Selamat Natal Menurut Al-Qur'an

On Minggu, 11 Desember 2011 0 komentar

Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam
bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau
mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali.
Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: "Ada anak
sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma
ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu.
Kalau ada yang datang katakan: 'Aku bernazar tidak
bicara.'"

"Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk.
Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan penzina,"
demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di
gendongannya. Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya
menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang
bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah
yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta
mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa:
"Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku
pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari
ketika aku dibangkitkan hidup kembali."

Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34.
Dengan demikian, Al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan
selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa
a.s.

Terlarangkah mengucapkan salam semacam itu? Bukankah
Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah ada juga salam
yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga
Ilyas, serta para nabi lainnya? Setiap Muslim harus percaya
kepada Isa a.s. seperti penjelasan ayat di atas, juga harus
percaya kepada Muhammad saw., karena keduanya adalah hamba
dan utusan Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam
untuk. mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh
nabi dan rasul. Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir
(natal) Isa a.s.? Bukankah Nabi saw. juga merayakan hari
keselamatan Musa a.s. dari gangguan Fir'aun dengan berpuasa
'Asyura, seraya bersabda, "Kita lebih wajar merayakannya
daripada orang Yahudi pengikut Musa a.s."

Bukankah, "Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda?"
seperti disabdakan Nabi Muhammad saw.? Bukankah seluruh umat
bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut
kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita, atau
batas yang digariskan oleh anutan kita? Demikian lebih
kurang pandangan satu pendapat.

Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Al-Masih
yang dijelaskan oleh sejarah atau agama dan telah
disepakati, sehingga harus diterima. Tetapi, ada juga yang
tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Disini, kita berhenti
untuk merujuk kepercayaan kita.

Isa a.s. datang mermbawa kasih, "Kasihilah seterumu dan
doakan yang menganiayamu." Muhammad saw. datang membawa
rahmat, "Rahmatilah yang di dunia, niscaya yang di langit
merahmatimu." Manusia adalah fokus ajaran keduanya; karena
itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan.

Isa menunjuk dirinya sebagai "anak manusia," sedangkan
Muhammad saw. diperintah:kan oleh Allah untuk berkata: "Aku
manusia seperti kamu." Keduanya datang membebaskan manusia
dari kemiskinan ruhani, kebodohan, dan belenggu penindasan.
Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jailrus yang sakit
telah mati, Al-Masih yang menyembuhkannya meluruskan
kekeliruan mereka dengan berkata, "Dia tidak mati, tetapi
tidur." Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra
Muhammad, orang berkata: "Matahari mengalami gerhana karena
kematiannya." Muhammad saw. lalu menegur, "Matahari tidak
mengalami gerhana karena kematian atau kehahiran seorang."
Keduanya datang membebaskan maanusia baik yang kecil, lemah
dan tertindas -dhu'afa' dan al-mustadh'affin dalam istilah
Al-Quran.

Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan
Al-Masih? Bukankah ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa'
(Kata Sepakat) yang ditawarkan Al-Quran kepada penganut
Kristen (dan Yahudi (QS 3:64)? Kalau demikian, apa salahnya
mengucapkan selamat natal, selama akidah masih dapat
dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang
dimaksud oleh Al-Quran sendiri yang telah mengabadikan
selamat natal itu?

Itulah antara lain alasan yang membenarkan seorang Muslim
mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan
ritual . Di sisi lain, marilah kita menggunakan kacamata
yang melarangnya.

Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan umat
dipelihara. Karenanya salah, bahkan dosa, bila kerukunan
dikorbankan atas nama agama. Tetapi, juga salah serta dosa
pula, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama
kerukunan.

Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas,
dan tidak juga rinci. Itu semula untuk menghindari kerancuan
dan kesalahpahaman. Bahkan Al-Q!uran tidak menggunakan satu
kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai
dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu, tidak
disalahpahami. Kata "Allah," misalnya, tidak digunakan oleh
Al-Quran, ketika pengertian semantiknya yang dipahami
masyarakat jahiliah belum sesuai dengan yang dikehendaki
Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah
Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad) Demikian terlihat pada
wahlyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi saw. sering
menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun
bertanya, "Dimana Tuhan?" Tertolak riwayat sang menggunakan
redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan
pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil
pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama
bangsa kita enggan menggunakan kata "ada" bagi Tuhan,
tetapi "wujud Tuhan."

Natalan, walaupun berkaitan dengan Isa Al-Masih, manusia
agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen
yang pandangannya terhadap Al-Masih berbeda dengan pandangan
Islam. Nah, mengucapkan "Selamat Natal" atau menghadiri
perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat
mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami
sebagai pengakuan akan ketuhanan Al-Masih, satu keyakinan
yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan
kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu,
sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat,
aktivitas apa pun yang berkaitan dengan Natal tidak
dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluann Natal.

Adakah kacamata lain? Mungkin!

Seperti terlihat, larangan ini muncul dalam rangka upaya
memelihara akidah. Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman,
agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang
dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada
seseorang yang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya
atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan "Selamat
Natal" Qurani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan
situasi dimana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan
kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain,
maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu. Adakah
yang berwewenang melarang seorang membaca atau mengucapkan
dan menghayati satu ayat Al-Quran?

Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan,
Al-Quran memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan
bicara memahaminya sesuai dengan pandangan atau
keyakinannya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh
pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan
memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan
keyakinannya. Salah satu contoh yang dikemukakan adalah
ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. Kalaupun
non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal" sesuai dengan
keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang
memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis
keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka
interaksi sosial.

Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu,
bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai
akidahnya. Tetapi, tidak juga salah mereka yang
membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana
dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal
tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.

Dostojeivsky (1821-1881), pengarang Rusia kenamaan, pernah
berimajinasi tentang kedatangan kembali Al-Masih. Sebagian
umat Islam pun percaya akan kedatangannya kembali. Terlepas
dari penilaian terhadap imajinasi dan kepercayaan itu, kita
dapat memastikan bahwa jika benar beliau datang, seluruh
umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada saat
kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan.
Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga sikap dan
ucapan umat Muhammad saw. Salam sejahtera semoga tercurah
kepada beliau, pada hari Natalnya, hari wafat dan hari
kebangkitannya nanti.

(sumber Membumuikan al-Qur'an)

PERANG YANG PERNAH DILALUI RASULULLAH SAW.

On Jumat, 02 Desember 2011 9 komentar

IFTITAH

Setelah tiba dan diterima penduduk Yastrib (Madinah), Nabi resmi menjadi pemimpin penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai. Berbeda dengan periode Makkah, pada periode Madinah, Islam, merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai kepala Negara. Dengan kata lain, dalam diri Nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Kedudukannya sebagai rasul secara otomatis merupakan kepala Negara .
Periode ini, pengembangan Islam lebih ditekankan pada dasar-dasar pendidikan masyarakat Islam dan pendiddikan sosial kemasyarakatan. Oleh Karena itu Nabi Muhammad saw kemudian meletakkan dasar-dasar masyarakat Islam di Madinah yaitu mendirikan masjid, mempersatukan dan mempersaudarkan antara kaum Anshar dan Muhajirin, perjanjian saling membantu antara sesama kaum Muslimin dan non Muslim serta meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi, sosial untuk masyarakat .
Mengkaji perjalanan hidup nabi Muhammad Saw adalah bagaikan mengarungi samudra nan luas tak bertepi. Wisdom dan hikmah yang terpancar darinya sangat banyak seolah kita tidak akan sanggup untuk menghitungnya. Bagaikan taman, ia juga adalah manusia pilihan yang memberikan suri keteladanan yang indah dan mengagumkan dalam hampir semua spektrum kehidupan baik pribadi, keluarga maupun masyarakat. Keteladanannya juga kita temukan dalam aspek bisnis, militer, budaya, dakwah, kesehatan, sosial politik serta hukum dan pendidikan.
Terbentuknya Negara Madinah, menjadikan Islam makin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Makkah dan musuh-musuh Islam lainnya menjadi risau. Untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan gangguan dari musuh, Nabi sebagai kepala pemerintah mengatur siasat dan membentuk tentara. Ummat Islam diizinkan berperang dengan dua alasan yaitu untuk mempertahankan diri dan melindungi hak miliknya serta menjaga keselamatan dalam penyebaran kepercayaan dan mempertahankannya dari orang-orang yang menghalanginya .
Ketika Tiba di Madinah, Nabi berusia 53 tahun, tiga belas tahun setelah Allah mengutus Beliau sebagai Nabi dan Rasul . Dalam sejarah Negara Madinah ini, banyak terjadi peperangan sebagai upaya kaum Muslimin mempertahankan diri dari serangan musuh. Nabi sendiri, diawal pemerintahannya, mengadakan beberapa ekspedisi keluar kota sebagai aksi siaga melatih kemampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara yang baru dibentuk. Perjanjian damai dengan berbagai kabilah di sekitar Madinah juga diadakan dengan maksud memperkuat kedudukan Madinah .
Berbeda dengan kebanyakan nabi dan guru spiritual lainnya, Muhammad Saw adalah seorang presiden dan pimpinan sosial politik masyarakatnya. la berhasil membangun masyarakat Madinah dengan peradaban baru, serta membawa Madinah menjadi suatu model kerukunan antar agama dan etnis meski sangat heterogen. Didalamnya ada kaum pendatang (Muhajirin) dan penduduk asli. Diantara penduduk asli ada yang Muslim (Anshar) dan banyak juga yang non Muslim. Dikalangan Muslim pun ada yang benar-benar tulus tetapi tidak sedikit juga yang Munafik dibawah pimpinan Abdullah Ibn Ubay Ibn Salul. Di kalangan non Muslim ada yang menganut Paganisme, Nashari dan Yahudi. Kaum paganisme memiliki Raja-nya sendiri yaitu Ka'ab Ibn Ashraf. Yahudi pun bersuku-suku seperti Bani Nadhir, Bani Quraidzah dan Bani Qunaiqa'.
Dalam sejarah Nabi SAW dikenal adanya kebijakan menempuh jalan perang. tujuannya bukan sekadar mempertahankan diri dari ancaman musuh, tapi untuk menegakkan kalimat tauhid. Apalagi ketika Nabi SAW dan sahabat sudah berhijrah ke Madinah, kaum kafir semakin berani mengganggu kaum Muslim dengan cara yang keji. Tidak ada satupun ayat didalam al-Qur’an, atau satu peristiwa pun yang terjadi diawal sejarah yang menunjukkan bahwa Islam disebarluaskan dengan kekuatan dan kekerasan. Atau dengan kata lain, peperangan di dalam Islam bukan dimaksudkan untuk menggiring dan memaksa manusia masuk Islam. Sebab berbagai peperangan yang terjadi hanya berkisar pada usaha melakukan tindakan bertahan dan perlindungan diri dari serangan dan permusuhan. Juga untuk melindungi dakwah dan membangun kemerdekaan beragama .
Aspek militer memberi contoh yang sangat luar biasa bahwa panglima perang yang hebat adalah komandan yang mampu mengalahkan musuh tanpa jatuh korban yang banyak. Selama 10 tahun mempertahankan kedaulatan Islam, Nabi telah memimpin tidak kurang dari 9 perang besar dan mengatur 53 ekspedisi militer (beberapa ahli sejarah memiliki catatan jumlah ekspedisi militer yang berbeda-beda).
Tetapi dalam interaksi militer yang luar biasa besar dan panjang itu korban jatuh hanya 379 jiwa saja. Ya, hanya tiga ratus tujuh puluh sembilan jiwa saja. Bandingkan dengan korban 15.323.100 jiwa pada perang dunia pertama dan 62.537.400 jiwa pada perang dunia kedua. Nabi mengajarkan kepada para pernimpin dunia agar ikhlas ketika menyusun strategi militer tugas kita bukanlah untuk menumpas manusia tetapi menyingkirkan para penghalang kebenaran.

A. Peristiwa perang di masa Nabi Muhammad saw.

Nabi saw. mengawali dakwahnya dengan nasihat-nasihat dan contoh-contoh nyata. Kemudian beliau menyampaikan ayat-ayat, mengajak berdialoq dari hati ke hati, menjelaskan kebodohan-kebodohan dan penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi akibat dari kebudayaan dan pemikiran yang penuh kemusyrikan. Mula-mula masyarakat menerima ajaran-ajaran Nabi secara acuh tak acuh dan masa bodoh. Kemudian meningkat dalam bentuk tuduhan-tuduhan busuk dan gangguan-gangguan. Lalu berubah menjadi rencana pembunuhan atas diri Nabi saw. Hal-hal itulah yang terus menerus dialami oleh Nabi, hingga Nabi dan kaum muslimin hijrah ke daerah yang lebih aman, Madinah.
Setelah hijrah, para pengganggu dakwah Islam menjadi dua kelompok. Pertama, kaum Musyrikin yang telah memaksa Nabi hijrah dari Makkah, dan kedua, orang-orang Yahudi di sekitar Madinah. Untunglah yang kedua ini sudah berhasil diamankan Nabi melalui perjanjian damai dan kerjasama di awal Nabi mendiami Madinah. Akan tetapi orang-orang Yahudi itu kemudian ingkar janji dan sudah mulai kasak-kusuk dan menghasut. Maksudnya ialah ingin menggoyahkan kepemimpinan Nabi di Madinah selagi belum tegak dan kokoh. Orang-orang Yahudi tidak suka kekuasaan serta kewibawaannya tergeser karena kepemimpinan beliau.
Semakin kaum Muslimin bersabar semakin seenaknya orang-orang Yahudi mengganggu, memusuhi, dan bahkan menyiksa. Dan memang pada waktu itu kaum Muslimin belum mampu melawan, karena jumlahnya masih terlalu sedikit untuk itu. Setelah kedudukan di Madinah sudah agak mantap dan kaum Muslimin sudah mulai kuat, muncul lagi kekuatan Quraisy dan pendukung-pendukungnya, di samping kekuatan Yahudi yang selalu mengobarkan api permusuhan dan selalu mengeruhkan air untuk menangguk keuntungan di dalamnya.
Islam adalah agama yang realistis. Ia tidak menutup mata dari kenyataan dan tidak mau terkecoh di hadapan orang-orang yang tidak mempercayai dan tidak mau menghormati contoh-contoh ideal yang diberikannya.

Oleh karena itu kaum Muslimin harus berusaha memperkuat diri, selalu siap melawan musuh dan mengungguli kekuatan-kekuatan bathil berikut sekutunya, guna membersihkan jalan bagi dakwah Nabi yang bertujuan meningkatkan pemikiran, membersihkan jiwa, membetulkan yang rusak, dan menjadikan kebaikan sebagai mercusuar agar manusia mendapat petunjuk.
Inilah salah satu sebab disyariatkannya perang pada tahun 2 Hijriah melalui ayat 39 Surat Al-Haj yang berbunyi :

      •     
Artinya : “ Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuasa menolong mereka”
Inilah ayat pertama yang diturunkan mengenai perang dan pembolehannya. Pada permulaan ayat tadi disebutkan secara tegas pengizinan perang bagi kaum Mukminin. Orang-orang Mukminin ini disebut oleh ayat sebagai orang-orang yang diperangi, dianiaya, dan disiksa serta ditantang untuk perang. Ini menunjukkan dengan jelas, sebab-sebab diizinkannya umat Islam berperang ialah adanya penganiayaan sebelumnya, sehingga menjadi pembelaan diri atau pembalasan.
Dan ayat itu pula dinilai, orang-orang yang memerangi kaum Muslimin adalah orang-orang yang melakukan kezaliman. Sebab, sejak masih di Makkah, umat Islam tidak pernah melakukan kezaliman dan tindak permusuhan. Yang ada ialah pembelaan terhadap akidah, seruan untuk melepaskan diri dari hal-hal yang tidak benar dan menyimpang, serta ajakan untuk berakhlak mulia dalam kehidupan.

Setelah itu Allah mewajibkan kepada mereka untuk memerangi orang-orang yang memerangi mereka, Allah swt berfirman dalam Surah Al-Baqarah Ayat 190 :

              
Artinya : “ Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas ”

Barulah setelah itu, Allah mewajibkan memerangi orang-orang musyrikin secara keseluruhan seperti yang terdapat dalam al-Qur’an Surah At-Taubah Ayat 36 berbunyi :

        •    
Artinya : “ Perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa ”

Ada dua motivasi perang dalam Islam, yaitu melindungi kebebasan dakwah Islam dan memerangi musuh musuh Islam. Motivasi pertama, melindungi kebebasan penyebaran dakwah Islam dan bukan untuk menyebarkan dakwah. Ada dua makna yang dapat diambil dari pemyataan di atas. Pertama, agama Islam disebarkan dengan jalan ajakan/dakwah, bukan agama paksaan atau dengan kekerasan. Kedua, kalau dalam mendakwahkan agama Islam ditemukan rintangan rintangan, untuk membebaskan rintangan tersebut, demi kelangsungan dakwah Islam, maka peperangan diperbolehkan. Bahkan, pada taraf tertentu, peperangan bukan saja hanya diizinkan melainkan diwajibkan.
Ayat-ayat tersebut memberi petunjuk kepada mereka, bahwa izin ini hanya dimaksudkan untuk mengenyahkan kebatilan dan menegakkan syiar-syiar Allah . Dalam sejarah Islam, ada dua istilah yang digunakan untuk mengungkapkan perang yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW yaitu Gaswah berarti perang yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad saw dan Sariyah yaitu perang yang dipimpin oleh sahabat atas penunjukan Nabi Muhammad saw
Pada tahun kedua Hijriyah, terjadilah peperangan antara umat Islam dan orang orang kafir Quraisy di lembah Badr. Sejak perang Badr sampai Rasul saw. wafat, telah terjadi peperangan sebanyak 17 kali, yang Rasul saw. sendiri terlibat langsung di dalamnya. Dari 17 kali peperangan itu, sembilan kali terjadi kontak senjata yang menelan korban jiwa manusia dari kedua belah pihak. Di samping itu, Rasul saw. juga mengirim beberapa kali ekspedisi militer, baik patroli maupun pengintai.
Perbuatan orang orang kafir Quraisy yang menghasut orang orang Yahudi Madinah supaya mereka mengusir Rasul saw. dan umat Islam dari Madinah dan rencana rencana orang orang kafir kafir Quraisy Mekah akan penyerangan ke Madinah diketahui oleh Rasul saw. Tentu saja, Rasul saw. dan umat Islam dalam hal ini tidak akan tinggal diam. Mereka juga mempersiapkan segala sesuatu yang dapat menggagalkan usaha orang orang kafir Quraisy.
Total Ghazwah ( perang ) yang dilakukan Nabi ialah 27 Ghazwah ( perang ) , perang tersebut adalah sebagai berikut :
1. Perang Waddan yang tidak lain adalah Perang Al-Abwa
2. Perang Buwath di Radhwah
3. Perang Al-Qusyairah di Yanbu
4. Perang Safawan ( perang badar pertama mencari Kurz bin Jabir )
5. Perang Badar Al-Kubra
6. Perang Bani Sulaim di Al-Kudri
7. Perang As-Sawiq ( guna mencari Abu Sufyan bin Harb )
8. Perang Gathafan yang tidak lain adalah Perang Dzu Amar
9. Perang Al-Furu’( Bahran Ma’dan di al-Hijaz )
10. Perang Uhud
11. Perang Hamra’ul Asad
12. Perang Ar-raji’ ( Bani An-Nadhir )
13. Perang Dzatu Ar-Riqa’
14. Perang Badar terakhir
15. Perang Dumah Jandal
16. Perang Khandaq
17. Perang Bani Quraidhah
18. Perang Bani Lahyan dari kabilah Hudzail
19. Perang Dzu Qarad
20. Perang Bani Musthaliq dari Bani Khuza’ah
21. Perang Hudaibiyah
22. Perang Khaibar
23. Perang Mu’tah / Perang Mu'tah
24. Perang Fath Makkah
25. Perang Hunain
26. Perang Thaif
27. Perang Tabuk
Nabi melakukan (terlibat langsung) pertempuran di Sembilan Ghazwah (perang) diantara kedua puluh tujuh perang tersebut diatas . Kesembilan Ghazwah (perang) adalah sebagi berikut :
1. Perang Badar Al-Kubra
2. Perang Uhud
3. Perang Khandaq
4. Perang Bani Quraidhah
5. Perang Bani Musthaliq dari Bani Khuza’ah
6. Perang Khaibar
7. Perang Fath Makkah
8. Perang Hunain
9. Perang Tabuk
Total pengiriman dan sariyah (utusan perang/detastemen) yang dikirim Nabi sebanyak tiga puluh delapan diantaran sariyah dan misi sebagai berikut :
1. Penyerbuan Ubaidah bin Haris ke Tsaniyatul Marrah Bawah
2. Penyerbuan Hamzah bin Abdul Muthalib ke pantai laut daerah Al-Ish
3. Penyerbuan Sa’ad bin Abu Waqqash ke Al-Kharrar
4. Penyerbuan Abdullah bin Jahsy ke Nakhlah
5. Penyerbuan Zaid bin Haritsah ke Al-Qaradhah
6. Penyerbuan Muhammad bin Maslamah terhadap Ka’ab bin Al-Asyraf
7. Penyerbuan Martsad bin Abu Martsad Al-Ghanawi ke Ar-Raji’
8. Penyerbuan Al-Mundzir bin Amr ke Bi’ru Maunah
9. Penyerbuan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ke Dzu Al-Qashshah di jalan ke Irak
10. Penyerbuan Umar bin Khattab ke Turbah, daerah Bani Amir
11. Penyerbuan Ali bin Abu Thalib ke Yaman
12. Penyerbuan Ghalib bin Abdullah Al-Kalbi yaitu Kalbi Lait ke al-Kadid
13. Penyerbuan Ali bin Abu Thalib ke Bani Abdullah bin Sa’ad
14. Penyerbuan Abu Al-Auja As-Sulami ke Bani Sulaim
15. Penyerbuan Ukasyyah bin Mihshan ke al-Ghamrah
16. Penyerbuan Abu Salamah bin Abdul Asad ke Qathan
17. Penyerbuan Muhammad bin Maslamahh ke saudara Bani Haritsah Al-Quratha
18. Penyerbuan Basyir bin Sa’ad bin Murrah terhadap orang-orang Fadak
19. Penyerbuan Basyir bin Sa’ad bin Murrah ke daerah di Khaibar
20. Penyerbuan Zaid bin Haritsah ke Al-Jamuan (salahsatu daerah Bani Sulaim
21. Penyerbuan Zaid bin Haritsah ke Juzdam (salahsatu daerah di Khusyain)
22. Penyerbuan Zaid bin Haritsah ke Ath-Tharaf daerah di Nakhl dijalan ke Irak
23. Penyerbuan Zaid bin Haritsah ke Ath-Tharaf ke Lembah Al-Qura
24. Penyerbuan Abdullah bin Rawahah ke Khaibar
25. Penyerbuan Abdullah bin Atik ke Khaibar
26. Penyerbuan Abdullah bin Unair ke Khalid bin Sufyan bin Nubaih Al-Hudzali
27. Penyerbuan Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib dan Abdullah bin Rawahah
28. Penyerbuan Ka’ab bin Umair Al-Ghifari ke Dzatu Athlah
29. Penyerbuan Uyaiynah bin Hishn bin Hudzaifah bin Badr ke Bani Al-Anbar
30. Penyerbuan Ghalib bin Abdullah Al-Kalbi yaitu Kalbi Lait ke daerah Bani Murrah
31. Penyerbuan Amr bin Al-Ash ke Dzatu As-Salasil (salahsatu daerah Bani Udzrah)
32. Penyerbuan Ibnu Abu Hadrad ke kabilah Idham
33. Penyerbuan Ibnu Abu Hadrad ke Al-Aslami ke Al-Ghabah
34. Penyerbuan Abdurrahman bin Auf ke Dumah Al-Jandal
35. Penyerbuan Salim bin Umair ke Abu Afak
36. Penyerbuan Umair bin Adi Al-Khatmi ke Asma’ binti Marwan
37. Penyerbuan Ali bin Abu Thalib ke Yaman
38. Penyerbuan Usamah bin Zaid ke Palestina


B. Peristiwa perang yang diikuti oleh Nabi Muhammad saw.

Pada kesempatan ini, kita akan membahas peperangan Nabi saw. yang memiliki dampak dalam sejarah Islam, baik yang melibatkan Nabi saw. di Sembilan Ghazwah yaitu:

1. Perang Badar
Perang Badar terjadi di Lembah Badar, 125 km selatan Madinah. Perang Badar merupakan puncak pertikaian antara kaum Muslim Madinah dan musyrikin Quraisy Mekah. Peperangan ini disebabkan oleh tindakan pengusiran dan perampasan harta kaum Muslim yang dilakukan oleh musyrikin Quraisy. Selanjutnya kaum Quraisy terus menerus berupaya menghancurkan kaum Muslim agar perniagaan dan sesembahan mereka terjamin. Dalam peperangan ini kaum Muslim memenangkan pertempuran dengan gemilang. Tiga tokoh Quraisy yang terlibat dalam Perang Badar adalah Utbah bin Rabi'ah, al-Walid dan Syaibah. Ketiganya tewas di tangan tokoh Muslim seperti Ali bin Abi Thalib. Ubaidah bin Haris dan Hamzah bin Abdul Muthalib. adapun di pihak Muslim Ubaidah bin Haris meninggal karena terluka .
Perang Badar Raya terjadi pada tanggal 17 Ramadhan 2 Hijriah. Perang ini bermula dari kesalah pahaman kafilah dagang kaum Musyrikin Makkah yang sedang kembali dari Syam menuju Makkah. Nabi memerintahkan sejumlah sahabatnya untuk mengamati kafilah Quraisy yang sedang lewat di wilayah Madinah itu tanpa berrnaksud untuk berperang di bawah pimpinan Nabi saw. sendiri.
Begitu melihat rombongan orang Madinah yang mendekati kafilahnya, segeralah Abu Sofyan, pimpinan kafilah, mengutus anak buahnya untuk segera minta bantuan dari Makkah. Segeralah datang pasukan dari Makkah dengan kekuatan 1.000 orang tentara, 600 orang di antaranya berkuda (kavaleri) yang merangkap sebagai kompi perbekalan (logistik), dan 300 orang tentara cadangan yang merangkap sebagai regu musik. Di samping itu mereka juga membawa 700 ekor unta. Regu musiknya sepanjang jalan menggemakan lagu-lagu perang, terutama yang berisikan ejekan terhadap Nabi saw. dan kaum Muslimin.
Kompi patroli yang dikerahkan Nabi saw. sendiri berkekuatan 313 prajurit, dengan 70 ekor unta, dan tidak lebih dari 3 ekor kuda. Mereka kebanyakan terdiri dan penduduk asli Madinah. Mereka mengendarai tunggangan yang ada itu secara bergantian. Dalam menghadapi perang Badar, Rasul saw. Keluar dari panggung yang telah disediakan, lalu beliau memberi semangat kepada kaum muslimin untuk bersungguh dalam bertempur. Rasul saw. memberi semangat anggota pasukannya dengan surga seperti ungkapannya ”Bangkitlah kalian (berjuang) menuju surga seluas langit dan bumi”.
Dalam perang Badar, umat Islam keluar sebagai pemenang dengan banyak korban kedua belah piliak. Di pihak Islam, korban yang berjumlah 14 orang, sedangkan di pihak musyrikin Quraisy berjumlah 70 orang terbunuh dan 70 orang ditawan. Bagi kaum musyrikin yang terbunuh Rasul saw. menyuruh para sahabatnya untuk melempar bangkai bangkai tersebut ke sebuah Iubang sumur. Sikap Rasul Saw yang menyuruh sahabatnya menguburkan bangkai bangkai musyrikin tersebut, bertujuan kemashlahatan umum. Paling tidak ada dua kemaslahatan yang penulis pahami dari sikap Rasul saw. di atas; pertama penghargaan terhadap jasad jasad manusia (rasa kemanusiaan); kedua menghindar dari suasana lingkungan yang tidak sehat.
Kendatipun jumlah pasukan muslim lebih sedikit, namun mereka mempunyai semangat juang yang tinggi yang dapat mengalahkan musuh musuh mereka. Tentu saja, kemenangan yang diperoleh pada perang Badar ini merupakan langkah awal bagi terbentuknya persemakmuran Islam. Oleh karena ini, peperangan pertama di antara mereka ini dinamai perang Badar. Kaum Muslimin mampu memenangkan peperangan itu secara gemilang. Nama mereka pun mulai terpandang dan disegani di semenanjung Arabia .

2. Perang Uhud
Perang Uhud terjadi di Bukit Uhud. Perang Uhud dilatarbelakangi kekalahan kaum Quraisy pada Perang Badar sehingga timbul keinginan untuk membalas dendam kepada kaum Muslim. Pasukan Quraisy yang dipimpin Khalid bin Walid mendapat bantuan dari kabilah Saqib, Tihamah, dan Kinanah.
Nabi Muhammad SAW segera mengadakan musyawarah untuk mencari strategi perang yang tepat dalam menghadapi musuh. Pasca Perang Badar, kaum Quraisy mengalami syok berat akibat kekalahannya dalam perang Badar tahun sebelumnya. Beberapa orang dari mereka bertekad akan berperang untuk membalaskn dendam mereka kepada Muhammad dan Para sahabatnya. Pada bulan syawal tahun ketiga hijriyah,bergeraklah kaum Quraisy bersama pasukna, para wanita, serta sekutu yang bersedia diajak, seperti bani kinanah dan penduduk tihamah. Mereka berjalan dibawah pimpinan Abu sufyan bin harb, pemimpin mereka setepeninggal Abu Jahal .
Perang Uhud terjadi pada hari Sabtu tanggal 15 Syawal 3 Hijriah. Orang-orang Quraisy Makkah berambisi sekali membalas kekalahannya pada perang Badar Raya. Dipersiapkannya suatu pasukan besar dengan kekuatan 3.000 orang serdadu. Dalam pasukan itu terdapat 700 ratus infanteri, 200 orang tentara berkuda (kavaleni) dan 17 orang wanita. Seorang di antara mereka yang tujuh belas ini adalah Hindun bin Utbah, isteri Abu Sofyan. Ayahnya yang bernama Utbah telah terbunuh pada perang Badar Raya.Pasukan Quraisy ini dipusatkan di suatu lembah di pegunungan Uhud, suatu pegunungan yang terletak 2 kilometer sebelah utara Madinah.
Menghadapi tantangan ini, Nabi saw. dan beberapa orang sahabatnya berpendapat kaum Muslimin tidak perlu menemui musuh-musuh yang sudah siap siaga itu. Sebaliknya orang-orang Islam tetap siaga di Madinah dengan taktik bertahan (defensif). Akan tetapi sekelompok orang Islam (Muhajirin dan Anshar) terutama pemuda-pemuda yang tidak ikut ambil bagian dalam perang Badar mendesak untuk menemui tentara-tentara Quraisy dan ingin menghajarnya di gunung Uhud. Atas desakan itu Nabi surut dari pendapatnya semula. Masuklah beliau ke rumahnya, lalu keluar dalam keadaan sudah siap dengan mengenakan baju besi, menyandang tameng dan memegang tombak serta pedang.
Kemudian beliau berangkat bersama lebih kurang 1.000 orang tentara. Dua ratus orang memakai baju besi dan hanya dua orang tentara berkuda.Umat Islam telah memperoleh kata sepakat, dalam menghadapi kaum kafir Quraisy yang ingin menuntut balas atas kekalahan mereka dari umat Islam pada perang Badar, yaitu umat Islam menanti di luar kota Madinah. Nabi Muhammad saw menyongsong kedatangan kaum kafir Quraisy dengan pasukan sebanyak 1000 orang . Persoalan yang dihadapi Rasul saw. dalam perang Uhud di antaranya pembelotan anggota pasukan sebanyak 300 orang yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay.
Perang Uhud dimulai dengan perang tanding yang dimenangkan tentara Islam tetapi kemenangan tersebut digagalkan oleh godaan harta, yakni prajurit Islam sibut memungut harta rampasan. Pasukan Khalid bin Walid memanfaatkan keadaan ini dan menyerang balik tentara Islam. Tentara Islam menjadi terjepit dan porak-poranda, sedangkan Nabi SAW sendiri terkena serangan musuh. Pasukan Quraisy kemudian mengakhiri pertempuran setelah mengira Nabi SAW terbunuh. Dalam perang ini, Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Nabi SAW) meninggal terbunuh .
Setelah perang berkecamuk, pada awalnya kemenangan berada di pihak tentara Islam. Akan tetapi, karena suatu kesalahan, umat Islam mengalami kekalahan. Akibat kekalahan tersebut, Rasul saw. mengalami beberapa luka di tubuhnya. Kendatipun Rasul Saw (umat Islam) kalah dalam perang Uhud, namun bukanlah kekalahan mutlak. Dan kaum kafir Quraisy tidak berhasil menghancurkan masyarakat Islam, sebagaimana ambisi mereka semula sewaktu akan keluar dalam perang Uhud.

3. Perang Khandaq
Dua tahun kemudian, kaum Muslimin Madinah menghadapi ancaman yang lebih besar lagi. Orang-orang mekah atas hasutan orang-orang Yahudi khaibar dan dengan bantuan suku-suku badui yang lain, mengerahkan sepuluh ribu pasukan dengan tujuan menduduki Madinah . Lokasi Perang Khandaq adalah di sekitar kota Madinah bagian utara. Perang ini juga dikenal sebagai Perang Ahzab (Perang Gabungan). Perang Khandaq melibatkan kabilah Arab dan Yahudi yang tidak senang kepada Nabi Muhammad SAW.
Mereka bekerjasama melawan Nabi SAW. Di samping itu, orang Yahudi juga mencari dukungan kabilah Gatafan yang terdiri dari Qais Ailan, Bani Fazara, Asyja', Bani Sulaim, Bani Sa'ad dan Ka'ab bin Asad .
Peperangan ini lebih dikenal dengan nama Perang Khandaq. Terjadi pada bulan Syawal tahun 5 Hijriah. Mulanya ialah setelah Bani Nadhir diusir datanglah pemimpin-pemimpinnya ke Makkah untuk mengajak orang-orang Quraisy memerangi Nabi bersama-sama. Keinginan ini disambut baik. Selanjutnya mereka datang ke Ghathafan (nama daerah) untuk beraliansi dengan masyarakat di daerah itu.
Maksud ini ternyata disambut baik pula oleh Bani Fazzarah, Bani Murrah, dan Bani Asyja. Setelah siap berangkatlah mereka menuju Madinah. Usaha pemimpin Yahudi, Huyay bin Akhtab, membuahkan hasil. Pasukannya berangkat ke Madinah untuk menyerang kaum Muslim. Berita penyerangan itu didengar oleh Nabi Muhammad SAW. Kaum Muslim segera menyiapkan strategi perang yang tepat untuk menghasapo pasukan musuh. pihak musuh berkekuatan 10.000 prajurit, Sedangkan kaum Muslimin berkekuatan 3.000 prajurit.
Salman al-Farisi, sahabat Nabi SAW yang mempunyai banyak pengalaman tentang seluk beluk perang, mengusulkan untuk membangun sistem pertahanan parit (Khandaq) . Strategi Rasul saw. dalam perang Khandaq atau Ahzab ialah menggali parit. Hal itu dilakukan bila serangan tentara musuh tiba, mereka tertahan oleh parit itu.
Namun, mereka (tentara sekutu) mengepung Madinah dengan mendirikan kemah kemah di luar parit lebih kurang satu bulan lamanya. Akibatnya, umat Islam menjadi terjepit. Lebih-lebih lagi, dalam suasana kritis itu, orang orang Yahudi dari Bani Quraizah di bawah pimpinan Ka'ab bin Asad berikhianat. Pengepungan tentara sekutu tersebut terhadap umat Islam baru berakhir setelah kemah¬-kemah mereka dihantam dan diterbangkan oleh angin badai yang amat kencang. Mereka terpaksa kembali ke kampung halaman masing masing tanpa hasil apapun.

Dalam perang Ahzab umat Islam kembali dikhianati oleh anggota pasukannya sendiri (orang Yahudi). Namun, pengkhianatan itu tidak mematahkan semangat anggota pasukan Islam lainnya dalam menghadapi musuh musuh Islam. Seperti dikethaui bahwa persoalan yang dihadapi oleh umat Islam pada masa peperangan ialah pengkhianatan anggota pasukannya. Anggota pasukan yang berkhianat itu berasal dari kelompok orang orang munafik dan Yahudi. Kelompok orang munafik seperti pada perang Uhud, yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay. Sementara itu, golongan Yahudi dipimpin oleh Ka'ab bin Asad pada perang Ahzab.
Angin badai yang menghantam perkemahan orang orang kafir Quraisy mengakibatkan gagalnya rencana penyerbuan mereka ke Madinah. Mereka terpaksa kembali ke kampung halaman masing masing karena perbekalan mereka telah dirusak oleh serangan angin badai. Bahkan, pemimpin mereka sendiri, Abu Sufyan bin Harb, memerintahkan kepada semua anggota pasukannya untuk segera pulang. Sejalan dengan itu, pasukan Abu Sufyan juga mempunyai pikiran, daripada mati kedinginan dan kelaparan lebih baik mundur menanggung malu.

4. Perang Bani Quraidhah
Sewaktu Rasul saw. dan umat Islam sampai di Madinah, salah satu kegiatan Rasul saw adalah mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi Madinah. Isi perjanjian itu diantaranya ialah Rasul saw. menjamin agama dan harta mereka selama mereka masih terikat dengan perjanjian. Mereka tidak boleh dianiaya dan menganiaya, mereka berhak mendapat pertolongan dari Rasul saw. Mereka wajib mengeluarkan belanja bersama sama dengan orang orang beriman selama mereka berperang dengan musuh. Kedua belah pihak berkewajiban saling tolong-menolong dalam memerangi musuh. Kedua belah pihak berkewajiban untuk bekerja-sama memerangi setiap orang yang akan menyerang kota Madinah.


Bani Quraidhah komunitas masyarakat yahudi yang tinggal disekita Madinah. Bani Quraidhah merupaakan golongan yahudi yang telah melakukan perjnjian dengan REasulullah saw . Akan tetapi Bani Quraizah mengungkari janji dan berkhianat di saat-saat yang sedemikian genting. Mereka bergabung dengan orang Quraisy pada saat perang ahzab, orang orang Yahudi mengkhianati perjanjian yang telah mereka sepakati yaitu sewaktu terjadinya perang Khandaq.
Maka Nabi segera mengepung mereka setelah terjadi perang khandak hingga mreka menyerah, disepakati Sa’ad bin muadz untuk mengadili mereka. Saad merupakan sekutu mereka sebelum Islam dating . Perang ini juga terjadi pada tahun 5 Hijriah, setelah Perang Ahzab dengan kekuatan 3.000 orang tentara dan bendera Islam di pegang Saidina Ali r.a.
Tindakan tegas dan keras yang diambil oleh Rasul saw. terhadap Bani Quraizah dipandang tepat agar dapat dijadikan pelajaran pelajaran oleh mereka mereka yang mempermainkan perjanjian, baik yang terjadi pada masa itu maupun masa masa mendatang. Kalau Rasul saw tidak mengambil tindakan tegas terhadap orang orang Yahudi yang telah mengkhianati umat Islam, Islam tidak akan dapat hidup lestari di Jazirah Arab.
Setelah kejadian tersebut, kabilah kabilah Arab ataupun orang¬orang Yahudi terpaksa harus berpikir beberapa kali sebelum mereka berani berbuat khianat atau menginjak injak perjanjian. Dengan terjadinya peristiwa itu, mereka mengetahui akibat buruk yang akan menimpa mereka bila kiamat. Dalam Perang ini terjadi pada tahun ke 5 Hijriah, Suku quraidzah diserang karena sangan jelas bahwa orangg-orang yahudi di Madinah tidak bisa dipercaya lagi dalam pakta perjanjian apapun mengakibatkan terbununuhnya 600 orang suku utam Yahudi, Bani Quraidzah, dan sisanya yang masih hidup diusir dari Madinah .


5. Perang Bani Musthaliq
Peperangan ini terjadi di bulan Sya'ban tahun keenam (6) Hijrah . Ini pendapat yang paling sahih. Latar belakang peperangan ini karena adanya informasi yang diterima oleh Nabi (s.a.w) bahwa pimpinan qabilah Banu al-Mustalaq yang bernama al-Harith bin Abi Dhirar, menghimpun kaumnya dan suku-suku bangsa Arab yang dibawah pengaruhnya untuk bergerak ke arah Madinah memerangi kaum muslimin.
Maka Beliau mengutus Buraidah bin al-Hasib al-Aslami untuk memastikan kebenaran informasi tersebut. Buraidah pun pergi dan menemui al-Harith bin Abi Dhirar dan bercakap dengannya. Setelah yakin dengan keterangannya, Buraidah kembali dan menemui Nabi serta menyampaikan kabar yang diterima.
Setelah yakin dengan informasi ini, Beliau menghimpun para sahabat dan cepat-cepat berangkat, tepatnya dua hari sebelum habisnya bulan sya’ban. Turut bersama ialah sekumpulan kaum munafiqin yang sebelum ini tidak pernah keluar ke mana-mana peperangan, Beliau melantik Zaid bin Harith sebagai Khalifahnya di Madinah, tapi ada pendapat lain mengatakan Abu Zar dan satu pendapat lagi mengatakan Thamilah bin Abdullah al-Laithi.
Al-Harith bin Dhirar telah mengutus mata-mata, untuk mengetahui pergerakan pasukan muslimin, tapi kaum muslimin sempat menangkapnya dan terus dibunuh. Setelah al-Harith bin Abi Dhirar mengetahui tentang pergerakan Nabi dan kematian mata-matanya, Beberapa kabilah Arab yang sebelumnya ikut dengan Al-harits, akhirnya melepaskan diri.
Nabi sampai ke kawasan bernama al-Muraisi' yang merupakan mata air Banu al-Mustalaq di daerah Qudaid. Nabi dan tentara Islam bersiap-siap untuk perang. Bendera Muhajirin diserahkan kepada Abu Bakar al-Siddiq dan bendera al-Ansar diserahkan kepada Saad bin Ubadah.
Pada awal pertempuran kedua belah pihak hanya saling melepaskan anak panah, setelah ituNabi memerintah supaya dibuat satu serangan yang mantap serentak, ternyata cara ini sanagat efektif, sehingga pasukan muslimin dapat menundfukkan pasukan musyrikin, di mana peperangan berakhir dengan kemenangan total kepada tentera Islam.
Kaum musyrikin menerima kekalahan yang telak di mana banayak dari mereka terbunuh dan sebahagian yang lain ditawan, Nabi menawan kaum wanita, anak-anak dan kambing ternak mereka, dari tentera Islam hanya seorang saja yang terbunuh dari kaum al-Ansar itu pun karena disangka musuh.
Diantara tawanan itu ada Juwairiyah binti al-Harits , pemimpin mereka. Dalam pembagian harta rampasan dan tawanan, Juwairiyah menjadi bagian Tsabit bin Qais. Tsabit inngin melepasnya dengan uang tebusan, maka Nabi yang menebusnya lalu menikahinya. Karena perkawinan ini.

6. Perang Khaibar
Setelah mengadakan perdamaian dengan pihak Quraisy, melalui Perjanjian Hudaibiyah, Nabi saw. memfokuskan perhatian untuk mengatasi kemelut yang ditimbulkan oleh orang-orang Yahudi yang bersekutu, selain orang-orang Yahudi yang tinggal di seputar Madinah. Nabi saw. memutuskan untuk menyelesaikan persoalan kelompok-kelompok Yahudi yang terdapat di sekitar Madinah setelah beliau saw. menyelesaikan persoalan orang-orang yahudi yang tinggal di Madinah, orang-orang Yahudi di Khaibar mempunyai benteng-benteng pertahanan yang kuat, dan di sana terdapat sekitar 10.000 pejuang, wilayah mereka berbenteng sangat kuat, memiliki perlengkapan senjata yang cukup banyak, dan cerdik mengadu domba, menghasut dan kasak-kusuk. serta mereka mempunyai perlengkapan persenjataan yang memadai seperti pedang dan amunisi (peralatan perang), dan mereka adalah orang-orang yang suka membuat tipu muslihat dan berkhianat.
Lambat atau cepat mereka pasti membahayakan kaum Muslimin. Oleh karena itu, maka persoalan mengenai mereka harus segera di selesaikan sebelum mereka menjadi sumber keguncangan dan kepanikan buat orang-orang Muslim di ibu kota mereka Madinah,. Oleh karena itu Nabi mempersiapkan pasukan yang akan berangkat ke Khaibar pada penghujung bulan Muharram tahun itu juga, maka para pejuang muslim keluar menuju Khaibar yang berjumlah sekitar 1600 pejuang, di antara mereka 200 pasukan berkuda, serta mengajak orang-orang yang ada di sekitarnya yang menyaksikan perdamaian Hudaibiyah, Perang ini terjadi di penghujung bulan Muharram tahun 7 Hijriah. Khaibar adalah nama daerah yang dihuni oleh orang-orang Yahudi, terletak 100 mil dari Madinah, di belahan utara ke arah Syam (Syiria).
Perang Khaibar merupakan perang untuk menaklukkan Yahudi. Masyarakat Yahudi Khaibar paling sering mengancam pihak Madinah melalui persekutuan Quraisy atau Gatafan. Pasukan Muslimin yang dipimpin Nabi Muhammad SAW menyerang benteng pertahanan Yahudi di Khaibar. Pasukan Muslim mengepung dan memutuskan aliran air ke benteng Yahudi. Taktik itu ternyata berhasil dan akhirnya pasukan Muslim memenangkan pertempuran serta menguasai daerah Khaibar. Pihak Yahudi meminta Nabi SAW untuk tidak mengusir mereka dari Khaibar. Sebagai imbalannya, mereka berjanji tidak lagi memusuhi Madinah dan menyerahkan hasil panen kepada kaum Muslim .
Setibanya di sana Nabi memilih suatu tempat di dekat benteng Natha, sebagai tempat mengkonsentrasikan kekuatan tentara Islam. Akan tetapi seorang sahabat Habbab bin Munzir mengusulkan agar Nabi memindahkan konsentrasi itu ke tempat lain saja, karena di benteng Natha itulah musuh mengkonsentrasikan kekuatan tentaranya. Mereka yang ditempatkan di benteng itu terkenal sebagai tentara-tentara jago tembak (pemanah-pemanah mahir). Mereka juga dapat secepat kilat membombandir pasukan Islam, karena mereka bisa mengetahui posisi pasukan Nabi melalui tempat-tempat pengintaian yang ada di atas pohon-pohon korma di sekeliling benteng. Nabi segera memindahkan konsentrasi pasukan ke sektor yang lebih aman. Peperangan pun pecah. Satu demi satu benteng Yahudi dapat di kuasai, kecuali dua benteng terakhir. Di sini tentara-tentara Yahudi bertahan dengan gigih sekali sehingga banyak korban yang jatuh, baik di pihak Islam apalagi di pihak mereka. Perang Khaibar menelan korban 93 orang dari pihak Yahudi dan 15 orang dari pihak Islam.

7. Perang Fath Makkah
Selam dua tahun perjanjian hudaibiyah berlangsung, dakwah Islam sudah menjangkau seluruh jazirah Arab dan mendapat tanggapan yang positif. Hampir seluruh jazirah Arab, menggabung diri dalam Islam. Hal ini membuat orang-orang mekaah merasa terpojok. Perjanjian Hudaibiyah ternyata menjadi senjata bagi ummat Islam untuk memeperkuat dirinya. Oleh karena itu secarasepihak orang-orang kafir Quraisy membatalkan perjanjian tersebut .
Perjanjian Hudaibiyah membolehkan setiap kabilah Arab manapun untuk menggabungkan diri ke dalam barisan Nabi saw. atau ke dalam barisan kaum kafir Quraisy. Bani Bakar memilih menggabungkan diri ke dalam barisan kaum Quraisy, sementara Bani Khuza’ah ke dalam barisan Nabi (Islam).
Pada tahun 8 Hijriah ini Bani Bakar terlibat dalam konflik dengan Bani Khuza’ah dimana kelompok kedua ini menderita kematian 20 orang anggotanya. Dalam konflik ini, kaum Quraisy memberikan bantuannya kepada Bani Bakar. Mengetahui hal itu Nabi tidak senang kepada kaum Quraisy dan secara diam-diam beliau melakukan persiapan untuk memerangi mereka itu. Akan tetapi rahasia ini dibocorkan oleh seorang yang bernama Hatib bin Abu Baltaah Al-Badry, melalui surat rahasianya kepada kaum kafir Quraisy.
Setelah mengetahui pembocoran ini, Nabi saw. memerintahkan bebenapa orang sahabat untuk menyelidiki kebenarannya. Kemudian Nabi memanggil wanita yang membawa surat itu, dan menanyakan mengapa ia berbuat demikian. “Wahai Nabi, Demi Alllah, saya beriman kepada-Nya dan kepada Nabi. Aku tidak bergeser dari situ. Tetapi di kalangan kaum Muslimin ini aku merupakan seseorang yang tidak mempunyai keluarga dan keturunan terhormat, pada hal aku mempunyai putra dan sanak famili di Makkah (kaum Quraisy).
Hal ini kulakukan agar mereka itu menghormati dan menghargai keluargaku,” jawab wanita itu. Mendengar keterangan tersebut, marahlah Umar seraya minta kepada Nabi agar mengizinkannya membunuh wanita itu, dengan alasan orang itu telah munafik. Tetapi Nabi menjawab, “Dia tidak usah dibunuh, karena dia telah ikut serta dalam Perang Badar. Bukankah engkau sendiri sudah tahu, Allah telah memberikan penghormatan kepada orang-orang Islam yang turut berperang di Badar. Sebaiknyalah kita maafkan dia.”
Yang dimaksud dengan Perang Fatah ialah peperangan menaklukkan kota Makkah. Ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 8 Hijriah. Pada tanggal 10 Ramadhan berangkatlah Nabi dengan membawa 10.000 tentara menuju Makkah. Dalam perjalanan itu Nabi dan rombongan berbuka. Di tengah perjalanan itu pula anggota pasukan bertambah, karena beberapa kelompok orang Arab menggabungkan diri. Sementara itu regu pengawal berhasil menawan Abu Sofyan dan dua orang kawannya, lalu ia masuk Islam.
Pasukan Islam memasuki kota Makkah tanpa perlawanan yang berarti dari penduduknya. Nabi terus menghancurkan patung-patung yang berjumlah tidak kurang dari 360 buah, di dalam dan di luar Ka’bah, lalu tawaf. Setelah melakukan shalat dua rakaat, berdirilah Nabi di pintu seraya mengatakan, “Wahai seluruh orang Quraisy, bagaimana tanggapan kamu terhadap apa yang saya lakukan ini?”, “Engkau telah melakukan sesuatu yang baik. Engkau adalah seorang yang mulia. Engkaulah saudara kami yang paling baik,” jawab mereka.
“Pada hari ini saya nyatakan kepada kamu, seperti yang pernah dinyatakan oleh Nabi Yusuf dahulu. Tidak ada apa-apa lagi pada hari ini. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosa yang telah kamu lakukan selama ini. Bertebaranlah, karena kamu telah dibebaskan,” kata Nabi saw. Demikianlah pidato Nabi pada hari penaklukan kota Makkah. Semua penduduknya menyatakan masuk Islam, baik pria maupun wanita, termasuk isteri Abu Sofyan yang semula dikecualikan, karena selama ini dia sangat memusuhi Islam. Kemudian pada waktu shalat zhuhur hari itu Nabi menyuruh Bilal azan di atas Ka’bah menandakan keagungan Islam.
Selain asumsi tersbut diatas, Peristiwa Fath al-Makkah memeberi anggapan kepada kaum Quraisy bahwa kekuatan kaum Muslim telah hancur akibat kalah perang di Mu'tah. Kaum Quraisy beranggapan Perjanjian Hudaibiyah (6 H) tidak penting lagi, maka mereka mengingkarinya dan menyerang Bani Khuza'ah yang berada dibawa perlindungan kaum Muslim. Nabi Muhammad SAW segera memerintahkan pasukan Muslimin untuk menghukum kaum Quraisy. Pasukan Muslimin tidak mendapat perlawanan yang berarti, kecuali dari kaum Quraisy yang dipimpin Ikrimah dan Safwan. Fath al-Makkah terjadi di sekitar kota Mekah., Berhala di kota Mekah dihancurkan dan akhirnya banyak kaum Quraisy masuk Islam .


8. Perang Hunain
Setelah kejatuhan pusat kekuatan kaum musyrikin oleh kaum Muslimin, para penyembah berhala itu tetap diperbolehkan tinggal di sekeliling Ka’bah. Mereka merasa malu dan bagitu ketakutan. Oleh karena itu, mereka mengundang kabilah masing-masing untuk berkumpul. Mereka memutuskan bahwa untuk mengalahkan kaum Muslimin, hendaknya mereka bersekutu dalam menghancurkan pasukan Muslimin itu.
Dalam pertemuan itu, diputuskanlah kepala kabilah Hawazan sebagai panglima mereka. Perang Hunain berlangsung antara kaum Muslim melawan kaum Quraisy yang terdiri dari Bani Hawazin, Bani Saqif, Bani Nasr dan Bani Jusyam. Perang Hunain merupakan balas dendam kaum Quraisy karena peristiwa Fath al-Makkah. Pada awalnya pasukan musuh berhasil mengacaubalaukan pasukan Islam sehingga banyak pasukan Islam yang gugur. Perang ini terjadi di Lembah Hunain, sekitar 70 km dari Mekah.
Perang ini terjadi pada tangal 10 Syawal tahun 8 Hijriah, yaitu beberapa hari setelah penaklukan kota Makkah. Awalnya ialah pemimpin-pemimpin kabilah Hawazin dan Tsaqif khawatir kalau setelah Makkah takluk akan tiba giliran mereka ditaklukkan. Karena itu mereka berinisiatif untuk menyerang kaum Muslimin lebih dahulu. Dikumpulkanlah seluruh rakyat berikut semua harta benda yang mereka miliki untuk dibawa ke medan perang. Pasukan mereka itu dipimpin oleh Malik bin Auf, dengan pasukan yang jumlahnya hampir mencapai 30 ribu prajurit.
Di pihak Islam, Nabi mengomandokan kaum Muslimin agar bersiap-siap untuk menghadapi tantangan itu. Pasukan Islam yang terdiri dari sahabat-sahabat Nabi yang telah lama masuk Islam dan yang baru, keluar bersama Nabi. Sesampainya di Lembah Hunain, mereka disergap oleh tentara-tentara Hawazin dan sekutu-sekutunya.
Tetapi serbuan mendadak ini berhasil diatasi, sehingga orang-orang sibuk mengambil harta benda yang ditinggalkan oleh musuh. Dalam kesibukan itulah musuh kembali mengambil inisiatif untuk kembali menyerang dan mengakibatkan porak-porandanya pasukan Islam. Mereka semakin kocar-kacir setelah mendengar psywar bahwa Nabi telah terbunuh.


Berkali-kali Nabi menyerukan bahwa dirinya masih hidup, tetapi hanya beberapa kelompok Muhajirin dan Anshar saja yang tetap bertahan. Kemudian Abbas kembali meneriakkan hal yang sama sehingga berhasil mengumpulkan pasukan yang sudah kacau-balau itu, bahkan berhasil kembali mengungguli musuh dan memboyong harta rampasan yang berlimpah ruah.
Pasukan Muslimin tiba di lembah Hunain pada malam Selasa tanggal 10 Syawal. Pasukan Islam beristirahat di tempat itu. Rencananya, mereka akan bergerak memasuki lembah Hunain pada Shubuh hari. Pihak musuh yang telah siaga menyambut kedatangan mereka dengan bersembunyi di balik ilalang. Setelah melihat musuh menampakkan diri, mereka lalu menyergap dari empat penjuru. Di tengah kegelapan malam, kuda-kuda yang ditunggangi pasukan Muslimin itu membuat kegaduhan. Kegaduhan ini menjadi ramai oleh sekitar 2.000 muallaf (Muslim baru). Para muallaf itu melarikan diri, dipimpin oleh Khalid bin Walid. Pelarian diri itu telah membuat musuh menjadi tambah semangat untuk menceraiberaikan pasukan Muslimin. Hanya 10 orang sahabat yang bersiaga di samping Nabi saw. Merekalah yang membela beliau dari ancaman pedang musuh. beliau memerintahkan mereka untuk lari mencari pertolongan .

9. Perang Tabuk
Adanya peristiwa penaklukan kota Mekah membuat seluruh Semenanjung Arabia berada di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Melihat kenyataan itu, Heraklius, penguasa Romawi Timur, menyusun pasukan besar untuk menyerang kaum Muslim. perang ini adalah kota Tabuk, perbatasan antara Semenanjung Arabia dan Syam (Suriah). Pasukan Muslimin kemudian menyiapkan diri dengan menghimpun kekuatan yang besar karena pada masa itu banyak pahlawan Islam yang menyediakan diri untuk berperang bersama Nabi SAW. Pasukan Romawi mundur menarik diri setelah melihat besarnya jumlah pasukan Islam. Nabi SAW tidak melakukan pengejaran tetapi berkemah di Tabuk. Di sini Nabi SAW membuat perjanjian dengan penduduk setempat sehingga daerah perbatasan tersebut dapat dirangkul dalam barisan Islam.
Pada bulan Rajab tahun ke-9 H, Nabi saw. menerima laporan bahwa kaum Muslimin yang bermukim di barat daya perbatasan Arabia, mendapat ancaman dari kekaisaran Romawi dan berhajat untuk menyerang wilayah-wilayah Islam. Setelah mempersiapkan pasukan, Nabi saw mengumumkan rencananya kepada khalayak ramai. Cara ini berbeda dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat sebelumnya. Dahulu, beliau merahasiakan niatnya. Kali ini beliau memberitahukan kepada khalayak secara terbuka. Masyarakat mempersembahkan segala sesuatu yang diperlukan oleh pasukan Muslimin. Mereka dengan antusias dan penuh semangat mengorbankan harta, bahkan kaum wanita merelakan simpanan perhiasan mereka untuk digunakan dalam peperangan .
Nabi mengadakan persiapan untuk menghadapi tantangan ini. Tetapi mengalami banyak kesulitan, karena cuaca waktu itu sangat panas. Sungguhpun begitu semangat juang kaum Mukminin tidak luntur sedikit pun. Setelah mempersiapkan pasukan, Nabi saw mengumumkan rencananya kepada khalayak ramai. Cara ini berbeda dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat sebelumnya. Dahulu, beliau merahasiakan niatnya. Kali ini beliau memberitahukan kepada khalayak secara terbuka. Masyarakat mempersembahkan segala sesuatu yang diperlukan oleh pasukan Muslimin. Mereka dengan antusias dan penuh semangat mengorbankan harta, bahkan kaum wanita merelakan simpanan perhiasan mereka untuk digunakan dalam peperangan .
Ada tiga orang sahabat yang bersedia mengeluarkan biaya untuk keperluan itu. Abu Bakar menginfakkan 40.000 dirham, Umar menyedekahkan seperdua dari nilai kekayaannya, dan Utsman pun begitu. Namun uang sebesar itu baru bisa menutup sepertiga ongkos perang atau baru bisa membiayai pasukan sejumlah 10.000 orang. Padahal Nabi berhasil menghimpun 30.000 orang tentara yang terdiri atas 20.000 infanteri dan 10.000 orang tentara berkuda (kavaleri). Ini merupakan pasukan terbesar sepanjang sejarah peperangan bangsa-bangsa Arab, sampai dewasa ini.
Nabi dan pasukannya segera mencapai Desa Tabuk. Tetapi setelah bersiaga selama lebih kurang 20 hari, ternyata pasukan Romawi dan sekutu-sekutunya tidak juga kunjung datang, sehingga Nabi pulang ke Madinah.

ARAB PRA ISLAM

On Selasa, 29 November 2011 0 komentar

PENDAHULUAN
Berbicara masalah masyarakat Arab Pra Islam seyogyanya, penulisan tentang sejarah dan kebudayaan Islam oleh ahli-ahli sejarah Barat maupun Timur diawali dengan uraian tentang sejarah bangsa Arab pra-Islam. Hal ini memang terasa sangat relevan dan layak untuk dijadikan bahan diskusi dan seminar, karena mengingat negeri dan bangsa Arab adalah wilayah yang pertama kali mengenal dan menerima Islam. Adalah suatu fakta bahwa agama Islam di turunkan di Jazirah Arab, karena itu sudah barang tentu bangsa Arablah yang pertama kali mendengar, menghayati dan mengenal Islam.
Melihat kenyataan tersebut maka terasa penting untuk mengetahui keadaan masyarakat Arab pra-Islam bagi penelaahan sejarah kebudayaan Islam dan yang berkepentingan untuk mencari tau lebih banyak tentang sejarah kelahiran Islam dan kondisi masyarakat Arab Pra-Islam, yang lazim disebut masyarakat “zaman jahiliyyah”.
Sejarah perkembangan masyarakat bangsa Arab tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan Islam. Bangsa Arab adalah suatu bangsa yang diasuh dan dibesarkan oleh Islam; dan sebaliknya Islam didukung dan dikembangkan serata disebarluaskan luaskan oleh bangsa Arab.
Konteks kenyataan inilah yang menarik untuk dikaji lebih dalam untuk mengetahui keadaan bangsa Arab pra-Islam yang berkaitan dengan aspek-aspek perjalanan sejarah mereka, seperti keadaan geografis jazirah Arab itu sendiri, asal-usul, cara hidup penduduk, jenis-jenis bangsa Arab, agama dan kepercayaan, serta adat istiadat dll.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Situasi Geografi dan Asal Usul Keturunan MasyarakatArab Pra-Islam
Menurut bahasa, Arab artinya padang pasir, tanah gundul dan gersang yang tiada air dan tanamannya. Jazirah Arab dibatasi laut merah dan gurun Sinai di sebelah Barat, di sebelah Timur dibatasi teluk Arab dan sebagian besar negara Iraq bagian Selatan, di sebelah Selatan dibatasi laut Arab yang bersambung dengan lautan India, di sebelah Utara dibatasi negeri Syam dan sebagian kecil dari Negara Iraq. Luasnya membentang antara satu juta mil kali satu juta tiga ratus ribu mil.
Jazirah Arab hampir lima per-enamnya daerahnya terdiri dari padang pasir, maka sungai sangat jarang terdapat di jazirah Arab dan hanya ada Perigi atau Oase di tengah-tengah padang pasir.
Jazirah Arab terbagi atas dua bagian yakni, bagian tepi dan bagian tengah. Bagian tengah terdiri dari pegunungan yang curah hujannya sangat sedikit, penduduknya pun secara otomatis sedikit, yaitu kaum pengembara. Bagian tengah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Bagian Utara, disebut “Najed”
b. Bagian Selatan disebut “Al Ahqaf”
Sedangkan di bagian tepi, serupa dengan sebuah pita kecil yang melingkari jazirah Arab, hanya di pertemuan antara laut merah dengan lautan Hindia pita itu agak lebar. Pada jazirah Arab ini boleh dikatakan hujan turun cukup teratur, oleh karena itu penduduknya tiada yag mengembara melainkan menetap di tempatnya.
Jazirah Arab terbagi kepada lima daerah, yaitu:
1. Hijaz, kotanya adalah Makkah, Madinah dan Thaif
2. Yaman, terletak di bagian selatan; diantaranya adalah San’a yang merupakan ibukota Yaman zaman dahulu
3. Najed, terletak di bagian tengah jazirah Arab
4. Tihamah, terletak antara Hijaz dan Yaman
5. Yamamah, terletak antara Yaman dan Najed
Jika ditilik dari silsilah keturunan dan cikal bakalnya, para sejarawan membagi kaum-kaum bangsa Arab menjadi tiga bagian,yaitu :
1. Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bias dilacak secara rinci dan kompelit, seperti Ad, Tsamud, Thsam, Judais, Amlaq dll.
2. Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya’rub bin Yasyjub bin Qathan, atau disebut pula Arab Qahthaniah.
3. Arab Musta’ribah yaitu, kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma’il yang disebut pula Arab Adnaniyah.
Tempat kelahiran Arab Aribah atau kaum Qahthan adalah negeri Yaman, lalu berkembang menjadi beberapa kabilah dan suku, yang terkenal adalah dua kabilah :
a. Kabilah Himyar, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Zaid Al-Jumhur, Qadh’ah dan Sakasik.
b. Kahlan, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Hamdan, Anmar, Wati’, Madzhaj, Kindah, Lakham, Uzh, Aus, Khazraj dan anak keturunan Jafranah raja Syam.
Jenis-jenis bangsa Arab dipandang dari segi cara hidupnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu penduduk gurun “Badui” dan penduduk negeri “Ahlul Hadlar”. Penduduk Badui (ba’idah), yaitu orang-orang Arab yang telah lenyap jejaknya, dan tidak diketahui lagi keberadaannya kecuali karena tersebut di dalam kitab suci, seperti kaum ‘Ad dan Tsamaud. Cara hidup mereka adalah suka berpundah-pindah, mengembara untuk mencari tanah yang dapat ditanami, mata air dan padang rumput untuk menggembala binatang ternak. Sejarah bangsa Arab penduduk gurun pasir hampir tidak dikenal orang. Yang dapat kita ketahui dari sejarah mereka hanyalah yang dimulai dari kira-kira lima puluh tahun sebelum Islam.
Adapun yang sebelum itu tidaklah dapat diketahui. Hal tersebut disebabkan karena bangsa Arab penduduk padang pasir tersebut terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang selalu berperang. Peperangan-peperangan yang terjadi ditimbulkan oleh keinginan untuk mempertahankan serta memelihara kelangsungan hidup. Kondisi geografis yang demikian telah memberikan satu pemikiran bahwa siapa yang kuat sajalah yang berhak memiliki tempat-tempat yang berair dan padang-padang rumput sebagai tempat menggembalakan binatang ternak yang dimilikinya. Adapun si lemah, dia hanya berhak mati atau bersedia dijadi budak.
Sedangkan penduduk negeri adalah penduduk yang cara hidupnya menetap, tidak berpindah-pindah dan tidak mengembara. Mereka mendiami Jazirah Arab bagian tepi seperti Hijaz, Hirah, Yaman, dll. Penduduk negeri ini memiliki mata pencaharian berdagang dan bercocok tanam. Kehidupan penduduk negeri lebih teratur bila dibandingkan dengan kehidupan orang gurun. Dan mereka juga sudah mampu membangun dan mengembangkan kebudayaan, juga mereka telah mampu mendirikan kerajaan.

2. Realitas Masyarakat Jahiliyah Pra Islam.
Masyarakat Arab, sebelum kelahiran dan kerasulan Nabi Muhammad SAW., dikenal dengan sebutan jahiliyah. Jika merujuk pada arti kata jahiliyah (yang berasal dari bahasa Arab dari kata jahala yang berarti bodoh), maka secara harpiyah bisa disimpulkan bahwa masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang bodoh. Jahiliyyah biasanya dikaitkan dengan masa sebelum Nabi Muhammad s.a.w. lahir. Sesungguhnya kata Jahiliyyah sendiri adalah mashdar shina’iy yang berarti penyandaran sesuatu kepada kebodohan. Kebodohan menurut Manna’ Khalil al-Qathtan yang di kuitif oleh Lafidus dalam bukunya Sejarah Umat Islam ada tiga 3 makna, yaitu:
a. Tidak adanya ilmu pengetahuan (makna asal).
b. Meyakini sesuatu secara salah.
c. Mengerjakan sesuatu dengan menyalahi aturan atau tidak mengerjakan yang seharusnya dia kerjakan.
Pemberian nama atau istilah Jahiliyah pada masyarakat Arab bukan mengklaim bahwa masyarakat Arab bodoh dalam semua hal karena dari segi pengetahuan dan peradaban, masyarakat Arab tidak bisa disebut jahiliyyah (bodoh) dalam pengertian barbar dan primitif. Justru banyak perilaku dan pengetahuan positif yang dihasilkan mereka, yang kemudian dipelihara oleh Islam, misalnya dalam penghormatan tamu, kedermawanan, tepat janji, bersahaja dan lain-lain. Masyarakat Jahiliyah sebelum datangnya Islam adalah keseluruhan masyarakat (tidak hanya Arab), yang menjauhi nilai-nilai fitrah, yang sudah dibawa oleh para Rasul pembawa risalah tauhid. Penyempitan makna jahiliyah hanya pada masyarakat Arab pra Islam akan menimbulkan bias bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu lahir dari nenek moyang bodoh, yang jauh dari nilai-nilai.
Sebutan jahiliyah ini perlu mendapat penjelasan lebih lanjut, sebab dari situlah akan terbangun pola kontruksi terhadap masyarakat Arab masa itu, yang di dalamnya adalah juga nenek moyang Nabi Muhammad s.a.w., dan sekaligus cikal bakal masyarakat Islam. Jika masyarakat jahiliyah kita artikan sebagai masyarakat bodoh dalam pengertian primitif yang tak mengenal pengetahuan atau budaya; tentu sulit dipertanggungjawabkan, karena berdasarkan data sejarah, masyarakat Arab waktu itu juga telah memiliki nilai-nilai peradaban. Sesederhana apa pun peradaban itu. Seorang pujangga Arab Syiria, Jarji Zaidan, membagi masa jahiliyah kepada dua masa yakni:
1. Jahiliyyah pertama الجاهليه الاول)) yaitu zaman sebelum sejarah sampai abad lima masehi.
2. Jahiliyah kedua (الجاهليه الثلن) yaitu dari abad kelima masehi sampai lahir Islam.
Kalau kita perhatikan kembali, orang-orang Arab dalam kedua zaman tersebut tidak semuanya bodoh. Seorang ahli sejarah Islam terkenal Ahmad Amin dalam bukunya Muhtar Yahya mendefinisikan kata-kata Arab Jahiliyah" yaitu orang-orang Arab sebelum Islam yang membangkang kepada kebenaran, mereka terus melawan kebenaran, sekalipun mereka telah mengetahui bahwa itu benar."
Dikalangan bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan seorang keluarga dikalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan dan dijaga sekalipun harus dengan pertumpahan darah. Jika seseorang ingin dipuji dan menjadi terpandang dimata bangsa Arab karena kemuliaanya dan keberaniannya, maka dia harus banyak diperbincangkan oleh para wanita.
Karena pada zaman itu wanita dapat mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian, dan jika wanita itu mau maka dia bisa saja menyulut api peperangan dan pertempuran diantara mereka. Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita. Sedangkan kelas masyarakat yang lainnya beraneka ragam dan memiliki kebebasan hubungan antara laki-laki dengan wanita. Para wanita dan laki-laki bebas bergaul, malah untuk berhubungan lebih dalam pun tidak ada batasan. Kondisi yang lebih mengerikan lagi adalah, seorang wanita bisa bercampur dengan lima atau bahkan lebih laki-laki sekaligus. Perzinaan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Pada masa itu perzinaan dianggap suatu hal yang biasa, tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.
Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yng diluar kewajaran, seperti:
1. Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali seorang wanita, lalu laki-laki tersebut dapat menikahi wanita yang dilamarnya seketika itu pula setelah menyerahkan mas kawin.
2. Para laki-laki bisa mendatangi wanita wanita sesuka hatinya, yang disebut wanita pelacur.
3. Pernikahan istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain.
4. Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan pertempuran. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.
Hal-hal yang menyimpang diluar kewajaran selain itu adalah Poligami tanpa ada batasannya. Menikahi janda bapak mereka sendiri. Ada pula yang sangat pantas jika mereka disebut masyarakat jahiliyyah, yakni mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka yang baru dilahirkan. Penyebabnya hanya karena takut terbuka aib dan karena kemunafikannya. Mereka juga yang membunuh anak laki-laki mereka, apabila anak laki-laki mereka itu dinilai mempunyai watak penakut dan atau pengecut. Alasannya hanya karena adanya kepercayaan bahwa akan kelaparan dan mengalami kemiskinan. Walaupun adat seperti itu tidak dapat dibenarkan, namun untuk dapat memahaminya perlu dilihat motivasi-motivasi yang mendorong adanya adat seperti itu. Biarpun masyarakat Arab Pra-Islam juga memiliki rasa iba dan kasih sayang kepada anak kandungnya. Akan tetapi sifat-sifat keprimitifan mereka sebagai suku-suku pengembara, terlampau berlebihan dalam mendewa-dewakan harga diri, kehormatan dan nama baik keluarga dan kabilahnya. Perasaan takut yang berlebihan kalau-kalau di kemudian hari anak perempuannya akan mencemarkan nama baik keluarga dan kabilahnya, mengingat tata sosial pada masa itu kaum wanita hanya berkedudukan sebagai pemuas nafsu kaum laki-laki saja. Perempuan tidak memiliki hak apapun dalam menentukan nasibnya sendiri.
Dari realita di atas tampak adanya beberapa masalah yang saling bertentangan antara rasa kasih sayang sebagai orang tua kepada anaknya dengan rasa takut menghadapi hari depan. Sedangkan tingkat berpikir primitif orang Arab tidak mampu menemukan pemecahan yang tepat dan baik, maka diambillah cara yang paling mudah, walaupun hal itu berlawanan dengan rasa kemanusiaan dan hati nuraninya sendiri sebagai manusia. Dalam hal ini jelas bahwa segi-segi negatif yang ada pada tabiat dan adat istiadat orang Arab mengalahkan segi-segi positifnya.
Akan tetapi, dalam hal lain ada pula segi-segi positif sifat dan tabiatnya yang mampu mengalahkan segi-segi negatifnya. Seperti kepekaan mereka apabila harga diri, kehormatan dan kebebasannya diganggu orang, kedermawanan mereka terhadap tamu, keberanian berkorban untuk sesuatu yang dianggapnya benar, menjunjung tinggi prinsip-prinsip persamaan dan demokrasi, semuanya itu merupakan sifat-sifat yang patut dipuji.

3.Keberagamaan Masyarakat Arab Pra-Islam
Kondisi masyarakat Arab pra-Islam secara garis besar, kondisi masyarakat Arab pra-Islam bisa dikatakan lemah dan buta, dalam artian kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang. Menurut para ahli ilmu bangsa, bangsa Arab termasuk golongan bangsa sumit yakni dari keturunan “Sam bin Nuh”. Banyak para ahli sepakat bahwa tempat kelahiran keturunan Sam yang pertama adalah lembah sungai Furrat atau tanah datar yang terletak diantara sungai Tigris (Dadjlah) dan sungai Ephraat (Furrat). Dari mereka ini lahirlah bangsa Babylon dan Assiria di Iraq, Aram di Syam, ‘Ibri di palestina, Phoenicia dipantai Syam yang mengahadap Libanon, Habsy di Abesinia dan bangsa Arab dikepulauan yang disebut Djazirah Arab.
Kepercayaan bangsa Arab sebelum datangnya Islam, mayoritas mengikuti dakwah Isma’il AS yaitu menyeru kepada agama bapaknya Ibrahim AS yang intinya menyeru menyembah Allah, meng-Esakannya dan memeluk agama-Nya. Waktu terus bergulir sekian lama, hingga banyak di antara mereka yang melalaikan agama. Sekalipun begitu masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga munculnya Amr bin Luhay (pemimpin Bani Khuza’ah). Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal baik, mengeluarkan shadaqah dan peduli terhadap urusan-urusan agama. Sampai suatu saat dia mengadakan perjalanan ke Syam. Di sana ia melihat penduduk negeri Syam menyembah berhala. Dia menganggap hal itu sebagai suatu yang baik dan benar. Menurutnya, negeri Syam adalah tempat para Rasul Allah dan kitab. Sekembalinya dari negeri Syam dia pulang sambil membawa patung HUBAL dan meletakkannya di ka’bah dan mengajak penduduk Makkah untuk membuat persekutuan terhadap Allah. Ajakan yang disampaikan membuat banyak penduduk Hijaz yang mengikutinya karena dia dianggap sebagai ulama’ besar dan wali Allah yang disegani. Ada tiga berhala yang paling besar yang ditempatkan pada saat itu ditempat tempat tertentu untuk dijadikan media penyembahan , yaitu :
a. Manat, mereka menempatkan di Musyallal di tepi laut merah dekat Qudaid.
b. Lata, ditempatkan di Thaif.
c. Uzza, ditempatkan di Wady Nakhlah, dll.
Ditengah kemusyrikan yang semakin merebak di Hijaz, yang menjadi fenomena terbesar dari kemusyrikan bangsa Arab kala itu yakni mereka menganggap diri mereka berada pada agama Ibrahim. Berikut beberapa contoh tradisi penyembahan berhala yang mereka lakukan., seperti:
1. Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya, komat-kamit dihadapannya, meminta pertolongan tatkala kesulitan, dll.
2. Menunaikan Haji dan Thawaf di sekeliling berhala.
3. Mengorbankan hewan sembelihan demi berhala dan menyebut namanya.
4. Orang Arab juga percaya dengan pngundian nasib dengan anak panah di depan Hubal, mereka juga percaya pada peramal, orang pintar dan ahli Nujum.
Ada juga penduduk Arab yang menyembah matahari dan bulan. Mereka berpendapat bahwa bulan dan bintang-bintang meminta cahaya dari matahari. Buruk atau baiknya nasib alam bergantung dari belas kasihan matahari. Mereka juga mendirikan kuil-kuil penyembahan atau pemujaan matahari .
Sekalipun masyarakat Arab Jahiliyyah seperti itu, ternyata masih ada sisa-sisa agama Ibrahim dan mereka sama sekali tidak meninggalkannya, seperti pengagungan terhadap ka’bah, Thawaf di sekelilingnya, Haji, Umrah, Wuquf di Arafah dan Mudzalifah.
Semua gambaran agama dan kebiasaannya adalah syirik dan penyembahan terhadap berhala menjadi kegiatan sehari-hari. Sementara sebelum itu sudah ada agama Yahudi, Masehi, Majusi, Nasrani dan Shabi’ah yang masuk ke dalam masyarakat Arab. Itulah agama-agama yang ada pada saat detik-detik menjellang kedatangan Islam di Arab. Namun agama-agama itu sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang yang mengaku beragama Ibrahim, justru keadaannya melenceng jauh dari perintah dan larangan Syariat Ibrahim.
Semua agama dan tradisi bangsa Arab pada masa itu, keadaan orang-orang musyrik. Musyrik hati, kepercayaan, tradisi dan kebiasaanya hampir serupa.

SUMBER DAN CARA MEMPEROLEH ILMU

On Sabtu, 14 Mei 2011 0 komentar

OLEH:MUSTANAN
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ilmu merupakan pengetahuan yang kita gelimuti sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita berterusterang kepada diri kita sendiri : apakah yang saya ketahui sebenarnya?, tentang ilmu apa ciri-cirinya yang membedakan ilmu dan pengetahuan-pengetahuan lainya yang bukan ilmu. Potensi karsa inilah menjadi dorongan rasa ingin tahu itu muncul dan berkembang.
Karena pengetahuan merupakan suatu kata yang digunakan untuk menunjukkan apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Ilmu pengetahuan senantiasa memiliki subyek, yakni yang mengetahui, karena tanpa ada yang mengetahui tidak mungkin ada ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan juga berkaitan erat dengan kebenaran karena demi mencapai kebenaranlah ilmu pengetahuan itu eksis.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, maka dapat kita mengabil rumusan dan masalah sesuai dengan judul makalah “Sumber dan Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan” sebagai berikut:
1. Sumber ilmu pengetahuan
2. Cara memperoleh ilmu pengetahuan.














BAB II
“SUMBER DAN CARA MEMPEROLEH ILMU PENGETAHUAN”

A. Sumber Ilmu Pengetahuan
Ada beberapa sumber ilmu pengetahuan yang kita ketahui yaitu: kepercayaan yang berdasarkan tradisi, kebiasaan-kebiasaan dan agama, kesaksian orang lain, panca indra/pengalaman, akal pikiran dan intuisi pemikiran.
Akan tetapi pada hakekatnya sumber ilmu pengetahuan itu ada dua : Wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) dan Alam semesta.
1. Wahyu (al-Qur’an dan Sunnah)
Wahyu merupakan ayat-ayat Allah yang tersurat, berupa kalam atau firman-Nya yang datang melalui Rasulullah saw, kemudian dikenal dengan ayat kauliayah.
Mengapa wahyu dijadikan sumber pengetahuan? Karena dalam Islam dapatlah dikatakan bahwa pedoman hidup seseorang muslim adalah al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya merupakan wahyu Allah yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw, secara tegas Allah mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan untuk menjadi hudan lil muttaqin (petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa) atau hudan linnas (petunjuk bagi ummat manusia). Ia juga merupakan al-Bayyinah (Penjelas) segala sesuatu dan al-Furqan (pembeda) antara yang haq dan yang bathil. Petunjuk kejalan yang lurus.
2. Alam
Alam semesta, bumi, langit beserta segala isinya merupakan ciptaan Allah SWT, termasuk segala peristiwa, fenomena, dan hukum-hukumnya. Yang selalu dikenal dengan sunnatullah fi al-Kaum (hukum alam)
Alam semesta, bumi, langit beserta segala isinya, Allah peruntukkan kepada manusia. Manusia sesuai dengan kehadirannya di muka bumi sebagai khalifah, diberi wewenang dan hak untuk mengelolah dan memanfaatkannya, untuk kebahagian lahir dan bathin.
Sebagaimana Firman-Nya (QS Lukman 20):
  •    •             ••            

Terjemahnya :

Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.

Kreativitas manusia dalam mengelolah alam semesta, akan melahirkan berbagai inovasi sesuai dengan tuntunan perkembangan zaman dan pradaban. Variasi dari objek penilitian terhadap alam tersebut, akan melahirkan ilmu alam, ilmu eksakta (pasti) termasuk sains dan teknologi. Keberadaan ilmu-ilmu ini, lebih banyak mendekati kebenaran, dalam arti sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah, sebab yang dikaji adalah sunnatullah fil kaum yang bersifat tetap dan pasti.
Dengan demikian sudah dapat kita ketahui bahwa sumber ilmu pengetahuan itu berasal dari dua sumber yaitu al-Qur’an dan Alam semesta. Berbeda halnya dengan pemikiran ala Barat yang mengandalkan hanya satu sumber, yakni alam atau universum, dan dalam memahaminya pun hanya mengandalkan kemampuan indra dan akal, yang jelas kemampuannya sangat terbatas.
B. Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah hasil kegiatan ingin tahu manusia tentang apa saja melalui cara-cara dan dengan alat-alat tertentu. Pengetahuan juga bermacam-macam jenis dan sifatnya. Ada yang langsung dan ada yang tidak langsung, ada yang bersifat tidak tetap dan ada yang bersifat tetap, objektif dan umum. Jenis dan sifat pengetahuan tergantung pada sumbernya dan dengan cara dan alat apa pengetahuan itu diperoleh. Kemudian, ada pengetahuan yang benar dan ada pengetahuan yang salah tentu saja yang dikehendaki adalah pengetahuan yang benar.
Telah disebutkan di atas bahwa keinginan atau kemauan merupakan salah satu unsur kekuatan kejiwaan manusia. Keinginan merupakan bagian integral dari tri potensi kejiwaan : cipta/akal, rasa, dan karsa/kemauan/ keinginan. Ketiganya berada dalam suatu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi. Potensi karsa inilah yang menjadi dorongan rasa ingin tahu itu muncul dan berkembang.
Dorongan ingin tahu manusia itu tidak terbatas. Manusia secara terus menerus ingin mengetahui apa saja sampai ia puas. Karena segala sesuatu yang terdapat pada kita akibat apa yang telah difikirkan, yakni berdasarkan fikiran kita dan dibentuk oleh fikiran kita.
Lebih jauh lagi dorongan untuk melakukan sesuatu dengan kehendak fikiran diilhami oleh adanya dimensi rohani. Menurut al-Gazali dimensi rohani manusia mempunyai empat kekuatan :
1. Qalbu
Berarti segumpal daging yang bundar memanjang. Terletak di pinggir kiri dalam dada. Di dalamnya terdapat lubang-lubang. Lubang-lubang inilah di isi dengan dara hitam yang merupakan sumber dan tambang dari nyawa. Secara psikis. Qalbu berarti sesuatu yang halus, rohani berasal dari alam ketuhanan. Qalbu dalam pengetian kedua ini disebut hakekat manusia. Dialah yang merasa, mengetahui, dan mengenal serta yang diberi beban, disiksa, dicaci, dan sebagainya.
2. Ruh
Secara biologis ialah tubuh halus yang bersumber pada lubang qalb, yang tersebar kepada lubang tubuh dengan perantaraan urat-urat. Sedangkan pengertian kedua ialah sesuatu yang halus mengetahui dan merasa.
3. Nafs
Kekuatan yang menghimpun sifat-sifat tercelah pada manusia, yang harus dilawan dan diperangi.

4. Akal
Pengetahuan segala hakekat segala keadaan. Akal itu ibarat sifat-sifat ilmu yang tempatnya di hati. Pengertian kedua ialah memperoleh pengetahuan itu dan itu adalah hati.
Secara garis besar, dalam ilmu pengetahuan terdapat hubungan antara subyek dengan obyek kesadaran, antara ilmuan dan pengetahuan alam dengan batasan pengetahuan. Kondisi itu memberikan arti bagaimanakah cara memperoleh ilmu pengetahuan yang holistik dan cara empiris.
Disamping rasionalisme emperisme masih terdapat cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Yang penting kita ketahuai adalah Intuisi dan wahyu. Sampai sejauh ini pengetahuan yang didapatkan secara rasional maupun secara empiris, kedua-duanya merupakan induk produk dari sebuah rangkaian penalaran.
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui peroses penalaran tertentu. Karena seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawabannya atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui peroses berfikir yang berliku-liku tiba-tiba saja ia sudah sampai di situ.
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan oleh para Nabi-nabi yang di utusnya sepanjang zaman. Agama merupakan pengetahuan, bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti.
Dengan demikian Ilmu Pengetahuan dapat diperoleh dengan cara yaitu:
1. Merupakan kegiatan aktif manusia untuk mencari kebenaran
a. Menggunakan pola pikir tertentu (penalaran, logika)
b. Tidak menggunakan pola berpikir tertentu (perasaan, intuisi)
2. Bukan merupakan kegiatan aktif manusia, tetapi sesuatu yang ditawarkan oleh wahyu.





BAB III
KESIMPULAN

Pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa :
1. Sumber ilmu pengetahuan berasal dari Wahyu dan alam semesta.
2. Dengan sumber di atas maka digunakanlah kepercayaan yang berdasarkan tradisi, kebiasaan-kebiasaan dan agama, kesaksian orang lain, panca indra/pengalaman, akal pikiran dan intuisi pemikiran untuk memperoleh ilmu pengetahuan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Azizah Abu Azmi., Bagaimana Berfikir Islami Cet. II; IKAPI, 2001

Departemen Agama RI., Al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta : Surya Cipta Aksara, 1995

Dr. Muhammah Yasir Nasution, Manusia Menurut al-Gazali, Cet. I; Jakatra : CV. Rajawali, 1988.

Suriasumantri Jujun., Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Cet. XVI; Jakarta : PT. Total Grafika Indonesia, 2003.

Soetriono dan SRDm Rita Hanafie., Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Cet. I; Yogyakarta : CV. Andi Offset, 2007.

Suhartono Suparlan, Dasar-dasar Filsafat, Cet. III; Jogjakarta : Ar-Ruzz Media,

PERBANDINGAN ALIRAN

On Rabu, 16 Februari 2011 1 komentar

(Perbuatan Tuhan, Perbuatan Manusia,
Antropomorfisme, Melihat Tuhan dan Kalamullah)

A. Perbuatan Manusia
Merupakan permasalahan polemis dikalangan umat Islam, terutama menyangkut hubungannya dengan perbuatan Tuhan, apakah manusia melakukan perbuatannya sendiri atau tidak ? kalau Tuhan ”campur tangan” dalam perbuatan manusia, sejauhmana intervensi Tuhan tersebut?
Disini akan diketengahkan pendapat masing-masing aliran mengenai hal tersebut.
1. Aliran Jabariah.
Menurut aliran ini, manusia tidak berkuasa, atas perbuatannya yang menentukan perbuatan manusia itu adalah Tuhan, karena itu manusia tidak berdaya sama sekali untuk mewujudkan perbuatannya baik atau buruk.
Paham Jabariah sebagaimana dikemukakan di atas adalah paham yang dilontarkan oleh ”Jaham bin Shafwan”, tokoh utama Jabariah. Pendapat Jaham bin Shafwan tentang perbuatan manusia tersebut dianggap paham Jabariah ekstrim sebab dalam paham tersebut manusia tidak punya andil sama sekali dalam perbuatannya, semua ditentukan oleh Tuhan.
Selain hal tersebut, ada juga paham Jabariah moderat, yang dikembangkan oleh Husan bin Najjar, Dhirar bin Amr dan Hafas alfardi, menurut mereka perbuatan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh Tuhan. Tetapi manusia punya andil juga dalam mewujudkan perbuatannya.
2. Aliran Qadariah
Menurut aliran ini, manusia mempunyai iradhat (kemampuan berkehendak dan memilih) dan qudrad (kemampuan untuk berbuat). Menurut paham ini Allah SWT memberikan manusia sejak lahirnya dengan qudrad dan iradhat, suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya sendiri dengan akal dan ajaran agama sebagai pedoman dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa menurut paham ini Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan itu.
3. Aliran Mu’tazilah
Menurut aliran ini, masalah perbuatan manusia ini sesuai dengan paham Qadariah. Bahkan menurut Prof. DR. Ahmad Amin, kaum Qadariah sering dinamakan Mu’tazilah karena mereka sependapat bahwa manusia mempunyai kemampuan mewujudkan tindakan dan perbuatannya, tanpa campur tangan Tuhan mereka juga membantah segala hal yang terjadi karena Qadha dan Qadar Allah semata.
Muhammad Abduh mengatakan bahwa sebagaimana manusia tahu akan wujudnya tanpa memerlukan bukti apapun, begitu pulalah ia mengetahui adanya perbuatan atas pilihan sendiri dalam dirinya. Hukum alamlah yang menentukan adanya perbuatan atas pilihannya sendiri itu dalam diri manusia. Meskipun Muhammad Abduh ketika ditanya apakah ia beraliran Mu’tazilah atau Asy’ariyah ia menjawab, dengan jawaban bahwa ia tidak taqlid kepada siapapun. Namun pendapatnya sangat sesuai dengan faham Mu’tazilah, yang mempunyai pendapat sama persis dengan pendapat Muhammad Abduh tersebut.
Menurut aliran ini, perbuatan manusia itu sebenarnya adalah perbuatan Allah SWT dan manusia hanya memperoleh (al-Maktasib) perbuatan dari Allah.
Menurut al-Asy’ary, yang dimaksud al-kasb atau al-muktasib ialah berbarengan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Artinya perbuatan itu baru terlaksana jika sesuai dengan kehendak Tuhan. Sehingga dapat dilihat bahwa yang berpengaruh dan efektif dalam mewujudkan perbuatan manusia adalah Tuhan, dan bukan manusia itu sendiri, dalam artian perbuatan manusia baru efektif jika sesuai dengan kehendak Tuhan.

B. Perbuatan Tuhan
Masalah ini juga mengandung beberapa pendapat berkaitan dengan perbuatan Tuhan, semisal apakah perbuatan Tuhan yang mutlak tanpa batas atau ada batas-batas tertentu sehingga Tuhan dapat saja menjadi tidak berkuasa mutlak.
Disini akan dijelaskan pendapat aliran-aliran mengenai hal tersebut :
1. Aliran Mu’tazilah
Aliran ini berpendapat bahwa setiap yang bisa ada tidak ada disebut sifat aktifa, seperti menjadikan, memberi rizqi, berbicara dan lain-lain. Sifat-sifat itu baru, sifat zat bagi mereka hanyalah dua, yaitu ilmu dan qudrad, yaitu sifat dimana Tuhan tidak bisa disifati dengan sebaliknya. Selain itu aliran ini berbeda pendapat menenai apakah perbuatan Allah SWT itu berakhir atau tidak ? tentang hal ini mereka terpecah menjadi dua.
Jaham Ibn Shafwan berangapan bahwa perbuatan Allah itu semisal masalah neraka dan surga yang diciptakanNya akan berakhir berbeda dengan neraka itu tidaklah berakhir.

2. Aliran Asy’ariyah
Aliran ini berpendapat bahwa sifat aktifa ialah sifat yang apabila tidak ada, maka tidak mengharuskan adanya sifat-sifat lawan. Seperti menghidupkan, menjadikan dan memberi rizqi. Sifat-sifat aktifa adalah baru.
Jadi dapat dipahami bahwa masalah surga dan neraka misalnya maka keduanya setelah dicipta maka bisa saja dia tidak berakhir dalam artian kekal atau abadi.
3. Aliran Maturidy
Aliran ini berpendapat bahwa sifat aktifa adalah qadim, seperti sifat za juga, semua sifat aktifa terkumpul dalam satu sifat yaitu takwin.

C. Antropomorphisme (Musybbihah)
Antropomorphisme adalah meletakkan sifat-sifat manusia kepada yang bukan manusia atau kepada Allah. Istilah ini juga dipakai untuk memberi gambaran tentang sifat Tuhan dengan sifat-sifatnya dalam bentuk manusia.
Berbicara mengenai Antropomorphisme menjadi amat menarik ketika ternyata ada beberapa pendapat mengenai hal tersebut yang dikemukakan oleh beberapa aliran dalam teologi Islam.

1. Aliran Musyabbihah (Antropomorphisme)
Aliran ini dengan tegas menyatakan bahwa Tuhan adalah jisim, bahkan seperti manusia, beranggota badan, berarah, bergerak dan sebagainya. Sebagaimana yang sudah dipahami oleh pihak gereja Kristen yang menggambarkan sosok Tuhan serupa dengan manusia dan mengajukannya kepada manusia dalam rupa antrofomorfis. Dibawah pengaruh gerejalah mereka dibesarkan dengan mengkosekuensikan Tuhan sama dengan manusia dan bentuk fisik lainnya.
2. Aliran Ulama Kalam
Aliran ini menyatakan tegas-tegas kebalikannya, yaitu Tuhan tidak mungkin berupa manusia (Antropomorphisme), karena kita manusia, tidak dapat mengetahui Allah dan menentukan sifat-sifat yang sebenarnya kecuali dengan menggunakan Tasbih (persamaan) dengan (makhluk) dan tanzih (pensucian). Akan tetapi harus diakui bahwa Tuhan tidak pantas berjism seperti keadaan makhluk-makhluk.
3. Aliran Ibnu Rusyd
Menurut aliran ini persoalan kejismian, semisal Antropomorphisme, termasuk soal yang tidak di singgung-singgung syara’ hanya dalam beberapa nash syara’ lebih condong menetapkan kejismian daripada meniadakannya, menurut Ibnu Rusyd kita dalam hal ini harus mengikuti syara’ yaitu tidak usah membicarakannya. Kalau ada yang bertanya haruslah dijawab dengan firman Allah :

Terjemahnya :
”Tiada sesuatu yang menyamainya, ia Maha Mendengar dan Maha mengetahui”. (QS. As-Syura : 11).

D. Melihat Tuhan
Melihat Tuhan secara substansi berkaitan erat mengenai persoalan tubuh atau jism, juga hal itu terkait oleh persoalan arah dan kedudukan atau posisi, hal ini mengundang aliran-aliran dalam Islam untuk lebih mempelajari dan mengemukakan pendapat yang walau secara pasti mereka mendasar pendapatnya berdasar pada ayat Al-Qur’an namun ternyata hasil penelitian dan pendapat mereka berbeda antara aliran yang satu dengan aliran pemikiran yang lain. Bentuk perbedaan hasil I’tibar mereka itu akan diuraikan sebagai berikut :

1. Aliran Mu’tazilah
Pendapat mereka dalam soal melihat Tuhan dapat diduga sebelumnya, yaitu mengingkari sama sekali, karena mereka selalu memegang teguh prinsip dan menganut pikiran yang masuk akal.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan golongan ini untuk meligitimasi pendapat mereka, berdasar akal dan syara’. Alasan-alasan akal pikiran:
a. Kalau Tuhan bukan jisim, ia tidak kalau tidak berarah, ia tidak bisa dilihat manusia, karena sesuatu yang dilihat harus ada pada arah tertentu dan orang yang melihat.
b. Untuk dapat melihat diperlukan syarat-syarat, antara lain sinar dan yang dilihat berwarna. Hal-hal ini tidak mungkin terdapat pada Allah.
Alasan-alasan Syara’ :
Firan Allah dalam al-Qur’an:

Terjemahnya :
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-An’am : 103)

Bagi pengikut aliran Mu’tazilah ayat tersebut di atas adalah ayat yang muhkam, sedang ayat-ayat lainnya yang berlawaan lahirnya, dianggap mutasyabih yang harus ditakwilkan.
2. Aliran Asy’Ariyah
Pengikut aliran ini bahwa Tuhan mempunyai arah, karena itu tidak ada kesulitan untuk memungkinkan adanya penglihatan kepada Allah di akhirat nanti, bukan di dunia.
Alasan yang dikemukakan adalah dalil dari al-Qur’an pada surah al-Qiyamah ayat 22-23:

Terjemahnya:
Wajah-wajah orang-orang mu’min pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.

Ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa melihat tersebut akan terjadi dengan mata kepala. Adapun dari dalil aqli dikemukakan oleh al-Ghazali yang mengungkapkan bahwa sesuatu yang dilihat, tidak harus ada pada arah tertentu dari orang yang melihat. Seorang dapat melihat dirinya pada cermin, cermin itu bukan dirinya juga tidak bertempat pada cermin yang ada dimukanya. Pendapat ini bisa dianggap sebagai refresentatif dari pendapat Asy’ariyah karena al-Ghazali termasuk salah satu dari aliran asy’ariyah bahkan sangat berjasa mengembangkan aliran ini.
3. Aliran al-Maturidiah
Pendapatnya sepintas sama dengan Asy’ariyah, yang berpendapat bahwa melihat Tuhan di Akhirat tidak memerlukan syarat-syarat material untuk dapat dilihat mata kepala, seperti cahaya, warna, arah dan sebagainya. Jadi, menurut Ibnu Rusyd mengemukakan melihat Tuhan kepada orang banyak adalah perbuatan yang bid’ah, mereka tidak dapat menerima diyat terhadap sesuatu yang bukan benda, bagaimanapun juga macamnya diyat itu cukuplah diyakini bahwa Tuhan itu cahaya langit dan bumi, sesuai dengan ketentuan nas syara’ agar mereka tidak janggal menerimanya.

E. Kalamullah
Pembahasan mengenai Kalamullah (perkataan Allah) menjadi pembicaraan yang menarik disebabkan oleh banyaknya asumsu atau pendapat aliran-aliran teologi dalam Islam, misalnya apakah perkataan Allah itu qadim atau abadi sama dengan qadimnya Allah SWT sendiri, yang merupakan sumber dari perkataan tersebut.
Dalam tulisan berikut ini akan dijelaskan dari aliran-aliran yang ada dalam teologi Islam berkaitan dengan masalah Kalamullah itu, juga dalil yang dikemukakan untuk meligitimasi atau menguatkan dalil mereka yang ternyata semuanya juga berdalil dalam Al-Qur’an itu sendiri.
1. Aliran Mu’tazilah
Aliran muktazilah melihat Al-Qur’an sebagai suatu perkataan yang terdi dari huruf dan suara, artinya disamakan dengan perkataan biasa dikenal. Perkataan menyatakan pikiran yang ada pada dirinya, supaya diketahui orang lain. Kalau Al-Qur’an terdiri dari kata-kata, sedang kata-kata itu baru, maka Al-Qur’an itupun baru. Selain itu sifat qalam (Al-Qur’an) bukanlah sifat dzat, tetapi adalah salah satu sifat perbuatan (sifat aktifa) karena itu menurut mereka Al-Qur’an itu adalah makhluk. Artinya Tuhan mengadakan perkataan pada lauhul mahfudz, atau Jibril utusan-Nya.
Alasan yang dikemukakan aliran Muktazilah adalah alasan berdasar pada Al-Qur’an atau syara’ dan alasan yang bersandar pada logika akal pemikiran.
Alasanya syara’ adalah Al-Qur’an surah az-Zukhruf. 3, Hud. 1, Yusuf. 2, at-Taubah. 6, al-Baqarah. 30, sedangkan alasan dalam bentuk logika adalah sudah disepakati kaum muslimin bahwa apa yang dinamakan “Qur’an” adalah kata-kata yang dapat di dengar dan di baca dan terdiri dari surat-surat, ayat-ayat, huruf-huruf tertentu. Sudah barang tentu Qur’an tersebut kalam yang menjadi salah satu sifat Tuhan.

2. Aliran Asy’ary
Aliran ini berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah bukan makhluk, bahkan Asy’ary menyatakan bahwa tidak satupun bagian dari Al-Qur’an itu makhluk. Namun pendapat imam Asy’ary oleh pengikutnya ternyata ada yang bertentanagan pendapatnya.
3. Aliran Maturidy
Aliran ini searah dengan pendapat aliran Asy’ary yakni Al-Qur’an bukanlah makhluk. Jadi tidak perlu dikomentari lebi panjang lagi.
4. Aliran Ibnu Rusyd
Menurut pengikut aliran ini Al-Qur’an yaitu perkataan Allah, adalah qadim akan tetapi perkataan yang menyalinnya adalah baru yang diadakan oleh Tuhan, bukan oleh manusia sendiri.
5. Aliran Khawarij
Pengikut aliran ini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk sama dengan sama dengan pendapat Mu’tazilah.

On 0 komentar

PENDAHULUAN

Persoalan yang pertama – pertama timbul dalam sejarah Islam adalah masalah politik bukanlah masalah agama ataupun keyakinan.

Pada zaman kekhalifaan Usman bin ‘Affan terjadi lagi kemelut politik yang mengakibatkan terbunuhnya beliau ( Utsman Bin ‘Affan ). Peristiwa tragis yang biasa disebut al fitnah al – qubra ( fitnah besar ), merupakan awal perpecahan umat islam yang kemudin melahirkan kekacaunan yang lebih parah pada zaman Ali bin Abi Thalib. Setelah wafatnya Usman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib menjadi calon terkuat menjadi khalifah keempat. Akan tetapi Ali bin Abi Thalib mendapat tantangan dari pemuka – pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat dorongan dari Aisyah.
Tantangan kedua datang dari pihak Mu’awiyah, yang merupakan Gubernur Damaskus dan keluarga terdekat dari ‘Usman. Sebagaimana Talhah dan Zubeir, Mu’awiyah tidak mengakui kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib, ia menuntut kepada ‘Ali supaya menghukum pembunuh – pembunuh ‘Utsman, bahkan ia menuduh ‘Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu.
Karena persoalan – persoalan yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan cepat, maka terjadilah perang saudara yang dikenal dengan perang Siffin.
Setelah terjadinya perang ‘Siffin, yang membuat Mu’awiyah dan pasukannya kewalahan dan terdesak menghadapi pasukan ‘Ali sehingga bersedia untuk lari dari peperangan.
Perang yang terlanjur menelan banyak korban ribuan muslim dan berakhir dengan tahkim ( arbitrase ). Tahkim yang berlansung dengan berkesudahan turunnya Sayyidinah ‘Ali dari Khalifah dan tetapnya ‘Muawiyah yang berarti kemenangan bagi ‘Muawiyah.
Karena jalan Tahkim ( arbitrase ) ini, oleh segolongan tentara ‘Ali tidak setuju karena mereka merasa bahwa kemenangan perang akan diperoleh. Karena tidak puas dengan keadaan ini, mereka meninggalkan barisan ‘Ali dan membentuk kekuatan sendiri yang kemudian yang dikenal dengan Khawarij. Dengan alasan bahwa tahkim bertentngan dengan prinsip islam. Persoalan – persoalan yang terjadi dalam kancah politik sebagaimana yang digambarlan di atas yamg akhirnya membawa kepada timbulnya perbincangan – perbincangan teologi. Muncullah persoalan yang kafir dan siapa yang tidak kafir.
Khawarij memandang bahwa Ali, Mu’awiyah, Amr bin As, Abu Musa al – Asy’ari yang menerima tahkim ( arbiterase ) adalah kafir.

I. Pengertian Khawarij

Seperti telah dijelaskan sebelumnya di atas bahwa kaum Khawarij adalah para pengikut Sayyidina ‘Ali bin Abi Talib yang meninggalkan barisannya, karena merasa tidak puas dan setuju atas tahkim ( arbitrase ) dalam menyelesaikan permasalahan. Sebelum lebih jauh kita membahas masalah khawarij ada baiknya penulis menjelaskan terlebih dahulu pengertian khawarij itu sendiri.
Secara bahasa kata khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Dalam kamus bahasa arab dari kata kharaja, yahruju yang berarti keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan ‘Ali bin Abi Talib karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim ( arbitrase ) dari kelompok Mu’awiyah yang dikomandoi oleh ‘Amr bin Ash dalam perang siffin. Jadi, nama Khawarij bukanlah berasal dari kelompok itu sendiri. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan syurah atau para penjual, yaitu orang – orang yang menjual ( mengorbankan ) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah swt, sesuai dengan Firman Allah swt QS. Al – Baqarah : 2 / 207

Artinya :“ Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridhaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada Hamba – hambanya.
Firman Allah SWT tersebut menggambarkan adanya manusia yang rela mengorbankan dirinya untuk mencari dan mendapatkan keridhaan Allah SWT itu sendiri.

2. Ekstremitas Khawarij

Seperti yang sudah diungkap di atas, khawarij memiliki pemikiran dan sikap yang ekstrim, keras, radikal dan cenderung kejam. Misalnya sikap mereka terhadap Sayyidinah ‘Ali bin Abi Talib yang menganggap salah dalam menyetujui tahkim ( arbitrase ) dan kesalahan ini membuat ‘Ali menjadi kafir, mereka memaksa ‘Ali untuk mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat, akan tetapi ‘Ali menolak pandangan mereka dengan mengemukakan argumentasi, sehingga mereka menyatakan keluar dari pasukan ‘Ali dan kemudian melakukan pemberontakan – pemberontakan dan kekejaman - kekejaman.
Ekstremitas khawarij lainnya berpendapat bahwa, pembuat dosa besar sudah bukan orang islam lagi, tetapi telah menjadi kafir dan murtad, karena kekafirannya dan kemurtadannya itu harus dibunuh. Lambat laun bukan hanya pembuat dosa besar saja, tetapi juga pembuat dosa kecil mereka anggap telah menjadi kafir dan darahnya halal.
Dalam hal ini khawarij menyatakan menyatakan bahwa orang seperti itu bukan lagi mukmin tetapi sudah kafir, sebab menurut mereka yang disebut iman adalah ucapan dan perbuatan ( al – iman qawl wa’amal ). Akhirnya mereka menganggap islam hanya kaum khawarij saja, ummat islam lainnya yang tidak sepaham dan tidak sealiran dengan mereka adalah kafir dan boleh, bahkan wajib untuk dibunuh.
Ajaran – ajaran Islam, yang terdapat dalam Al – Qur’an dan Hadits, mereka artikan menurut lafadsnya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Olehnya itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang yang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Tidaklah mengherankan kalau kaum Khawarij dimusuhi dan diperangi umat islam lainnya.

3. Ciri – ciri Khawarij

Ciri – Ciri kaum khawarij adalah sebagai berikut :

1. Mudah mengafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka, walaupun orang tersebut adalah penganut agama Islam.

2. Islam yang benar adalah Islam yang mereka pahami dan amalkan. Islam sebagaimana yang dipahami dan diamalkan golongan Islam lain tidak benar.
3. Orang – orang Islam yang tersesat dan telah menjadi kafir itu perlu dibawa kembali ke Islam yang sebenarnya, yaitu seperti Islam yang mereka pahami dan amalkan.

4. Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sepaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih Imam dari golongan mereka sendiri. Imam dalam arti pemuka Agama dan pemuka Pemerintahan.

5. Mereka bersikap fanatik dalam paham dan tidak segan – segan menggunakan kekerasan dan pembunuhan untuk mencapai tujuan mereka.
Dari ciri – ciri khawarij di atas jelaslah bahwa menurut mereka iman itu bukan hanya membenarkan dalam hati dan ikrar lisan saja, akan tetapi setiap kegiatan yang berhubungan dengan Islam yang bertentangan dengan paham dan pemikiran mereka adalah kafir dan dosa besar. Yang walaupun khawarij dikatakan kaum yang anarkis akan tetapi mereka tetap berpegang teguh kepada allah swt karena mereka bersemboyan bahwa hukum hanya ditangan allah swt.

4. Aliran – Aliran Khawarij
Jelaslah uraian di atas, kaum khawarij adalah kaum yang tebal imannya akan tetapi sempit dan fanatik menolerir penyimpangan agama Islam menurut paham mereka, walaupun sebenarnya penyimpangan itu dalam bentuk yang kecil.
Hal ini pula yang menyebabkan kaum khawarij mudahnya terpecah menjadi golongan – golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa – penguasa Islam dan umat Islam yang ada dijaman mereka.

Berikut ini beberapa Aliran khawarij :
1. al-Muhakkimah
2. al-Azariqah
3. al-Najdah
4. al-Ajaridah
5. al-Sufriah
6. al-Ibadiah.
Dari aliran khawarij yang telah dikemukakan di atas, maka penulis akan menjelaskan dengan singkat :

1. Al – Muhakkimah
Al – Muhakkimah adalah golongan khawarij asli yang terdiri atas pengikut - pengikut ‘Ali, bagi mereka yang mengerjakan salah satu dosa besar, misalnya berzinah. Dengan demikian orang islam yang berzinah dalam faham mereka bukan lagi Islam tetapi telah menjadi kafir.

2. Al – Azariqah
Adalah golongan yang menyusun barisan baru dan besar, golongan ini muncul setelah al-Muhakkimah hancur. Golongan ini lebih radikal dibandingkan golongan al-Muhakkimah.
Al – Azariqah tidak lagi memakai term kafir, tetapi memakai term musyrik. Dan menurut mereka didalam Islam musyrik merupakan dosa terbesar, lebih dari pada kafir.
Menurut mereka yang ekstrim ini hanya merekalah Islam yang sebenarnya, orang Islam yang diluar linkungan mereka adalah kaum musyrik yang harus diperangi bahkan dibunuh.

3. Al – Najdah
Mereka adalah pengikut Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafih. Golongan ini pada awalnya ingin menggabungkan diri dengan al-Azariqah akan tetapi mereka tak sepaham dan tidak menyetujui faham al-Azariqah. Golongan al-Najdah agak moderat sedikit dibandingkan al-Azariqah, orang Islam lain bukanlah kafir ataupun musyrik, tetapi dosa kecil dalam faham mereka, kalau dikerjakan secara terus menerus akan membuat pelakunya menjadi musyrik.
Seterusnya mereka berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi tiap – tiap muslim ialah mengetahui allah dan rasul – rasulnya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya pada seluruh apa yang diwahyukan Allah swt kepada Rasul – Nya.

4. Al – Ajaridah
Mereka adalah pengikut dari ‘Abd al-Karim Ibn ‘Ajrad. Kaum al-Ajaridah adalah kaum yang bersifat lunak menurut faham mereka berhijrah bukanlah kewajiban sebagai diajarkan oleh al-Azariqah dan al-Najdah, tetapi hanya merupakan kebajikan. Dengan demikian kaum al-Ajaridah boleh tinggal di luar daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir.

5. Al – Sufriah
Pemimpin golongan ini adalah Zaid Ibn al-Asfar. Dalam faham mereka agak mirip dengan al-Azariqah. Mereka termasuk golongan yang ekstrim.
Hal – hal yang yang membuat mereka kurang ektrem dari yang lain adalah pendapat – pendapat berikut :

a. Orang sufriah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
b. Mereka tidak berpendapat bahwa anak – anak kaum musyrik boleh dibunuh.
c. Selanjutnya tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik. Ada di antara mereka yang membagi dosa besar dalan dua golongan yaitu, dosa yang sanksinya di dunia, misalnya membunuh, berzinah, kemudian dosa yang tidak ada sanksinya di dunia, misalnya, meninggalkan puasa dan sembahyang. Golongan yang pertama tidak dipandang kafir, yang menjadi kafir hanyalah golongan kedua.

d. Daerah yang tidak sepaham dengan mereka, adalah daerah yang harus diperangi, sedangkan anak- anak dan perempuan tidak boleh dijadikan tawanan.

e. Kafir dibagi dua yaitu, kafir yang mengingkari rahmat Allah swt dan kafir mengingkari Allah swt. Demikian tidak selamanya yang keluar dari Islam dikatakan Kafir.

6. Al – Ibadiah
Golongan al-Ibadiah merupakan golongan yang paling moderat yang terdapat dalam kalangan khawarij, mereka tidak memandang orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka musyrik, akan tetapi tidak pula mukmin. Namanya diambil dari ‘ Abdullah Ibn Ibad pada tahun 686 M, mereka memisahkan diri dari al-Azariqah, karena tidak sejalan dan sepaham dengan al-Ibadiah. Paham moderat mereka dapat dilihat dari ajaran – ajaran sebagai berikut :

a. Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik, tetapi kafir. Dengan orang Islam yang demikian boleh diadakan hubungan perkawinan dan hubungan warisan, syahadat mereka dapat diterima, dan membunuh mereka haram.

b. Daerah orang Islam yang tak sepaham dengan mereka, kecuali daerah orang yang mengesakan tuhan, dan tak boleh diperangi. Mengerjakan dosa besar tidak membuat orang kafir, musyrik, dan keluar dari Islam.

c. Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata, emas dan perak harus dikembalikan kepada yang punya.
Dari penjelasan-penjelasan tentang golongan-golongan khawarij maka dapatlah disimpulkan bahwa dalam kelompok khawarij yaitu golongan al- Azariqah merupakan golongan yang sangat ektrem.
Golongan al-Azariqah menganggap hanya merekalah yang sebenarnya orang islam. Dan siapa saja yang mereka jumpai dan mengaku Islam akan tetapi tidak sepaham dengan mereka ( al-Azariqah ) maka dibunuh.
Sedangkan golongan yang moderat adalah al-Ibadiah, mereka berpendapat bahwa selama orang tersebut islam dan mengakui tiada Tuhan selain Allah swt dan Muhammad rasul – Nya, maka orang tersebut tetap orang Islam, dosa sebesar apapun mereka buat tidak membuat keluar dari Islam, Ia tetap islam dan akan masuk surga apabila dosanya diampuni oleh tuhan.

5. Paham Teologi Khawarij
Sebagaimana telah diuraikan di atas, tentang aliran-aliran atau golongan – golongan khawarij, nampak bahwa yang pada awalnya aliran ini bermula pada masalah politik kemudian bergeser pada masalah teologi, karena bermula dari masalah kekhalifaan ‘Ali bin Abi Talib kemudian bertahkim ( arbitrase ) yang tidak dapat diterima oleh sebagian dari golongan ‘Ali maka mereka keluar dan menganggap ‘Ali dan pengikutnya melakukan perbuatan yang mereka anggap menyimpang dan berdosa besar bahkan dianggap kafir.

Paham-paham teologi yang dikemukakan kaum khawarij adalah sebagai berikut :

1. Paham tentang kafir
Paham kafir yang dipahami kaum khawarij berbeda dengan kafir yang umumnya dipahami oleh kaum muslimin. Misalnya kaum muhakkimah sendiri mereka memperluas hukum kafir, yang di dalamnya bukan hanya orang yang melakukan tahkim dikatakan kafir akan tetapi,
yang orang melakukan dosa besar, misalnya berzinah dan membunuh merupakan dosa besar dan merupakan perbuatan kafir.
Tetapi menurut al-Sufriah kafir terbagi dua, yaitu kafir yang mengingkari rahmat Allah dan kafir mengingkari Tuhan.

2. Paham tentang Musyrik
Istilah musyrik dalam paham teologi khawarij adalah bahwa dosa yang terbesar bukanlah kafir melainkan adalah musyrik. Misalnya kaum al-Azariqah yang sangat radikal dan ekstrem memandang dan menganggap orang musyrik itu ialah orang Islam yang tak sepaham dengan mereka. Bahkan yang sepaham dengan mereka tetapi tidak berhijrah ke daerah kekuasaan mereka juga dipandang musyrik.
Sementara kaum al-Najdah berpendapat bahwa dosa kecil yang dikerjakan secara terus-menerus akan menjadi dosa besar selanjutnya bisa jadi kafir atau musyrik.

3. Paham tentang Batas Wilayah Islam
Paham teologi khawarij selanjutnya dikembangkan ke dalam batas wilayah tertentu. Misalnya kaum al-Azariqah menilai bahwa hanya dalam daerah merekalah yang merupakan derah Islam sedangkan daerah Islam lainnya dianggap daerah kafir dan wajib untuk diperangi.
Namun terdapat juga pandangan kaum khawarij yang berpandangan lunak yaitu kaum al-Ajaridah, menurut mereka berhijrah ke lingkungan kaum khawarij hanya merupakan kebajikan atau sesuatu yang baik.
Dengan demikian kaum al-Ajaridah membolehkan tinggal di luar daerah kekuasaan dan mereka yang berada di luar daerahnya tidaklah dipandang kafir.
4. Paham Taqiah

Di kalangan khawarij paham taqiah yaitu, paham yang membolehkan merahasiakan dan tidak menyatakan keyakinan demi untuk keamanan sendiri. Dengan paham taqiah ini seseorang dibolehkan mengucapkan kata-kata dan perbuatan-perbuatan yang mungkin menunjukkan bahwa pada lahirnya ia bukan orang Islam, tetapi pada hakikatnya ia tetap menganut Islam.
Paham taqiah ini kelihatannya bertentangan dengan prinsip umum kaum Khawarij mengenai posisi dan keadaan iman. Pada umumnya kaum Khawarij menganut paham bahwa iman seseorang itu dapat bertambah dan berkurang.

5. Paham Puritanisme
Yang dimaksud dengan paham puritanisme adalah paham tentang kesucian atau kebersihan ajaran dari hal-hal yang dapat menodai kesucian dan kebersihannya itu. Misalnya Kitab al-Qur’an mereka pandang sebagai firman Allah swt yang harus berisi hal-hal yang suci, dan didalamnya tidak boleh ada ajaran yang mengandung misi mengurangi kesucian al-Qur’an itu sendri. Untuk itu mereka tidak mengakui surah yusuf sebagai bagian al-Qur’an karena mereka menganggap menodai kesucian al-Qur’an.

Dari penjelasan di atas tentang paham kaum khawarij maka dapatlah disimpulkan bahwa paham teologi yang mereka kemukakan adalah berkisar pada masalah tentang iman, kafir, musyrik, wilayah tempat tinggal dan masalah kesucian dan kebersihan kitab suci al- Qur’an. Mereka berpendapat bahwa iman dapat bertambah dan berkurang, bertambahnya iman karena perbuatan amal baik, iman berkurang karena perbuatan amal buruk.