum mereka berimigrasi ke Asia barat, lahir corak-corak artistik serta ide-ide politik yang mengangkat keagungan raja.
Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak menfokuskan kegiatan mereka dalam bidang militer, sementara dalam ilmu pengetahuan mereka tidak begitu menonjol. Karena itulah dalam khasanah intelektual Islam kita tidak menemukan ilmuan terkemuka dari kerajaan ini.
Namun demikian mereka banyak berkifrah dalam pengembangan seni arsitektur Islam terutama pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman. Di kota – kota besar dan kota-kota lainnya banyak dibangun masjid, sekolah, rumah sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, villa dan permandian umum. Disebutkan bahwa ada 235 buah bangunan dibangun di bawah koordinator Sinan, seorang arsitek asal Antolia. karya besarnya adalah Masjid Agung Sulaimaniyah yang dirancang untuk menandingi Santa Shofia. Tinggi kubah utama masjid ini adalah enam belas kaki lebih tinggi dari mihrab dan dinding belakang dihiasi dengan porselen yang indah dan anggun bergaya Persia.

c. Bidang Keagamaan
Agama dalam tradisi masyarakat Turki mempunyai peranan besar dalam lapangan sosial dan politik. Kerajaan ini sangat terikat dengan syariat sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. Karena itu ulama mempunyai tempat tersendiri dan berperan besar dalam kerajaan dan masyarakat.
Pada masa turki Usmani tarekat juga mengalami kemajuan. Tarekat yang paling berkembang ialah tarekat baktasy dan tarekat maulawi, kedua tarekat ini banyak dianut kalangan sipil dan militer. Namun kajian-kajian ilmu keagamaan seperti Fiqih, ilmu kalam tafsir dan hadits tidak mengalami perkembangan yang berarti. Para pengausa lebih cenderung untuk menegakkan satu paham mahzab tertentu, sehingga ijtihad tidak berkembang. Ulama hanya suka menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan hasyayah (semacam catatan) terhadap karya-karya klasik.

3. Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Usmani
Kerajaan yang secara umum memprioritaskan perhatian terhadap ekspansi ketimbang memakmurkan rakyat, populasi yang heterogen, kelompok dan ras yang berbeda-beda, dengan garis perpecahan antara Islam dan Kristen bahkan antara muslim Turki dan muslim Arab manjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya bibit-bibit kehancuran yang kelak akan mengikis sendi-sendi kerajaan Usmani.
Tidak lama setelah wafatnya Sulaiman, kerajaan mulai menapaki jalanan yang menurun curam, sebuah perjalanan panjang yang berliku. Para pengganti Sultan Sulaiman al-Qanuni adalah raja-raja yang lemah sehingga tidak bisa mempertahankan keutuhan kerajaan. ditambah dengan Kegagalan serangan kedua ke Wina pada tahun 1683 M. merupakan tanda-tanda awal berakhirnya kejayaan kerajaan. Ekspansi ke Eropa tidak menunjukkan kemajuan yang berarti, peran angkatan bersenjata tidak lagi untuk menyerang tetapi lebih banyak bertahan. Kekuatan internal yang semakin lemah bertambah buruk dengan munculnya gangguan dari luar ketika pada abad ke-18, Prancis, Inggris, Austria dan Rusia mulai melebarkan pengaruh mereka ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kerajaan Turki Usmani. Satu persatu wilayahnya lepas. Aljazair merupakan Negara Arab pertama yang memisahkan diri, disusul kemudian di dataran arab dan wilayah Afrika Utara masing-masing membentuk satu blok tersendiri.
Menurut BadriYatim Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab runtuhnya kerajaan Usmani yaitu :

a. Wilayah kekuasaan yang sangat luas sehingga menyulitkan pengawasan secara menyeluruh kesemua wilayah, administrasi pemerintahan pun sangat rumit dan kompleks.
b. Heterogenitas penduduk yang multi etnis dan multi cultural serta multi agama sehingga acap kali menjadi latar belakang terjadinya konplik dan peperangan.
c. Kelemahan para penguasa, sepeninggal Sultan Sulaiman kerajaan Usmani diperintah oleh raja-raja yang lemah, baik dalam kepribadian maupun dalam kepemimpinan. Akibatnya pemerintahan menjadi kacau.
d.Merebaknya budaya atau pungutan liar, setiap jabatan yang hendak diraih harus dibayar sogokan kepada pihak yang berhak memberikan jabatan tersebut.
e.Terjadinya krisis ekonomi, akibat perang yang tidak pernah berhenti. Pendapatan Negara berkurang sementara belanja Negara sangat besar termasuk untuk biaya perang.
Kesultanan Usmaniyah terkikis secara perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya benar-benar runtuh pada abad 20. Musuh-musuh Islam membutuhkan waktu selama satu abad untuk melepaskan ikatan ideologi Islam dari tubuh umat Islam, yang pada akhirnya tanggal 3 Maret 1924 M. yang bertepatan dengan tanggal 28 Rajab 1342 Hijriah, melalui Mustafa Kemal Attaturk yang merupakan agen Inggris dan anggota Freemasonry (sebuah organisasi Yahudi), membubarkan institusi Kekhilafahan Islam terakhir di Turki dan menggantikannya dengan Republik Turki. Maka, sejak saat itu ideologi Islam benar-benar terkubur ditandai dengan dihilangkannya institusi khilafah oleh majelis nasional Turki dan diusirnya Khalifah terakhir.
Itulah akhir dari masa keemasan kerajaan Turki Usmani, pada masa selanjutnya kelemahan kerajaan ini menyebabkan kekuatan Eropa tanpa segan-segan menjajah dan menduduki derah-daerah muslim yang dulunya berada dalam kekuasaan kerajaan Usmani. meskipun demikian kerajaan ini telah menjadi kerajaan muslim terbesar pada masa modern dan juga menjadi kerajaan muslim terlama sepanjang sejarah, tidak kurang dari tiga puluh enam sultan semuanya laki-laki dari garis keturunan Usman berkuasa dari tahun 1300 M. sampai tahun 1924 M.

B. Kerajaan Safawi

1. Pembentukan Kerajaan Safawi
Kerajaan ini berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Arabil, sebuah kota di Azerbaizan. Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah. Nama Safawiyah diambil dari nama pendirinya yaitu Safi al-Din (1252-1334 M.). Nama safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik, bahkan terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil menjadi sebuah kerajaan.
Safi al-Din adalah keturunan imam syi’ah yang keenam, Musa al-Kazhim. Gurunya bernama Syaik Taj al-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301 M.) yang dikenal dengan julukan Zahid al-Gilani. Safi al-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah menggantikan gurunya sekaligus mertuanya setelah wafat tahun 1301 M.
Kecenderungan memasuki wilayah politik mendapat wujud konkritnya pada masa kepemimpinan Junaed (1447-1460). Dinasti Safawi memperluas geraknya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konplik antara Junaed dengan penguasa kara Kuyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Konplik tersebut memaksa Junaid meninggalkan Ardabil dan meminta suaka politik kepada penguasa Diyar Bakr , AK-koyunlu (domba putih) yang juga salah satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia, sekiligus mengadakan aliansi untuk bersama-sama menghadapi Kara Koyonlu. Aliansi politik semakin kuat dengan menikahnya Junaid dengan saudara Uzun Hasan (Raja Koyunlu), dan bertamba kuat pula dengan perkawinan antara Haidar putra Junaid dengan putri Uzun Hasan.
Pada tahun 1459 M. Junaid berusaha merebut Ardabil, tetapi gagal. Tahun berikutnya mencoba merebut Sircassia namun lagi-lagi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara sirwan, Junaid terbunuh dalam pertempuran tersebut. Meskipun gagal dalam usahanya merebut suatu kekuasaan memperoleh wilayah, namun patut dicatat bahwa Junaid telah berhasil merubah sebuah gerakan tarekat menjadi gerakan politik yang kelak dalam perkembangan selanjutnya menjadi sebuah kerajaan besar yaitu kerajaan Safawi.

2. Perkembangan dan Masa Kejayaan Kerajaan Safawi
Setelah Junaid meninggal maka kepemimpinan Safawi dilanjutkan oleh puteranya yaitu Haidar. Dalam pertempuran yang terjadi pada tahun 1476 M. Haidar yang bekerjasama dengan Ak-Koyunlu mampu mengalahan Kara Kuyunlu sehingga nama Safawi menjadi besar. Akan tetapi hal ini tidak dikehendaki oleh Ak-Koyunlu karena dianggap sebagai kekuatan yang membahayakan kekuasaannya di Persia.
Ak-Koyunlu memandang dianasti Safawi sebagai rival politik dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Oleh karena itu ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, Ak-Koyunlu mengirim pasukan untuk membantu pasukan Sirwan sehingga pasukan Safawi kalah dan Haidar terbunuh dalam peperangan itu. Haidar kemudian digantikan oleh putranya, Ali untuk melanjutkan kepemimpinan dinasti Safawi. Namun Ali tidak begitu lama memimpin karena Ali beserta saudaranya dan ibunya ditangkap dan dipenjarakan oleh Ak-Koyunlu.
Kepemimpinan safawi bangkit kembali dalam kepemimpinan Ismail, saudara Ali, dengan pasukannya yang terkenal dengan Qizilbaz (baret merah) yang bermarkas di Gilan berhasil mengalahkan Ak-Koyunlu pada tahun 1501 M. serta menaklukkan dan menduduki Tabriz, ibu kota Ak-Koyunlu. Di kota inilah Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama kerajaan Safawi, yang kemudian ia diberi gelar Ismail I.
Ismail I ini berkuasa selama lebih kurang 23 tahun (1501-1524). Pada masa sepuluh tahun pertama kekuasaannya ia mampu memperluas wilayahnya dengan menghancurkan sisa-sisa keuatan Ak-Koyunlu sehingga ia mampu mendududki seluruh wilayah Persia. Tidak sampai di situ ambisi politik mendorongnya untuk terus mengembangkan sayap menguasai daerah–daerah lainnya, termasuk Turki Usmani. Namun kekuatan militer kerajaan Usmani sangat kuat maka Safawi selalu mengalami kekalahan, malah Turki Usmani dibawah kepemimpinan sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi bisa selamat karena Sultan Salim segera pulang ke Turki karena terjadi perpecahan dikalangan militer di negerinya.
Permusuhan dengan kerajaan Usmani terus berlangsung sepeninggal Ismail, yaitu pada masa pemerintahan Tahmasp I (1524-1576), Ismail II (1576-1577), dan Muhammad Khudabanda (1577-1587). Pada masa ketiga raja tersebut kerajaan Safawi dalam keadaan lemah. Kondisi memprihatinkan tersebut baru bisa diatasi setelah raja safawi kelima , Abbas I naik tahta (1588-1628). Langkah awal yang ditempuhnya adalah dengan membenahi situasi politik dalam negeri, setelah merasa kuat barulah memusatkan perhatiannya keluar dengan berusaha merebut kembali wialayah kekuasaannya yang hilang.
Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Secara politik ia mampu mengatasi berbagai kemelut dalam negeri yang mengganggu stabilitas Negara dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang pernah direbut kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya. Di bidang lain kerajaan ini juga mengalami banyak kemajuan diantaranya :

a. Bidang Ekonomi
Stabilitas politik kerajaan Safawi di masa Abbas I mampu memicu perkembangan perekonomian Safawi, lebih-lebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun dirubah menjadi Bandar Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini maka salah satu jalur dagang laut antara timur dan barat yang biasa diperebutkan oleh Inggris, Prancis dan Belanda menjadi milik Safawi. Di samping sektor perdagangan, kerajaan Safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian.

b. Bidang Ilmu Pengetahuan
Kerajaan Safawi mampu melahirkan beberapa ilmuwan yang selalu hadir di majelis istana, yaitu Baha al-Din al-Syaeraszi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar al-Din al-Syaerazi (filosof) dan Muhammad Baqir ibnu Muhammad Damad, Filosof, ahli sejarah, teolog dan seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah.
Dalam sejarah Islam kerajaan Safawi adalah kerajaann yang berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kearajaan ini lebih maju dari dua kerajaan lainnya pada yang sama dalam bidang ilmu pengetahuan.

c. Bidang Pembangunan Fisik dan Seni.
Para penguasa kerajaan ini telah berhasil menciptakan Isfahan ibu kota kerajaan menjadi kota yang sangat indah. Di kota tersebut berdiri bangunan-bangunan besar lagi indah seperti masjid, rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa di atas zende Ruud dan istana Chihil sutun.
Di bidang seni terlihat dari arsitektur bangunan-bangunannya, unsur seni lainnya terliahat pula dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian, tembikar dan benda seni lainnya. Demikian masa kemajuan kerajaan safawi, walaupun tidak setaraf dengan kemajuan Islam di masa klasik, namun kerajaan ini telah memberikan kontribusinya mengisi peradaban Islam.

3. Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi
Sepeninggal Abbas I kerajaan Safawi diperintah oleh enam raja secara berturut-turut, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M.), Abbas II (1642-1667), Sulaiman, (1667-1694), Husain, (1694-1722), Tahmasp II (1722-1732), dan Abbas III (1733-1736). Pada masa raja-raja tersebut kondisi kerajaan tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang, melainkan kemunduran dan akhirnya membawa kepada kehancuran.
Ke-enam raja tersebut adalah orang yang lemah dalam memimpin kerajaan, umumnya mereka hidup bersenang-senang bahkan mabuk-mabukan seperti Abbas II. Sedangkan sultan Sulaiman suka bertindak kejam terhadap pembesar-pembesar yang dicurigai berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, sehingga timbul perpecahan dan rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintahan. Demikian juga Syah Husain yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut Sunni, akibatnya membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afganistan kemudian memicu terjadinya pertempuran, dan Husain I mengalami kekalahan penganut Sunni akhirnya menguasai wilayah Isfahan.
Putra Husain, Tahmasp II dengan dukungan suku Qashar dari Rusia memprolamirkan dirinya sebagai raja yang sah dari Persia pada tahun 1726 M. Tahmasp II bekerja sama dengan Nadhir Kahn dari suku Afgan berhasil merebut kembali Isfahan. Namun pada bulan agustus tahun 1732 M. Tahmasp II diturunkan oleh Nadhir Khan dan digantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp II), yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu tepatnya 8 maret 1736 M. Nadhir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III, dengan demikian berakhirlah kekuasaan dianasti Safawi di Persia.

C. Kerajaan Mughal

1. Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Mughal
Dinasti Mughal tergolong kerajaan besar Islam termuda dibandingkan dua kerajaan Islam di masanya. Dinasti Mughal berkedudukan di India yang didirikan oleh Zahiruddin Muhammad Babur (1482-1530 M) dari keturunan Turki Chagathai. Ayahnya bernama Umar Mirza atau Umar Syaikh Abi Said ia adalah generasi kelima dari Timur Lenk yang menjadi penguasa di sebuah kesultanan kecil Timuriyah di Asia Tengah, yakni Farghana. Sedangkan ibunya berasal dari keturunan Jenghis Khan.
Kerajaan Mughal sebagai kerajaan yang pernah berkuasa, sebenarnya bukanlah awal mulanya Islam datang di India, akan tetapi, pada dasarnya Islam awalnya telah ada sejak masa khalifah al-Walid dari Dinasti Umayyah. Itu artinya bahwa Islam telah lama dikenal oleh masyarakat sebelum berdirinya kerajaan Mughal.
Zahiriruddin Babur adalah sosok pribadi yang disegani pada masanya, tidak heran kalau ia digelar “The Lion King”. Peranan orang tuanya sangat mendukung dirinya sebagai pejuang dan penguasa kaliber nantinya. Ketika ayahnya wafat pada tahun 1494 M, ketika itu Babur baru berusia 14 tahun. Sebagai pewaris tahta dari nenek moyangnya, Timur Lenk, ia pun memulai melakukan ekspansi ke berbagai wilayah hingga pada tahun 1504 M. dapat merebut Kabul dan Gazni. Pada tahun 1525 M. dengan mudah ia dapat pula merebut Punjab dan tak henti-hentinya bergerak untuk menguasai daerah-daerah lainnya seperti Delhi dan Panipat yang sudah lama dikuasai oleh Ibrahim Lodi. Setelah perlawanan Ibrahim Lodi dikalahkan pula, Babur menghadapi serangan dari Ranasanga, penguasa Mewar yang berkoalisi dengan penguasa Amber, Gwaleor, Ajmer, Chandri dan Sultan Mahmud Lodi pada tahun 1529 M.
Pertempuran ini tergolong amat dahsyat dibandingkan dengan pertempuran-pertempuran lainnya pada masa itu. Babur sebagai perwira yang gagah berani selalu memotifasi semangat bala tentaranya yang sedang panik menghadapi lawan-lawannya, sehingga pada akhirnya kemenangan itu berada di pihaknya dan kota Delhi yang telah direbut ia jadikan ibu kota. Dengan demikian berdirilah kerajaan Mughal di India. Pada tahun 1530 M, Babur wafat dalam usia 48 tahun setelah memerintah selama 30 tahun dengan meninggalkan kejayaan yang cemerlang.
2. Perkembangan dan Kemajuan Kerajaan Mughal
Sepeninggal Zhiruddin Babur, tahta kerajaan dilimpahkan kepada putera tertuanya, Humayun. Humayun memerintah selama sembilan tahun (1530-1539 M). dalam masa kepemimpinannya bukannya mengalami kemajuan akan tetapi justru sebagian wilayah yang pernah dikuasai ayahnya tidak mampu dipertahankan. Hal ini disebabkan keterampilan politik Humayun tidak sebaik ayahnya.
Situasi politik kerajaan Mughal kemudian stabil kembali setelah Jalal al-Din Abd al-Tahir Muhammad Akbar (1556-1606 M). tampil menggantikan posisi ayahnya, Humayun. Di tangan Akbar inilah kerajaan Mughal mencapai masa keemasannya. Sifat kecerdasan, keberanian dan kecakapan yang dimiliki oleh Akbar, mampu menata situasi dalam negeri sehingga menjadi kondusif. Setelah itu akbar mulai menyusun program ekspansi, ia berhasil menguasai Chundar, Ghond, Chitor, Ranthabar, Kalinjar, Bengal, Orissa, Deccan, Narhala, Gujarat, Kashmir, dan Asirgah. Wilayah yang luas itu diperintah dalam suatu pemerintahan militeristik.
Akbar juga menerapkan politik sulakhul (toleransi universal). Dengan politik ini semua rakyat india dipandang sama. Mereka tidak dibedakan Karena perbedaan etnis dan agama. Dalam soal agama Akbar mempunyai pendapat yang liberal dan ingin menyatukan semua agama dalam satu bentuk agama baru yang diberi nama Din Ilahi.
Kemajuan masa pemerintahan Akbar masih dapat dipertahankan oleh tiga sultan setelahnya yaitu Jehangir (1605-1628 M.), Syah Jehan (1628-1658 M.) dan Aurangzeb (1658-1707). pada masa ini kerajaan Mughal betul-betul berkibar. Dalam bidang ekonomi, kerajaan Mughal dapat mengembangkan program pertanian, pertambangan, dan perdagangan, akan tetapi sumber perdagangan Negara lebih banyak bertumpuh pada sektor pertanian. Di samping itu bidang ekonomi, bidang seni dan budaya juga berkembang. Karya seni yang menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana, baik yang berbahasa Persia maupun yang berbahasa India. Karya seni yang masih dapat dinikmati sekarang dan merupakan karya seni terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah karya arsitektur yang indah dan mengagumkan. Pada masa Akbar dibangun istana Fatfursikri, villah dan masjid-masjid yang indah. Pada masa Syah Jehan dibangun Taj Mahal , Masjid Raya Delhi dan Istana indah di Lahore.

3. Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Mughal
Setelah satu setengah abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaan, maka pada abad ke-18 kerajaan ini mamasuki masa-masa kemunduran. Para pelanjut Aurangzeb tidak bisa mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh sultan-sultan sebelumnya. Kekuasaan politik mulai merosot, suksesi pemerintahan di tingkat pusat menjadi ajang perebutan. Gerakan separatis Hindu semakin mengancam, sementara pedagang Inggris untuk pertama kalinya diizinkan oleh Sultan Jihangir menanamkan modal di India. Dengan didukung kekuatan bersenjata yang kuat akhirnya menguasai daerah pantai.
Pada masa Aurangzeb pemberontakan terhadap pemerintah pusat memang sudah muncul, tetapi bisa diatasi. dengan pemikiran puritanisme sultan Aurangzeb juga menjadi titik munculnya konplik, setelah ia wafat penerusnya tidak mampu menghadapi problem yang ditinggalkan Aurangzeb. Sepeninggal Aurangzeb Mughal dipimpin oleh Muazzam yang bergelar Bahadur Syah. Akan tetapi karena sikapnya yang terlalu memaksakan ajaran Syi’ah, maka penduduk Lahore mangadakan perlawanan.
Konplik yang berkepanjangan mengakibatkan pengawasan terhadap wilayah lemah. disintegrasi wilayah pun tak bisa dihindari, satu persatu daerah melepaskan diri dari pemerintah pusat dan masing-masing memperkuat pemerintahannya sendiri-sendiri. Hiderabad dikuasai oleh Nizam al-Mulk, Marathas dikusai oleh Shivaji, Rajput mendirikan pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Jai Singh dari Amber, Punjab dikuasai kelompok Syikh, Oudh dikuasai Sadat Khan, Banegal dikuasai Syuja’ al-Din, sementara wilayah pantai dikuasai pedagang asing terutama EIC dari Inggris.
Pada tahun 1857 M. terjadilah perlawanan rakyat India terhadap Inggris dan berakhir dengan kemenangan Inggris, bahkan Bahadur Syah, raja terakhir Mughal diusir dari istana (1858 M.) dengan demikian berakhir sudah sejarah kekuasaan kerajaan Mughal di daratan India, dan tinggallah di sana umat yang harus berjuang mempertahankan eksistensi mereka.

PEMELIHARAAN AL-QUR’AN

On 7 komentar

Oleh : Mustanan


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an yang secara harfiah berarti bacaan yang sempurna merupakan nama pilihan Allah SWT., yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal baca tulis yang dapat menandinginya. Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., yang merupakan penyempurna kitab-kitab samawi sebelumnya, berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia serta pembeda antara yang haq dan yang batil, dan merupakan kitab undang-undang hukum yang paling sempurna yang bisa menjawab segala persoalan umat manusia.
Tiada satu bacaan pun seperti Al-Qur’an yang dipelajari redaksinya bukan hanya dari segi penempatan kata demi kata, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai pada kesan-kesan yang ditimbulkan oleh pembacanya. Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab yang dipelajari, dibaca dengan berbagai macam lirik dan lagu serta diriwayatkan oleh banyak orang yang menurut adat mustahil mereka sepakat berbohong.
Dengan demikian Al-Qur’an telah terpelihara keotentikannya, tidak ada satu surat, satu ayat atau satu huruf pun yang berubah dari redaksi aslinya sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., sampai sekarang. Meskipun semua kitab Al-Qur’an terbakar, ataupun hilang, ayat-ayat Al-Qur’an tidak akan ikut hilang karena redaksi Al-Quran telah dihafal oleh ribuan umat muslim di seluruh dunia. Lain halnya dengan para ahli kitab tidak ada yang menghafal Kitab Taurat dan Injil, dan dalam menjaga keduanya, mereka hanya membaca tulisan yang telah dibukukan saja, mereka selalu membacanya dengan mata kepala namun tidak hafal diluar kepala, oleh karena itu keduanya bisa saja terjadi perubahan.
Al-Qur’an adalah sebuah keajaiban yang luar biasa yang diberikan Allah SWT., kepada Nabi-Nya yang mulia. Kemudian diteruskan kepada umat yang beriman untuk dijadikan pedoman yang abadi dalam kehidupan.
Dari kenyataan diatas maka sepantasnyalah umat Islam untuk senantiasa memelihara Al-Qur’an, karena Al-Qur’an disatu sisi adalah kitab yang sumbernya dari Allah SWT, juga disisi lain sarat dengan nilai-nilai ilmiah yang dapat dijadikan rujukan manusia dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab umat Islam untuk senantiasa memelihara Al-Qur’an.

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian dan dasar Pemeliharaan Al-Qur’an
1. Pengertian Pemeliharaan al-Qur’an
Pemeliharaan Al-Qur’an terdiri atas dua kata yaitu pemeliharaan dan Al-Qur’an. Pemeliharaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pembuatan, penjagaan dan perawatan. Sedangkan Al-Qur’an adalah :
Kitab suci umat islam yang berisi firman-firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., dengan perantaraan Malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk dan pedoman hidup umat manusia.
Dari pengertian itu dapat dipahami bahwa yang dimaksud pemeliharaan Al-Qur’an Adalah proses pengumpulan, penulisan dan pembukuan serta perawatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga menjadi sebuah kitab seperti yang kita baca sekarang.
Dalam sebagian besar literatur yang membahas tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, istilah yang dipakai untuk menunjukkan arti penulisan, pembukuan, atau pemeliharaan Al-Qur’an adalah Jam’ul Qur’an yang artinya pengumpulan Al-Qur’an. hanya sebagian kecil literatur yang memakai istilah Kitabat Al-Qur’an yang artinya penulisan Al-Quran, serta Tadwin Al-Qur’an yang artinya pembukuan Al-Qur’an.
Apabila mencermati batasan pengertian yang terdapat dalam literatur di atas, pada dasarnya istilah-istilah yang digunakan mempunyai maksud yang sama, yaitu proses pemeliharaan Al-Qur’an yang dimulai pada turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad saw., kemudian disampaikan kepada para sahabat untuk dihafal dan ditulis sampai dihimpunnya catatan-catatan tersebut dalam satu mushaf yang utuh dan tersusun secara tertib.
Manna Khalil al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fii Ulumil Qur’an memberikan pengertian pemeliharaan Al-Qur’an dalam dua kategori yaitu : pemeliharaan Al-Qur’an dalam arti menghafalnya dalam hati dan pemeliharaan Al-Qur’an dalam arti penulisannya. \

2. Dasar pemeliharaan al-Qur’an
Sejak awal diturunkannya Empat belas abad yang lalu Sampai masa modern saat ini Al-Qur’an senantiasa terjaga kemurnian dan kesuciannya. Karena Al-Qur’an satu-satunya kitab yang dijaga oleh Allah keotentikannya, sebagiamana firman Allah SWT., dalam Q.S. Al-Hijr (15) : 9 sebagai berikut :
Terjemahnya :

Sesungguhnya kami telah menurunkan peringatan (Al-Qur’an) dan sesungguhnya kamilah yang memeliharanya.

Demikianlah Allah SWT., menjamin keaslian Al-Qur’an, jaminan yang diberikan atas dasar kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh mahluk-mahluk-Nya, terutama oleh manusia.
Tulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW. belum terkumpul dalam satu mushaf, di mana setiap ayat yang turun Rasulullah Muhammad SAW., hanya memerintahkan kepada para sahabat yang pandai untuk menulisnya di pelepah-pelepah tamar, di kulit hewan, serta di atas batu.
Rasulullah berpulang ke rahmatullah di saat Al-Qur’an belum dikumpulkan sama sekali, maksudnya ayat-ayatnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Ayat-ayat dan surat-surat dipisah-pisahkan, dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah. Al-Khattabi dalam Jalaluddin Assuyuti mengatakan:
Rasulullah tidak mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf karena Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu kewaktu. Susunan penulisan Al-Qur’an tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi. Oleh sebab itu penulisannya dilakukan kemudian setelah Al-Qur’an turun semua pada saat Nabi Muhammad SAW., telah wafat.

Pada masa Abu Bakar menjalankan urusan-urusan Islam sesudah Rasulullah, ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan. Oleh sebab ia segera menyiapkan pasukan memerangi orang-orang murtad itu, sehingga pada tahun ke dua belas hijra terjadilah peperangan yamamah. Dalam peperangan itu ada tujuh puluh qari’ dan huffadz dari para sahabat yang gugur. Kenyataan ini membuat Umar bin Khattab cemas dan khawatir, jangan sampai terjadi lagi peperangan yang lain sehingga jumlah jumlah sahabat yang hafidz Qur’an bertambah banyak yang gugur. Apabila hal ini terjadi maka Al-Qur’an bisa saja akan musnah dan hilang seiring dengan hilangnya para huffadz.
Inilah yang menjadi dasar dan alasan bagi Umar bin Khattab, sehingga dia mendesak Khalifah Abu Bakar agar segera mengumpulkan tulisan al-Qur’an yang pernah ada pada masa Rasulullah Muhammad saw.

B. Proses Pemeliharaan a-Qur’an di Masa Nabi Muhammad saw., di Masa Sahabat dan di Masa Sekarang

Sejarah Al-Qur’an demikian jelas sejak turunnya sampai masa kini dibaca oleh kaum muslimin sejak dahulu sampai sekarang, sehingga Al-Qur’an sangat terbukti keotentikannya. Al-Qur’an membuktikan dirinya sebagai firman Allah dan membuktikan hal tersebut dengan menantang siapa pun untuk menyusun seperti keadaannya. Dengan demikian apa yang dibaca sebagai al-Qur’an pada hari ini tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah SAW., empat belas abad yang lalu.
Terpeliharanya keotentikan redaksi al-Qur’an tersebut tiadak lain karena andil dari Rasulullah saw dan para sahabatnya serta segenap umat Islam yang lain.


1. Proses Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Nabi Muhammad SAW.

Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW. dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu :

a. Pemeliharaan Al-Qur’an dalam dada
Pemeliharaan Al-Qur’an dalam dada sering juga disebut pengumpulan Al-Qur’an dalam arti hifzuhu atau menghafalnya dalam hati. kondisi masyarakat arab yang hidup pada masa turunnya Al-Qur’an adalah masyarakat yang tidak mengenal baca tulis karena itu satu-satunya andalan mereka adalah hafalan, mereka juga dikenal sebagai masyarakat yang sederhana dan bersahaja. Kesederhanaan ini yang membuat mereka memiliki waktu luang yang cukup yang digunakan unrtuk menambah ketajaman pikiran dan hafalan.
Masyarakat arab waktu itu sangat gandrung lagi membanggakan kesusatraan, mereka membuat ratusan ribu syair kemudian dihafalnya diluar kepala, mereka bahkan melakukan perlombaan-perlombaan dalam bidang ini pada waktu-waktu tertentu. Akan tetapi ketika Al-Qur’an datang dengan langgam bahasa yang sangat memukau, pemberiataan gaib yang terbukti, isyarat ilmiah yang mantap serta keseimbangan bahasa yang jelas mampu mengalahkan syair-syairnya, sehingga mereka mengalihkan perhatian kepada kitab yang mulia ini dengan sepenuh hati menghafal ayat-ayat dan surat-suratnya, kemudian secara perlahan-lahan mereka meninggalkan syair-syairnya karena telah menemukan cahaya kehidupan dalam Al-Qur’an.
Al-Quran diturunkan kepada Nabi yang ummi, maka otomatis untuk memelihara apa yang yang diturunkannya kepadanya haruslah di hafal. Usaha keras Nabi Muhammad SAW., untuk menghafal Al-Qur’an terbukti setiap malam beliau membaca Al-Qur’an dalam shalat sebagai ibadah untuk merenungkan maknanya. Rasulullah sangat ingin segera menguasai Al-Qur’an yang diturunkan, kepadanya belum selesai Malaikat Jibril membacakan ayatnya, beliau sudah menggerakkan lidahnya untuk menghafal apa yang sedang diturunkan, karena takut apa yang turun itu terlewatkan sehingga Allah SWT., menurunkan firman-Nya sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. al-Qiyamah (75) : 16-19 sebagai berikut:

Terjemahnya :

Janganlah kamu menggerakkan lidahmu untuk membaca Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai mebacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian atas tanggungna kamilah penjelasannya.

Ayat di atas bagaikan mengatakan janganlah engkau wahai Nabi Muhammad menggerakkan lidahmu untuk membacanya sebelum Malaikat Jibril selesai membacakannya kepadamu, jangan sampai engkau tidak menghafalnya atau melupakan satu bagian darinya. Allah SWT., melarang ketergesa-gesaan agar tidak terjerumus ke dalam pelanggaran.
Kata jam’ahu (penghimpunannya) dari ayat diatas bermakna penghafalannya, oleh karena itu orang-orang yang hafal Qur’an disebut Jumma’ul Qur’an atau Huffadzul Qur’an. Makna yang lain dari Jam’ahu adalah penulisan seluruh Al-Qur’an.
Nabi Muhammad SAW., setelah menerima wahyu langsung menyampaikan wahyu tersebut kepada para sahabatnya sesuai denagn hapalan Nabi, tidak kurang tidak lebih. Sehingga sahabat pun banyak sekali yang hafiz Qur’an. Manna Khlil Al-Qattan mengutip hadits dari kitab shahih Buhari bahwa Ada tujuh hafiz di zaman Rasulullah yaitu : Abdullah Bin Mas’ud, Salim bin Maqal, Muadz bin Jabal, Ubai Bin Ka’ab, zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Zakan, dan Abu darda.
Penyebutan para hafiz yang tujuh di atas bukan berarti pembatasan, karena beberapa keterangan dalam kitab-kitab sejarah menunjukkan bahwa para sahabat berlomba menghafalkan Al-Qur’an dan mereka memerintahkan anak-anak dan istri-istri mereka untuk menghafalkannya. Mereka membacanya dalam shalat sehingga alunan suaranya seperti suara lebah.

b.Pemeliharaan Al-Qur’an dengan tulisan
Walaupun Nabi Muhammad SAW., dan para sahabat menghafal ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu Ilahi beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang turun Nabi Muhammad SAW., memanggil sahabat-sahabat yang dikenal pandai menulis. Rasulullah mengangkat beberapa orang penulis (kuttab) wahyu seperti Ali, Muawiyah, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Ayat-ayat Al-Qur’an mereka tulis dalam pelepah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Sebagian sahabat ada juga sahabat yang menuliskan ayat-ayat tersebut secara pribadi. Namun karena keterbatasan alat tulis dan kemanpuan sehingga tidak banyak yang melakukannya.
Hal lain yang menjadi bukti bahwa Penulisan Al-Qur’an telah ada sejak zaman Rasulullah SAW., dikemukkan oleh Ibrahim al-Abyari, tentang sekelumit historis Umar bin Khattab ketika mendapat informasi bahwa saudaranya masuk islam, lalu ia marah besar kepada adiknya setelah ditemuinya sedang membca Al-Qur’an. Namun ketika Umar telah reda marahnya, ia melihat lembaran-lembaran di sudut rumahnya yang di dalamnya terdapat tulisan ayat-ayat Al-Qur’an.Kemudian Umar masuk Islam setelah mendapatkan kalimat-kalimat yang mengandung mukjizat yang bukan perkataan manusia.
Dari beberapa pernyataan tersebut, maka jelaslah bahwa sejak zaman Nabi Muhammad SAW., telah terjadi pengumpulan Al-Qur’an yang dilakukan dengan dua cara yaitu menghafalnya dalam hati dan menulisnya di atas pelbagai jenis bahan yang ada pada saat itu. Meskipun Al-Qur’an saat itu belum tertulis dalam lembaran yang berbentuk mushaf sebagaimana sekarang, tetapi ini cukup menjadi bukti bahwa sudah ada penulisan Al-Qur’an pada Zaman Nabi Muhammad SAW., bahwa pemeliharaan Al-Qur’an di masa Nabi ini dinamakan pembukuan yang pertama.

2.Pemeliharaan AL-Qur’an pada Masa Sahabat

a.Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar
Tragedi berdarah di peperangan Yamamah yang menggugurkan 70 orang sahabat yang hafidz Qur’an dicermati secara kritis oleh Umar bin Khattab, sehingga muncullah ide brilian dari beliau dengan mengusulkan kepada Abu Bakar agar segera mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an yang pernah ditulis pada masa Rasulullah SAW.
Semula Abu Bakar keberatan dengan usul Umar, dengan alasan belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW., tetapi akhirnya Umar Behasil meyakinkannya sehingga dibentuklah sebuah timyang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dalam rangka merealisasikan mandat dan tugas suci tersebut.Abu Bakar memilih Zaid mengingat kedudukannya dalam qiraat, penulisan, pemahaman, dan kecerdasannya serta dia juga hadir pada saat Al-Qur’an dibacakan oleh Rasulullah terakhir kalinya.
Zaid bin Tsabit melaksanakan tugas yang berat dan mulia tersebut dengan sangat hati-hati di bawah petunjuk Abu Bakar dan Umar. Sumber utama penulisan tersebut adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang dihafal oleh para sahabat dan yang ditulis atau dicatat di hadapan Nabi. Di samping itu untuk lebih mengetahui kalau catatan yang berisi ayat Al-Qur’an benar-benar berasal dari Nabi Muhammad SAW., maka harus menghadirkan dua orang saksi yang adil.
Dalam rentang waktu kerja tim, Zaid kesulitan terberat dialaminya pada saat tidak menemukan naskah mengenai Ayat 128 dari Surat At-Taubah. Ayat tersebut dihafal oleh banyak sahabat termasuk Zaid sendiri, namun tidak ditemukan dalam bentuk tulisan. Kesulitan itu nanti berakhir ketika naskah dari ayat tersebuit ditemukan ditangan seorang bernama Abu Khuzaimah Al-Anshari.
Hasil kerja yang beruapa mushaf Al-Qur’an disimpan oleh Abu Bakar sampai akhir hayatnya. Setelah itu berpindah ketangan Umar bin Khattab. Sepeninggal Umar Mushaf di ambil oleh hafsah binti Umar.
Dari rekaman sejarah di atas diketahui bahwa Abu Bakar yang memerintahkan pertama penghimpunan Al-Qur’an, Umar bin Khattab adalah pencetus ide yang brilian, serta Zaid bin Tsabit adalah aktor utama yang melakukan kerja besar penulisan Al-Qur’an secara utuh dan sekaligus menghimpunnya dalam bentuk mushaf. Pemeliharaan Al-Qur’an dimasa Abu Bakar dinamakan pengumpulan yang kedua.
b. Pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan
Pada masa pemerintahan Usman, wilayah Negara Islam telah meluas sampai ke Tripoli Barat, Armenia dan Azarbaijan. Pada waktu itu Islam sudah masuk wilayah Afrika, Syiriah dan Persia. Para hafidz pun tersebar, sehingga menimbulkan persoalan baru, yaitu silang pendapat mengenai qiraat Al-Qur’an.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan diantara orang yang ikut menyerbu kedua kota tersebut adalah Khuzaifah bin al-Yaman. Ia menemukan banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an, bahkan sebagian qiraat itu bercampur dengan dengan kesalahan. Masing-masing mempertahankan bacaannya serta menetang setiap bacaaan yang tidak berasal dari gurunya. Melihat kedaan yang memprihatinkan ini Khuzaifah segera melaporkan kepada Khalifah Usman tentang sesuatu yang telah dilihatnya.
Usman segara mengundang para sahabat bermusyawarah mencari jalan keluar dari masalah serius tersebut. Akhirnya dicapai suatu kesepakatan agar Mushaf Abu Bakar disalin kembali menjadi beberapa mushaf untuk dijadikan rujukan apabila terjadi perselisihan tentang cara membaca Al-Qur’an. Untuk terlaksananya tugas tersebut Usman menunjuk satu tim yang terdiri dari empat orang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdul Rahman bin Haris bin Hisyam.
Hasil kerja tersebut berwujud empat mushaf Al-Qur’an standar. Tiga diantaranya dikirm ke Syam, Kufah dan Basrah, dan satu mushaf ditinggalakan di Madinah untuk pegangan khalifah yang kemudian dikenal dengan al-Mushaf al-Imam. Agar persoalan silang pendapat mengenai bacaan dapat diselesaikan dengan tuntas maka usman memerintahkan semua mushaf yang berbeda dengan hasil kerja panitia yang empat ini untuk dibakar.
Dengan usahanya itu usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga Qur’an dari perubahan dan penyimpangan sepanjang zaman. mushaf yang ditulis dimasa usman inilah yang kemudian menjadi rujukan sampai sekarang.

C. Pemeliharaan Al-Qur’an di Masa Sekarang
Meskipun Al-Qur’an telah dibukukan pada masa Usman bin Affan dan semua umat islam menyakini bahwa di dalamnya tidak ada perubahan dari apa yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW. 14 abad yang lalu. Namun orang orientalis masih saja ada yang meragukan keotentikan Al-Qur’an. Diantara mereka ada yang mencoba melakukan من تغير النص القرأن yaitu perubahan terhadap isi Al-Qu’ran dengan merubah sebagian teksnya, serta melakukan من تحريف النص القرأن yaitu merubah satu huruf yang mirip seperti خ dirubah jadi ح sehingga berubah arti dan maknanya.
Upaya-upaya kaum orientalis ini tidak pernah mengalami keberhasilan karena sangat banyak umat Islam yang menghafal Al-Qur’an, sehingga perubahan sedikit pun dari redaksi Al-Qur’an pasti ditemukan. Karena upaya tersebut tidak berhasil maka mereka mencoba cara lain dengan melakukan تأ ويل القرأن على حسب الهوي yaitu melakukan penafsiran tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya. Apalagi banyaknya kisah israiliyyat yang merasuki penafsiran al-Qur’an. kisah dan dongeng yang disusupkan dalam tafsir dan hadits yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya yaitu Yahudi, Nashrani dan yang lainnya. Cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits tersebut sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.
Mufassir dituntut untuk memperhatikan cakupan pengertian dan keserasian makna yang ditunjuk oleh redaksi ayat Al-Qur’an. Di samping itu harus tetap memelihara dan memperhatikan semua konsekuensi makna yang terkandung dalam redaksi ayat, serta makna lain yang mengarah kepadanya, yaitu makna yang tidak terjangkau oleh penyebutan redaksi ayat, tetapi relevan dengannya.
Menurut para ulama, seseorang yang hendak menafsirkan ayat Al-Qur’an, hendaklah lebih dahulu mencari tafsir ayat tersebut di dalam Al-Qur’an sendiri, karena kerap kali ayat-ayat itu bersifat global di suatu tempat, sedang penjelasannya terdapat di tempat lain (ayat lain), terkadang ayat itu bersifat ringkas di suatu tempat, dan penjelasannya ditemukan di tempat lain (ayat lain). Lantaran yang lebih mengetahui makna Al-Qur’an secara tepat hanyalah Allah. Jika tidak ada ayat yang dapat dijadikan tafsir bagi ayat itu, hendaklah memeriksa hadis-hadis Nabi. Karena sunnah merupakan penjelas makna ayat Al-Qur’an. Jika tidak menemukan di dalam sunnah hendaklah merujuk kepada perkataan sahabat, sesungguhnya mereka lebih tahu mengenai hal itu lantaran mereka mendengar sendiri dari mulut Rasulullah dan menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan suasana yang meliputi ketika turunnya, mereka juga memiliki pemahaman bahasa Arab yang benar, ilmu yang benar dan amal shalih.
Dalam hal tersebut di atas, maka pemeliharaan Al-Qur’an tidaklah berhenti sampai di situ, melainkan umat Islam di masa sekarang haruslah senantiasa memelihara dan menjaga keotentikan al-Qur’an dengan cara berusaha menghafal, mempelajari dan mengkaji Al-Qur’an, serta memahami makna yang sebenarnya berdasarkan kaidah tafsir, sehingga setiap perubahan isi Al-Qur’an serta adanya upaya untuk menafsirkan tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya dapat diketahui.
Dengan mengetahui secara mendalam tentang pengumpulan al-Qur’an, serta memeliharanya dengan menghafal dan memahami maknanya, maka kita akan menjadikannya pedoman yang diyakini kebenarannya karena sebuah kitab suci harus dipertanggung jawabkan keotentikannya sehingga tetap bisa dianggap sebagai kitab suci dan untuk membuktikan keotentikan sebuah kitab suci salah satu caranya adalah dengan mengetahui sejarah turun ataupun cara pengumpulannya serta untuk mengetahui sampai dimana usaha para sahabat setelah Rasululllah saw. wafat, dalam memelihara dan melestarikan Al-Qur’an.

D. Manfaat Pemeliharaan al-Qur’an
Pemeliharaan al-Qur’an, yang dimulai dengan penghafalan oleh para sahabat di zaman Rasulullah saw., pengumpulan berupa mushaf pada masa Khalifah Abu Bakar dan penulisannya pada masa Usman bin Affan manfaatnya telah dirasakan di masa sekarang ini, yaitu terpeliharanya keaslian dan keotentikan redaksi al-Qur’an. Sekiranya ayat-ayat Al-Qur’an sampai kini masih diatas pelepah tamar atau yang lainnya, maka sudah barang tentu pelepah tamar tersebut lama kelamaan akan lapuk dan hancur bercerai berai. Demikian pula yang dihafal oleh para sahabat akan hilang seiring dengan wafatnya banyak sahabat yang hafal al-Qur’an di medan perang.
Ada beberapa manfaat yang dapat diambil oleh umat manusia dengan terpeliranya al-Qur’an yaitu :

1.Al-Qur’an menjadi satu-satunya kitab suci yang sama sekali redaksinya tidak pernah mengalami perubahan. Apa yang dibaca dari isi Al-Qur’an sekarang adalah sama dengan apa yang dibaca oleh para sahabat empat belas abad yang lalu.

2. Terpeliharanya keotentikan Al-Qur’an menjadikannya sebagai sumber pertama ajaran Islam, ia berisi nilai-nilai ajaran yang bersifat global, unversal, dan mendalam karena itu perlu penjelasan lebih lanjut. Di sinilah pentingnya peranan tafsir guna menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud Al-Qur’an.

3. Al-Qur’an menjadi al-furqan yang berarti pembeda. Dengan membaca dan memahami al-Qur’an, orang dapat membedakan dan memisahkan antara yang hak dan yang batil. Selain itu al-Qur’an juga menjadi az-zikra, yaitu peringatan yang mengingatkan manusia akan posisinya sebagai mahluk Allah yang memiliki tanggung jawab.

4.Terpeliharanya keotentikan dan keaslian redaksi Al-Qur’an, menjadikannya sebagai sumber ilmu pengetahuan. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk yang tersurat dan tersirat yang berkaitan dengan ilmu pengetauan. Isyarat-isyarat ilmiah al-Qur’an ternyata dapat dibuktikan kebenarannya oleh ilmuan di abad modern saat ini.
Fungsi- fungsi al-Qur’an tersebut di atas tidak mungkin dapat tercapai seandainya al-Qur’an tidak dijaga keaslian dan keotentikan redaksinya, sejak masa turunnya samapai sekarang, oleh karena itu menjadi tanggaung jawab setiap umat islam untuk senatiasa menghafal, memehami dan mengkaji isi al-Qur’an.

IBNU RUSYD ( Pembelaan Ibnu Rusyd Terhadap Filosof, Kritik Terhadap Al-Ghazali, Averroisme dan Renaisans di Eropa)

On 1 komentar

Oleh : MUSTANAN

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berfilsafat merupakan bagian dari peradaban manusia. Semua peradaban yang pernah timbul di dunia pasti memiliki filsafat masing-masing. Kenyataan ini sekaligus membantah pandangan bahwa yang berfilsafat hanya orang Barat saja, khususnya orang Yunani. Dalam konteks hubungan filsafat Barat dengan filsafat Islam ternyata keduanya mimiliki hubungan yang sangat akrab ini terjadi terutama dalam bentuk tukar menukar pemikiran.
Pengaruh dominan filsafat Yunani terhadap pemikiran filsafat dalam Islam tidak terbantahkan, bahkan dominasi tersebut diakui oleh para filosof Muslim. Secara diplomasi Alkindi mengatakan bahwa filsafat Yunani telah membantu umat Islam dengan bekal dan dasar-dasar pikiran serta membuka jalan bagi ukuran-ukuran kebenaran. Karena itu, beberapa teori filsafat Yunani, khususnya Aristoteles dipandang sejalan dengan ajaran Islam seperti teori ketuhanan, jiwa dan roh, penciptaan alam dan lain-lain.
Alkindi dan juga beberapa filosof Muslim setelahnya muncul sebagai penerjemah dan pen-syarah filsafat Yunani. Bahkan Ibnu Rusyd dikenal sebagai komentator Yunani memandang Aristoteles sebagai seorang pemikir besar yang pernah lahir. Ia seorang bijaksana yang memiliki ketulusan keyakinan. Maka dalam syairnya Divine Comedy Dante mengatakan Ibnu Rusyd sebagai komentator terbesar terhadap filsafat Aristoteles dimasanya, mengalahkan keterkenalannya dalam pengetahuan lain seperti fisika, kedokteran dan astronomi .
Ibn Rusyd (1126-1198), atau yang lebih terkenal dengan sebutan Ibn Rusyd atau Averroes, adalah filosof Muslim Barat terbesar di abad pertengahan. Dia adalah pendiri pikiran merdeka sehingga memiliki pengaruh yang sangat tinggi di Eropa. Michael Angelo meletakkan patung khayalinya di atas atap gereja Syktien di Vatikan karena ia dipandang sebagai filosof free thinker. Dante dalam Divine Comedia-nya menyebutnya “Sang Komentator” karena dia dianggap sebagai komentator terbesar atas karya-karya Aristoteles.
Dominasi pengaruh filsafat Yunani demikian tak pelak menimbulkan masalah dan tantangan tersendiri terhadap eksistensi filsafat Islam. Secara internal muncullah kritisisme dan bahkan tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat dalam Islam. Secara eksternal ada sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak ada, yang ada hanyalah umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai dengan ajaran Islam. Persoalannya adalah apakah benar filsafat telah menyelewengkan keyakinan Islam? Dengan demikian, benarkah para filosof Muslim adalah ahli bid’ah dan kufr? Seperti terlihat dalam tuduhan-tuduhan kaum orthodok termasuk al-Ghazali.
Al-Ghazali menuduh telah ada kerancuan dalam pemikiran para filosof. Sedemikian konpleknya persoalan-persoalan yang dikritik al-Ghazali sehingga banyak komentator yang beranggapan bahwa penolakan itu sama halnya untuk menjauhkan filsafat dari peradaban Islam. Salah satu kritik yang dilancarkan al-Ghazali terhadap para filosof muslim ialah kecenderungan mereka meremehkan syiar-syiar agama Islam. Mereka (para filosof muslim) lebih tertarik pada ajaran-ajaran Socrates, Plato dan Aristoteles di bidang logika, kosmologi dan teologi. Menurut al-Ghazali apa yang dianggap para filosof itu sebagai suatu kebijaksanaan (wisdom) tak lain adalah kesesatan yang nyata. Ibnu Rusyd mananggapi pernyataan tersebut dengan dengan membuat analogi bahwa Allah sebagai sang pencipta mengeluarkan banyak sifat produksi dan mampu mendatangkan sifat-sifat yang spektakuler, namun ada saja yang mencemoh dan meremehkan hal tersebut. Sehingga yang meremehkan itu menunjukkan bahwa mereka tergolong ulama yang bodoh.
Menanggapi hal tersebut Ibnu Rusyd tampil sebagai pembela para filosof dengan menulis buku yang cukup terkenal, tahafut at-tahafut sebagai sanggahan terhadap tuduhan al-Gazali. Ibnu Rusyd menyanggah tuduhan al-Ghazali tersebut dengan menyatakan bahwa tujuan al-Ghazali untuk memutlakkan kekuasaan Tuhan dengan cara menghapus hukum sebab-akibat justru kontraproduktif. Penolakan hukum sebab-akibat akan menghancurkan seluruh basis untuk mengarahkan seluruh proses kejadian di alam kepada tuhan. Al-Ghazali secara tidak sadar telah menghancurkan satu-satunya dasar logis di atas mana kekuasaan Tuhan terhadap alam bersandar. Pandangan itu sangat membahayakan filsafat, ilmu dan juga teologi.
Persoalan ini sangat urgen untuk diselesaikan karena sudah menyangkut persoalan sensitif keimanan dan karena ternyata ikhtilaf dalam metode keilmuan untuk memahami ajaran agama sampai pada klaim-klaim kebenaran tentang status agama seseorang. Karena itu persoalan ini diangkat dalam makalah ini dengan tema sentralnya Ibnu Rusyd.


II. PEMBAHASAN

A.Riwayat Hidup Ibu Rusyd

Diantara para filosof Islam, Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal dunia Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H./ 1126 M. sekitar 15 tahun setelah wafatnya Abu Hamid al-Ghazali. . Ibnu Rusyd dibesarkan dalam suatu keluarga yang memiliki ilmu pengetahuan dan keteguhan agama. Ayah Ibnu Rusyd yaitu Abul Qasim Ahmad adalah pernah jadi hakim Cordova, pada zamannya ia sangat terkenal dengan pengetahuannya di bidang fiqih dan pernah menjadi qadhi al-qudhat (hakim agung) di Andalusia.
Pengetahuan dalam keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang kemudian semakin sempurna pada diri Ibnu Rusyd. Karena itu, dengan modal dan kondisi ini ia dapat mewarisi sepenunya intelektualitas keluarganya dan menguasai berbagai disiplin ilmu yang ada pada masanya. Tampak di sini bahwa Ibn Rusyd terlahir dari keluarga ahli-ahli fiqh dan hakim-hakim. Tidak mengherankan jika salah satu karyanya yang sangat terkenal, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid, merupakan karyanya dalam bidang fiqhi. Buku ini merupakan suatu studi perbandingan hukum Islam, di mana di dalamnya diuraikan pendapat Ibn Rusyd dengan mengemukakan pendapat-pendapat imam-imam fiqh.
Dia juga sebagai seorang dokter dan astronomer. Tapi, posisi ini kurang terkenal dibanding dengan reputasinya sebagai filosof. Dia dianggap sebagai salah satu dokter terbesar di zamannya. Menurut Sarton dia adalah orang pertama yang menerangkan fungsi retina dan orang pertama yang menjelaskan bahwa serangan cacar pertama akan membuat kekebalan berikutnya pada orang yang bersangkutan.
Pada tahun 1153 M. ( 548 H.) Ibnu Rusyd diminta datang ke maroko ( ibu kota pemerintahan) oleh khalifah Abdul Mu’min Ibnu Tumart (pendiri kerajaan mutawahhidin) dengan maksud untuk memberi petunjuk dan sumbangan pemikiran kepada sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga keilmuan yang sedang didirikan di sana.
Pada tahun 1182 M. ia dipanggil oleh khalifah di Maroko untuk menjadi dokter pribadi kerajaan, namun tidak lama kemudian ia dipulangkan ke Cordoba untuk menjabat hakim agung. Akan tetapi kedudukan istimewah yang dialami Ibnu Rusyd akhirnya berakhir, karena pada tahun 1198 M. di masa khalifah Abu Ya’qub para fuqaha yang mandapat kedudukan istimewah pada diri khalifah sangat menentang filsafat, maka ilmu filsafat tertindas dan filosof dituduh telah menjadi kafir serta buku-bukunya dibakar.
Ibnu Rusyd kemudian diasingkan di sebuah kampung Yahudi bernama Alisanah kurang lebih 50 km sebelah tenggara kota Cordoba. Hidup dalam pengasingan tidaklah lama dialami Ibnu Rusyd, hanya kurang lebih satu tahun. setelah keadaan kondusif, Khalifah segera mencabut hukumannya dan posisi Ibnu Rusyd direhabilitasi kembali. Tidak lama menikmati semua itu, Ibnu Rusyd wafat pada 1198 M./ 595 H. di Marakesh dan usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan hijriyah.
Ibnu Rusyd telah menulis banyak buku yang menjadi rujukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, diantaranya : fashl al-Maqal fi ma Bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Attishal, buku tersebut mengungkap metode rasional yang menjadi landasan Ibnu Rusyd dalam pembahasan persoalan filsafat; Talkhis Kitab al-Nafs yang membahas teori pengatahuan; Kulliyat fi al-Tibb, buku yang membahas tentang ilmu kedokteran; Tafsir ma Ba’d a-Thabi’ah, berisi pengetahuan penting dan penjelasan khusus mengenai penafsiran juga kritik Ibnu Rusyd terhadap mutakllimin; dan yang paling terkenal adalah Tahafut at-Tahafut yang berisi tentang sanggahannya terhadap pemikiran al-gazali; serta banyak agi yang lain
Kecintaan pada ilmu pengetahuan membentuk kepribadian Ibnu Rusyd sebagai seorang inklusif, toleran dan suka memberi maaf, dia adalah filosof kenamaan yang tidak hanya dikenal dikalangan Islam, melainkan juga dikalangan pemikir-pemikir barat. Ibnu Rusyd tidak hanya menulis karya filsafati ia juga menulis tentang pengobatan , tentang fauna, masalah kosmologi, teologi logika dan berbagai karya lainnya. Namun yang paling masyhur adalah tahafut at tahafut.

B. Pembelaan Ibnu Rusyd terhadap Filosof dan Sanggahannya terhadap Al-Ghazali
Seperti disebut diatas, bahwa Ibnu Rusyd hidup dan melontarkan pemikirannya beberapa puluh tahun setelah al-Ghazali wafat (w. 505 H/ 1111 M). Dimasa hidupnya, Al-Ghazali mendalami ilmu filsafat dan telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang kajiannya terhadap ajaran ilmu filsafat, yang terkenal adalah bukunya Tahafuth al-fala>sifah. Buku tersebut khusus ditujukan untuk menyerang paham filsafat dan membuktikan kekeliruan padanya dari ajaran agama, khususnya filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina. Dalam kesimpulannya, al-Ghazali menetapkan dua puluh soal sebagai bathil delapan diantaranya khusus membahas problematika ketuhanan, dan pada akhir bukunya tiga soal diantaranya adalah kafir, sehingga dari sini ia mengkafirkan para filosof. Tiga soal tersebut adalah:

1. Pendapat filosof bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past)
2. Pendapat filosof bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyat (hal-hal yang juz’i/ individual/ partikular).
3. Paham filosof yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.

Menurut Aziz Dahlan, itu berarti bahwa siapa saja yang menganut salah satu dari tiga paham tersebut, menurut Al-Ghazali, jatuh ke dalam kekafiran. Polarisasi dan kesimpulan ini mampu mempengaruhi pemahaman umat sehingga menjadi sanggahan dan serangan tajam terhadap filsafat dan filosof. Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan penolakan umat pada ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap ilmu-ilmu fisafat di dunia Islam.
Kecaman keras al-Ghazali tersebut membuat Ibnu Rusyd memberikan sanggahan dalam kitabnya Taha>fut at-Taha>fut. Ibnu Rusyd melakukan tiga upaya sekaligus yaitu membela para filosof yang dikafirkan Al-Ghazali, melakukan klarifikasi paham filsafat dan menyanggah paham Al-Ghazali. Pembelaan terhadap para filosof dilakukan dengan merumuskan harmonisasi agama dan filsafat, klarifikasi paham filsafat dilakukan dengan menguraikan maksud filsafat yang sebenarnya tentang soal-soal yang dikafirkan dan sanggahan terhadap Al-Ghazali dengan mengelaborasi kesalahan persepsinya. Semua itu dilakukan Ibnu Rusyd dengan berpikir rasional dan menafsirkan agama pun secara rasional, namun ia tetap berpegang pada sumber agama itu sendiri, yaitu al-Quran . Adapun sanggahan Ibnu Rusyd terhadap pendapat al-Ghazali adalah sebagai berikut :

1.Harmonisasi Agama dan Filsafat
Masalah hubungan agama dan filsafat merupakan persoalan yang krusial pad masa ibnu Rusyd. Sebagai pemikir rasional, Ibnu Rusyd berusaha mendudukkan hubungan filsafat dengan agama.
Dalam buku fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd mengawali kajiannya dengan mempertanyakan bagaiman hukum mempelajari filsafat dan manthiq (logika), apakah diperbolehkan menurut syara’, ataukah dilarang, ataukah diperintahkan, baik sebagai perintah anjuran ataupun perintah wajib?. Menurut Ibnu Rusyd, kegiatan filsafat tidak lain adalah mempelajari segala wujud yang tampak. Dari sini diambilllah I’tibar (pelajaran) sehingga sampai kepada bukti kebenaran Tuhan. Dengan demikian kerja filsafat pada hakikatnya adalah untuk mengenal tuhan sebagai pencipta alam.. Disisi lain, syari’at sendiri mendorong manusia untuk mengadakan penalaran dan perenungan terhadap semua wujud ini. menurutnya telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang ada. Disini ia ingin mengatakan bahwa menurut syara’, pengertian demikian menunjukkan bahwa mempelajari filsafat itu adalah perintah wajib atau perintah anjuran.
Dari penjelasan tersebut, Ibnu Rusyd menyimpulkan bahwa berfilsafat sebenarnya tidaklah dilarang oleh syari’at bahkan diperintahkan, setidak-tidaknya dianjurkan. Hal ini didukung dengan ayat al-Qur’an yang banyak memerintahkan manusia untuk menalar dan merenungi penomena alam dengan memakai afala ta’qilu>n, afala tatafakkaru>n, afala yanzhuru>n, dan sebagainya. Diantara ayat-ayat tersebut terdapat dalam Q.S. al-Hasyr/59 : 2, Q.S al-An’am /7 : 75, Q.S. al-Ghasiyah/88 : 17-20, Q.S. Ali-Imran/3 :191.

2.Qadimnya Alam
Doktrin utama filsafat Ibn Rusyd yang membuatnya dicap sebagai murtad berkaitan dengan keabadian dunia, sifat pengetahuan Tuhan dan kekekalan jiwa manusia dan kebangkitannya. Membaca sekilas tentang Ibn Rusyd memang bisa memberi kesan bahwa dia murtad dalam hubungannya dengan masalah-masalah tersebut, tapi penelaahan yang serius akan membuat orang sadar bahwa dia sama sekali tidak menolak ajaran Islam. Dia hanya menginterpretasikannya dan menjelaskannya dengan caranya sehingga bisa sesuai dengan filsafat.
Terhadap doktrin keabadian dunia, dia tidak menolak prinsip penciptaan (creation), tapi hanya menawarkan satu penjelasan yang berbeda dari penjelasan para teolog. Ibn Rusyd memang mengakui bahwa dunia itu abadi, tapi pada saat yang sama membuat pembedaan yang sangat penting antara keabadian Tuhan dengan keabadian dunia. Ada dua macam keabadian: keabadian dengan sebab dan keabadian tanpa sebab. Dunia bersifat abadi karena adanya satu agen kreatif yang membuatnya abadi. Sementara, Tuhan abadi tanpa sebab. Lebih dulunya Tuhan atas manusia tidak terkait dengan waktu. Keberadaan Tuhan tidak ada kaitannya dengan waktu karena Dia ada dalam keabadian yang tak bisa dihitung dengan skala waktu. Lebih dulunya Tuhan atas dunia ada dalam keberadaan-Nya sebagai sebab yang darinya muncul semua keabadian.
Al-Ghazali dan para teolog muslim berpandangan bahwa Allah menjadikan alam dari ketiadaan (cretio ex nihilo). Pendapat ini menurut Ibnu Rusyd tidak valid dan tidak punya landasan yang kuat. Dalam al-Qur’an tidak ada ayat yang menjelaskan bahwa Allah ada bersama-sama dengan ketiadaan murni. Artinya Allah ada terlebih dahulu, kemudian dalam kesendiriannya baru Dia menciptakan alam. Pendapat tentang cretio ex nihilo ini adalah ta’wil para teolog terhadap al-Qur’an.
Makna - makna diatas menurut Ibnu Rusyd tidak bertentangan dengan al-Quran, sebab tidak ada perselisihan dalam menempatkan bahwa Allah adalah penciptaan alam keseluruhan ini. Jadi menurut filosof, qadimnya alam tidak sama dengan qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-‘adam), adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada tidak bisa terjadi sesutau, oleh karena itu materi asal alam ini mesti qadim. Ibnu Rusyd memperkuat pendapatnya pada beberapa ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Tuhan menciptakan alam dari sesuatu yang telah ada bukan dari ketiadaan. Seperti dalam Q.S. Hud / 11 : 7, sebagai berikut :

Terjemahnya :
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air……….

Ayat di atas menunjukkan bahwa sebelum bumi dan langit diciptakan, telah ada benda lain yang terlebih dahulu diciptakan. Berarti bahwa alam yang diciptakan Allah bukan dari ketiadaan, sebagiamana interpretasi teolog. Maka disini Ibnu Rusyd membuktikan paham qadim-nya alam tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran. Dalam hal ini kaum teolog yang menyatakan alam diciptakan Tuhan dari tiada justeru tidak mempunyai dasar pijakan dalam ajaran al-Quran.
Dalam hal ini ada perbedaan antara teolog dan dan filosof dalam memahami makna hadis\ dan qadim. Bagi teolog, hadis\ itu adalah sesuatu yang diciptakan dari yang tiada dan qadim adalah sesuatu yang berwujud tanpa sebab. Sedangkan filosof memahami hadis\ sebagai sesuatu yang diciptakan tidak bermula dan tidak berakhir. Karena perbedaan tersebut hanyalah perbedaan pemahaman dan bukan merupakan perinsip aqidah Islam maka seharusnya al-Gazali tidak menkafirkan pendapat filosof dalam masalah ini.

3. Gambaran Kebangkitan di Akhirat
Dalam masalah ini al-Ghazali memandang filosof berpendapat kebangkitan di akhirat nanti adalah bersifat rohani, yang akan menerima baik atau buruk atas perbuatan manusia di dunia adalah rohaninya, bukan jasmani. Menurut Ibnu Rusyd, filosof mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani. Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini. Jadi para filosof tidak berpendapat seperti yang dituduhkan al-Ghazali bahwa filosof hanya berpaham bahwa kebangkitan hanya bersifat rohani. Para filosof mengakui kebangkitan rohani di hari kemudian tetapi juga tidak menolak adanya kebangkitan jasmani.
Sebaliknya, menurut Ibnu Rusyd justeru al-Ghazali sendiri tidak konsisten, dalam taha>futh al-fala>sifah dikatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani semata. Akan tetapi dalam bukunya yang lain, Al-Ghazali mengatakan bahwa kaum sufi berpendapat yang akan terjadi di akhirat adalah kebangkitan rohani. Dalam hal ini ia berpendapat sama dengan filosof, karena baik filosof maupun sufi mengalami puncak kebahagiaan pada rohani dan telah melepaskan diri dari kungkungan kebendaan.
Gambaran al-Qur’an tentang kebangkitan jasmani di hari kemudian itu untuk konsumsi orang awam yang masih berpikir sederhana dan belum mampu menagkap pesan-pesan al-Qur’an secara abstrak. Bagi mereka penggambaran kebangkitan jasmani ini adalah untuk memotivasi mereka untuk melakukan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan jahat.

4. Pengetahuan Tuhan
Dalam masalah pengatahuan Tuhan, al-Ghazali menuduh para filosof berpendenrian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, kecuali dengan cara yang kulliyat (umum, universal) yang terbatas ruang dan waktu. Dalam tuduhannya ini al-Ghazali memandang pendapat filosof demikian tidak bisa diterima. Sebagai pencipta menurut al-Ghazali tuhan tidak mungkin tidak mengetahui setiap yang terjadi di alam raya ini.
Ibnu Rusyd menjawab tuduhan al-Ghazali dengan menegaskan bahwa al-Ghazali telah salah paham terhadap filosof. Tidak ada filosof muslim pun yang berpendapat demikian. Ibnu Rusyd meluruskan bahwa pendapat filosof bahwa pengetahuan Tuhan tentang rincian (juz’iyyat) berbeda dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia adalah mengambil bentuk efek atau melalui panca indera, sedangkan pengetahun Tuhan merupakan sebab bagi terwujudnya rincian tersebut. Karena itu pengetahuan manusia bersifat baharu dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim.
Tuhan mengetahui segala yang terjadi di alam ini. Namun begitu pengetahuan Tuhan tidak dapat diberikan sifa-sifat juz’iyyat atau kulliyat, karena sifat-sifat yang demikian hanya dapat dikaitkan kepada mahluk saja. Yang pasti pengetahuan Tuhan hanya dapat diketahui oleh Tuhan sendiri.
Tiga persoalan ini, karena tidak ada nash al-Qur’an maupun hadits Nabi saw. Yang menegaskannya, maka ini membutuhkan pemikiran kreatif manusia untuk memahaminya. Secara prinsip semua umat Islam mengakui penciptaan alam oleh Allah, sifat Allah yang maha mengetahui dan adanya kebangkitan manusia di hari akhirat. Hanya saja mereka berbeda dalam hal-hal yang bersifat interpretatif dan teknis. Karena itu tidak sepantasnya mereka saling mengkafirkan, karena pendapat mereka tidak bertentangan dengan pendapat umat Islam pada umumnya.

C. Peranan Ibnu Rusyd Terhadap Averroisme dan Renaisans di Eropa

1. Peranan Ibnu Rusyd terhadap Averroisme
Di tangan Ibnu Rusyd, filsafat menjadi demikian menantang dan menarik minat banyak orang untuk mendalaminya. Paham rasional yang dikembangkannya menjadi titik terang bagi bangsa Eropa untuk meneropong persoalan peradaban dan keagamaan mereka. Kias rasional, takwil dan pengetahuan burhani merupakan bentuk tertinggi dalam pemikiran Muslim yang menjadikan peradaban Muslim unggul dan maju. Ini adalah tantangan secara diametreal bagi paham keagamaan Kristen yang terbelakang karena tertutup, otoriter dan dogmatis.
Dalam masyarakat muslim, Ibnu Rusyd dikenal sebagai pembela filsafat dan filosof sementara dikalangan bangsa Eropa dikenal sebagai komentator Aristoteles yang membawa semangat rasional dan pencerahan bagi mereka. Para sarjana barat di abad pertengahan banyak dipengaruhi pandangan-pandangan filsafat Aristoteles yang dikembangkan oleh Ibnu Rusyd. Pengaruh Ibnu Rusyd semakin memperlihatkan bentuknya dengan munculnya gerakan Averroisme di barat yang mencoba mengembangkan gagasan-gagasan rasional Ibnu Rusyd. Tokoh yang terkenal sebagai pelopor gerakan ini adalah Siger de Brabant (1235-1282).
Pada mulanya pemikiran Ibnu Rusyd tidak mudah berkembang di Eropa karena mendapat kecaman keras dari gereja. Mereka mengharamkan pembacaan buku-buku terjemahan karya Ibnu Rusyd dan melalui inkuisisi menghukum para pengikut Averroisme. Mereka memandang bahwa ajaran-ajaran Ibnu Rusyd sangat berbahaya bagi sendi-sendi ajaran Kristen.
Walaupun mendapat kecaman dari gereja, gerakan Averroisme tetap berkambang pesat terutama di Itali dan inggris. Di Itali gerakan Averroisme berpusat di Universitas Bologna dan Universitas Padua, sedangkan di Inggris pusatnya di Universitas Oxford.
Munculnya gerakan dan aliran Averroisme ini sejatinya adalah lompatan besar dalam pemikiran dan semangat keilmuan bangsa Eropa, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Sebab sebelumnya Eropa kosong dari dari ilmu pengetahuan, berfikir sempit dan tidak menghargai akal. Bagi mereka satu-satunya sumber kebenaran hanyalah Gereja Kristen.
Seperti diketahui bahwa Gereja Katolik Roma sudah menancapkan dominasinya selama 11 abad di Eropa (abad ke-5 - abad ke-16 M.) dan sukses dalam menyatukan Eropa di dalam kerajaan Gereja Katolik ditandai dengan supremasi gereja secara absolut diatas negara. Dalam situasi itu kehidupan masyarakat Barat sepenuhnya dalam kontrol dan dogma gereja Katolik Roma, sehingga tidak ada kemerdekaan dan keselamatan di luar gereja. Landasan rasionalitas yang dikembangkan oleh Ibnu Rusyd ternyata sangat menarik perhatian dikalangan sarjana-sarjana Barat karena mereka manemukan adanya keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan agama, serta metode-metode eksperimentasi dan observasi mereka menemukan konklusi-konklusi ilmu pengetahuan yang benar dan sesuai dengan metode ilmiah yang digunakan Aristoteles dan komentatornya yaitu Ibnu Rusyd. Hal ini menyadarkan sarjana-sarjana barat untuk mengoptimalkan penggunaan akal dan meninggalkan paham-paham yang bertentangan dengan semangat rasional.

2. Peranan Ibnu Rusyd Terhadap Renaisans Di Eropa
Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf, bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan. Sebaliknya, di dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol pemikiran filsafat masih berkembang sesudah serangan al-Ghazali tersebut. Maka secara berangsur-angsur, kekayaan khazanah ilmu pengetahuan dan filsafat di wilayah timur beralih ke wilayah barat. Oleh karena itu kemajuan peradaban Eropa pada abad ke dua belas tidak terlepas dari tokoh-tokoh filosof dan saintis muslim. Gustave lebone, sebagaimana dikutip Harun Nasution mengakui bahwa orang Arab-lah yang menyebabkan barat mempunyai peradaban.
Setelah banyak sarjana-sarjana barat yang menimba ilmu pada tokoh-tokoh filasafat Islam, maka pada sekitar abad ke 15 M. di Eropa terjadi reformasi ilmu pengetahuan. Para ilmuan barat telah berfikir secara baru dan berangsur-ansur melepasakan diri dari otoritas kekuasaan gereja yang selama ini membelenggu kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu. Inilah kemudian dikenal dengan Renaisans di Eropa.
Proses transformasi ilmu pengetahuan dan filsafat islam terjadi melalui rute segi tiga perdagangan antara Spanyol - Sicilia – Syiria disamping itu jalur yang tidak kalah pentingnya dalam proses trnspormasi ini tentu saja jalur pendidikan. Universitas-Univesitas yang dibina oleh pemikir-pemikir muslim banyak dikunjungi oleh pemuda-pemuda barat untuk belajar. Tokoh-tokoh muslim yang berperan sebagai guru diantaranya Ibnu sina, Ibnu Tufail, Ibnu Bajah dan yang dianggap paling berperan tentu saja Ibnu Ruysd.
Ada beberapa faktor yang mendukung besarnya pengaruh ibnu Rusyd ke dalam peadaban Barat. Pertama, dari segi lingkungan tempat tinggalnya Ibnu Rusyd adalah orang barat, ia lahir dan meninggal di Barat (Cordova, Spanyol). Kedua, Ibnu Rusyd adalah seorang aristotelian (penganut paham Aristoteles). Ia berjasa dalam menghadirkan kembali warisan Yunani Kuno kepada Barat setelah sekian lama tengelam dan terkubur bersama-sama kegelapan barat. Ibnu Rusyd-lah yang menggali mutiara yang telah lama hilang tersebut. Ketiga, Ibnu Rusyd adalah pemikir rasional dan berhasil mengembangkan gagasan-gagasan rasional ke Barat. Ia menempatkan posisi akal pada tempat yang tinggi. Inilah kemudian berkembang dan sangat mempengaruhi pola pikir barat sejak abad pertengangan terakhir.
Dalam hal inilah beberapa pemikir barat menganggap behwa Ibnu Rusyd meletakkan posisi akal lebih tinggi daripada agama (wahyu). Padahal sebagai seorang muslim Ibnu Rusyd tidak pernah mempertentangkan antara keduanya, apalagi menempatkan akal di atas wahyu. Keduanya tidak saling bertentangan tetapi berjalan seiring. Oleh karena itu jelaslah bahwa Ibnu Rusyd, termasuk tokoh-tokoh filosof dan para ilmuwan muslim lainnya tidak menerima begitu saja pemikiran yunani yang tidak berdasarkan agama, tanpa terlebih dahulu melakukan harmonisasi dan menghubungkannya dengan ajaran Islam. Kalau pemikiran yunani tersebut selaras dengan islam maka itulah yang diterimah.
Dengan demikian tercerahkannya kembali Eropa dengan kemajuan ilmu pengetahuannya merupakan andil dari pemikir-pemikir islam. Orang barat yang belajar ilmu pengetahuan dari ilmuan-ilmuan muslim berhasil membangun peradaban mereka setelah mendapat sentuhan dari peradaban Islam. Ibnu Rusyd beserta pemikir-pemikir Islam yang lain telah mengeluarkan orang-orang barat dari kungkungan pemikiran gereja katolik yang sangat dogmatis.