ARAB PRA ISLAM

On Selasa, 29 November 2011 0 komentar

PENDAHULUAN
Berbicara masalah masyarakat Arab Pra Islam seyogyanya, penulisan tentang sejarah dan kebudayaan Islam oleh ahli-ahli sejarah Barat maupun Timur diawali dengan uraian tentang sejarah bangsa Arab pra-Islam. Hal ini memang terasa sangat relevan dan layak untuk dijadikan bahan diskusi dan seminar, karena mengingat negeri dan bangsa Arab adalah wilayah yang pertama kali mengenal dan menerima Islam. Adalah suatu fakta bahwa agama Islam di turunkan di Jazirah Arab, karena itu sudah barang tentu bangsa Arablah yang pertama kali mendengar, menghayati dan mengenal Islam.
Melihat kenyataan tersebut maka terasa penting untuk mengetahui keadaan masyarakat Arab pra-Islam bagi penelaahan sejarah kebudayaan Islam dan yang berkepentingan untuk mencari tau lebih banyak tentang sejarah kelahiran Islam dan kondisi masyarakat Arab Pra-Islam, yang lazim disebut masyarakat “zaman jahiliyyah”.
Sejarah perkembangan masyarakat bangsa Arab tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan Islam. Bangsa Arab adalah suatu bangsa yang diasuh dan dibesarkan oleh Islam; dan sebaliknya Islam didukung dan dikembangkan serata disebarluaskan luaskan oleh bangsa Arab.
Konteks kenyataan inilah yang menarik untuk dikaji lebih dalam untuk mengetahui keadaan bangsa Arab pra-Islam yang berkaitan dengan aspek-aspek perjalanan sejarah mereka, seperti keadaan geografis jazirah Arab itu sendiri, asal-usul, cara hidup penduduk, jenis-jenis bangsa Arab, agama dan kepercayaan, serta adat istiadat dll.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Situasi Geografi dan Asal Usul Keturunan MasyarakatArab Pra-Islam
Menurut bahasa, Arab artinya padang pasir, tanah gundul dan gersang yang tiada air dan tanamannya. Jazirah Arab dibatasi laut merah dan gurun Sinai di sebelah Barat, di sebelah Timur dibatasi teluk Arab dan sebagian besar negara Iraq bagian Selatan, di sebelah Selatan dibatasi laut Arab yang bersambung dengan lautan India, di sebelah Utara dibatasi negeri Syam dan sebagian kecil dari Negara Iraq. Luasnya membentang antara satu juta mil kali satu juta tiga ratus ribu mil.
Jazirah Arab hampir lima per-enamnya daerahnya terdiri dari padang pasir, maka sungai sangat jarang terdapat di jazirah Arab dan hanya ada Perigi atau Oase di tengah-tengah padang pasir.
Jazirah Arab terbagi atas dua bagian yakni, bagian tepi dan bagian tengah. Bagian tengah terdiri dari pegunungan yang curah hujannya sangat sedikit, penduduknya pun secara otomatis sedikit, yaitu kaum pengembara. Bagian tengah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Bagian Utara, disebut “Najed”
b. Bagian Selatan disebut “Al Ahqaf”
Sedangkan di bagian tepi, serupa dengan sebuah pita kecil yang melingkari jazirah Arab, hanya di pertemuan antara laut merah dengan lautan Hindia pita itu agak lebar. Pada jazirah Arab ini boleh dikatakan hujan turun cukup teratur, oleh karena itu penduduknya tiada yag mengembara melainkan menetap di tempatnya.
Jazirah Arab terbagi kepada lima daerah, yaitu:
1. Hijaz, kotanya adalah Makkah, Madinah dan Thaif
2. Yaman, terletak di bagian selatan; diantaranya adalah San’a yang merupakan ibukota Yaman zaman dahulu
3. Najed, terletak di bagian tengah jazirah Arab
4. Tihamah, terletak antara Hijaz dan Yaman
5. Yamamah, terletak antara Yaman dan Najed
Jika ditilik dari silsilah keturunan dan cikal bakalnya, para sejarawan membagi kaum-kaum bangsa Arab menjadi tiga bagian,yaitu :
1. Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bias dilacak secara rinci dan kompelit, seperti Ad, Tsamud, Thsam, Judais, Amlaq dll.
2. Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya’rub bin Yasyjub bin Qathan, atau disebut pula Arab Qahthaniah.
3. Arab Musta’ribah yaitu, kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma’il yang disebut pula Arab Adnaniyah.
Tempat kelahiran Arab Aribah atau kaum Qahthan adalah negeri Yaman, lalu berkembang menjadi beberapa kabilah dan suku, yang terkenal adalah dua kabilah :
a. Kabilah Himyar, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Zaid Al-Jumhur, Qadh’ah dan Sakasik.
b. Kahlan, yang terdiri dari beberapa suku terkenal, yaitu Hamdan, Anmar, Wati’, Madzhaj, Kindah, Lakham, Uzh, Aus, Khazraj dan anak keturunan Jafranah raja Syam.
Jenis-jenis bangsa Arab dipandang dari segi cara hidupnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu penduduk gurun “Badui” dan penduduk negeri “Ahlul Hadlar”. Penduduk Badui (ba’idah), yaitu orang-orang Arab yang telah lenyap jejaknya, dan tidak diketahui lagi keberadaannya kecuali karena tersebut di dalam kitab suci, seperti kaum ‘Ad dan Tsamaud. Cara hidup mereka adalah suka berpundah-pindah, mengembara untuk mencari tanah yang dapat ditanami, mata air dan padang rumput untuk menggembala binatang ternak. Sejarah bangsa Arab penduduk gurun pasir hampir tidak dikenal orang. Yang dapat kita ketahui dari sejarah mereka hanyalah yang dimulai dari kira-kira lima puluh tahun sebelum Islam.
Adapun yang sebelum itu tidaklah dapat diketahui. Hal tersebut disebabkan karena bangsa Arab penduduk padang pasir tersebut terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang selalu berperang. Peperangan-peperangan yang terjadi ditimbulkan oleh keinginan untuk mempertahankan serta memelihara kelangsungan hidup. Kondisi geografis yang demikian telah memberikan satu pemikiran bahwa siapa yang kuat sajalah yang berhak memiliki tempat-tempat yang berair dan padang-padang rumput sebagai tempat menggembalakan binatang ternak yang dimilikinya. Adapun si lemah, dia hanya berhak mati atau bersedia dijadi budak.
Sedangkan penduduk negeri adalah penduduk yang cara hidupnya menetap, tidak berpindah-pindah dan tidak mengembara. Mereka mendiami Jazirah Arab bagian tepi seperti Hijaz, Hirah, Yaman, dll. Penduduk negeri ini memiliki mata pencaharian berdagang dan bercocok tanam. Kehidupan penduduk negeri lebih teratur bila dibandingkan dengan kehidupan orang gurun. Dan mereka juga sudah mampu membangun dan mengembangkan kebudayaan, juga mereka telah mampu mendirikan kerajaan.

2. Realitas Masyarakat Jahiliyah Pra Islam.
Masyarakat Arab, sebelum kelahiran dan kerasulan Nabi Muhammad SAW., dikenal dengan sebutan jahiliyah. Jika merujuk pada arti kata jahiliyah (yang berasal dari bahasa Arab dari kata jahala yang berarti bodoh), maka secara harpiyah bisa disimpulkan bahwa masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang bodoh. Jahiliyyah biasanya dikaitkan dengan masa sebelum Nabi Muhammad s.a.w. lahir. Sesungguhnya kata Jahiliyyah sendiri adalah mashdar shina’iy yang berarti penyandaran sesuatu kepada kebodohan. Kebodohan menurut Manna’ Khalil al-Qathtan yang di kuitif oleh Lafidus dalam bukunya Sejarah Umat Islam ada tiga 3 makna, yaitu:
a. Tidak adanya ilmu pengetahuan (makna asal).
b. Meyakini sesuatu secara salah.
c. Mengerjakan sesuatu dengan menyalahi aturan atau tidak mengerjakan yang seharusnya dia kerjakan.
Pemberian nama atau istilah Jahiliyah pada masyarakat Arab bukan mengklaim bahwa masyarakat Arab bodoh dalam semua hal karena dari segi pengetahuan dan peradaban, masyarakat Arab tidak bisa disebut jahiliyyah (bodoh) dalam pengertian barbar dan primitif. Justru banyak perilaku dan pengetahuan positif yang dihasilkan mereka, yang kemudian dipelihara oleh Islam, misalnya dalam penghormatan tamu, kedermawanan, tepat janji, bersahaja dan lain-lain. Masyarakat Jahiliyah sebelum datangnya Islam adalah keseluruhan masyarakat (tidak hanya Arab), yang menjauhi nilai-nilai fitrah, yang sudah dibawa oleh para Rasul pembawa risalah tauhid. Penyempitan makna jahiliyah hanya pada masyarakat Arab pra Islam akan menimbulkan bias bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu lahir dari nenek moyang bodoh, yang jauh dari nilai-nilai.
Sebutan jahiliyah ini perlu mendapat penjelasan lebih lanjut, sebab dari situlah akan terbangun pola kontruksi terhadap masyarakat Arab masa itu, yang di dalamnya adalah juga nenek moyang Nabi Muhammad s.a.w., dan sekaligus cikal bakal masyarakat Islam. Jika masyarakat jahiliyah kita artikan sebagai masyarakat bodoh dalam pengertian primitif yang tak mengenal pengetahuan atau budaya; tentu sulit dipertanggungjawabkan, karena berdasarkan data sejarah, masyarakat Arab waktu itu juga telah memiliki nilai-nilai peradaban. Sesederhana apa pun peradaban itu. Seorang pujangga Arab Syiria, Jarji Zaidan, membagi masa jahiliyah kepada dua masa yakni:
1. Jahiliyyah pertama الجاهليه الاول)) yaitu zaman sebelum sejarah sampai abad lima masehi.
2. Jahiliyah kedua (الجاهليه الثلن) yaitu dari abad kelima masehi sampai lahir Islam.
Kalau kita perhatikan kembali, orang-orang Arab dalam kedua zaman tersebut tidak semuanya bodoh. Seorang ahli sejarah Islam terkenal Ahmad Amin dalam bukunya Muhtar Yahya mendefinisikan kata-kata Arab Jahiliyah" yaitu orang-orang Arab sebelum Islam yang membangkang kepada kebenaran, mereka terus melawan kebenaran, sekalipun mereka telah mengetahui bahwa itu benar."
Dikalangan bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan seorang keluarga dikalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan dan dijaga sekalipun harus dengan pertumpahan darah. Jika seseorang ingin dipuji dan menjadi terpandang dimata bangsa Arab karena kemuliaanya dan keberaniannya, maka dia harus banyak diperbincangkan oleh para wanita.
Karena pada zaman itu wanita dapat mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian, dan jika wanita itu mau maka dia bisa saja menyulut api peperangan dan pertempuran diantara mereka. Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita. Sedangkan kelas masyarakat yang lainnya beraneka ragam dan memiliki kebebasan hubungan antara laki-laki dengan wanita. Para wanita dan laki-laki bebas bergaul, malah untuk berhubungan lebih dalam pun tidak ada batasan. Kondisi yang lebih mengerikan lagi adalah, seorang wanita bisa bercampur dengan lima atau bahkan lebih laki-laki sekaligus. Perzinaan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Pada masa itu perzinaan dianggap suatu hal yang biasa, tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.
Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yng diluar kewajaran, seperti:
1. Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali seorang wanita, lalu laki-laki tersebut dapat menikahi wanita yang dilamarnya seketika itu pula setelah menyerahkan mas kawin.
2. Para laki-laki bisa mendatangi wanita wanita sesuka hatinya, yang disebut wanita pelacur.
3. Pernikahan istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain.
4. Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan pertempuran. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.
Hal-hal yang menyimpang diluar kewajaran selain itu adalah Poligami tanpa ada batasannya. Menikahi janda bapak mereka sendiri. Ada pula yang sangat pantas jika mereka disebut masyarakat jahiliyyah, yakni mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka yang baru dilahirkan. Penyebabnya hanya karena takut terbuka aib dan karena kemunafikannya. Mereka juga yang membunuh anak laki-laki mereka, apabila anak laki-laki mereka itu dinilai mempunyai watak penakut dan atau pengecut. Alasannya hanya karena adanya kepercayaan bahwa akan kelaparan dan mengalami kemiskinan. Walaupun adat seperti itu tidak dapat dibenarkan, namun untuk dapat memahaminya perlu dilihat motivasi-motivasi yang mendorong adanya adat seperti itu. Biarpun masyarakat Arab Pra-Islam juga memiliki rasa iba dan kasih sayang kepada anak kandungnya. Akan tetapi sifat-sifat keprimitifan mereka sebagai suku-suku pengembara, terlampau berlebihan dalam mendewa-dewakan harga diri, kehormatan dan nama baik keluarga dan kabilahnya. Perasaan takut yang berlebihan kalau-kalau di kemudian hari anak perempuannya akan mencemarkan nama baik keluarga dan kabilahnya, mengingat tata sosial pada masa itu kaum wanita hanya berkedudukan sebagai pemuas nafsu kaum laki-laki saja. Perempuan tidak memiliki hak apapun dalam menentukan nasibnya sendiri.
Dari realita di atas tampak adanya beberapa masalah yang saling bertentangan antara rasa kasih sayang sebagai orang tua kepada anaknya dengan rasa takut menghadapi hari depan. Sedangkan tingkat berpikir primitif orang Arab tidak mampu menemukan pemecahan yang tepat dan baik, maka diambillah cara yang paling mudah, walaupun hal itu berlawanan dengan rasa kemanusiaan dan hati nuraninya sendiri sebagai manusia. Dalam hal ini jelas bahwa segi-segi negatif yang ada pada tabiat dan adat istiadat orang Arab mengalahkan segi-segi positifnya.
Akan tetapi, dalam hal lain ada pula segi-segi positif sifat dan tabiatnya yang mampu mengalahkan segi-segi negatifnya. Seperti kepekaan mereka apabila harga diri, kehormatan dan kebebasannya diganggu orang, kedermawanan mereka terhadap tamu, keberanian berkorban untuk sesuatu yang dianggapnya benar, menjunjung tinggi prinsip-prinsip persamaan dan demokrasi, semuanya itu merupakan sifat-sifat yang patut dipuji.

3.Keberagamaan Masyarakat Arab Pra-Islam
Kondisi masyarakat Arab pra-Islam secara garis besar, kondisi masyarakat Arab pra-Islam bisa dikatakan lemah dan buta, dalam artian kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang. Menurut para ahli ilmu bangsa, bangsa Arab termasuk golongan bangsa sumit yakni dari keturunan “Sam bin Nuh”. Banyak para ahli sepakat bahwa tempat kelahiran keturunan Sam yang pertama adalah lembah sungai Furrat atau tanah datar yang terletak diantara sungai Tigris (Dadjlah) dan sungai Ephraat (Furrat). Dari mereka ini lahirlah bangsa Babylon dan Assiria di Iraq, Aram di Syam, ‘Ibri di palestina, Phoenicia dipantai Syam yang mengahadap Libanon, Habsy di Abesinia dan bangsa Arab dikepulauan yang disebut Djazirah Arab.
Kepercayaan bangsa Arab sebelum datangnya Islam, mayoritas mengikuti dakwah Isma’il AS yaitu menyeru kepada agama bapaknya Ibrahim AS yang intinya menyeru menyembah Allah, meng-Esakannya dan memeluk agama-Nya. Waktu terus bergulir sekian lama, hingga banyak di antara mereka yang melalaikan agama. Sekalipun begitu masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga munculnya Amr bin Luhay (pemimpin Bani Khuza’ah). Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal baik, mengeluarkan shadaqah dan peduli terhadap urusan-urusan agama. Sampai suatu saat dia mengadakan perjalanan ke Syam. Di sana ia melihat penduduk negeri Syam menyembah berhala. Dia menganggap hal itu sebagai suatu yang baik dan benar. Menurutnya, negeri Syam adalah tempat para Rasul Allah dan kitab. Sekembalinya dari negeri Syam dia pulang sambil membawa patung HUBAL dan meletakkannya di ka’bah dan mengajak penduduk Makkah untuk membuat persekutuan terhadap Allah. Ajakan yang disampaikan membuat banyak penduduk Hijaz yang mengikutinya karena dia dianggap sebagai ulama’ besar dan wali Allah yang disegani. Ada tiga berhala yang paling besar yang ditempatkan pada saat itu ditempat tempat tertentu untuk dijadikan media penyembahan , yaitu :
a. Manat, mereka menempatkan di Musyallal di tepi laut merah dekat Qudaid.
b. Lata, ditempatkan di Thaif.
c. Uzza, ditempatkan di Wady Nakhlah, dll.
Ditengah kemusyrikan yang semakin merebak di Hijaz, yang menjadi fenomena terbesar dari kemusyrikan bangsa Arab kala itu yakni mereka menganggap diri mereka berada pada agama Ibrahim. Berikut beberapa contoh tradisi penyembahan berhala yang mereka lakukan., seperti:
1. Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya, komat-kamit dihadapannya, meminta pertolongan tatkala kesulitan, dll.
2. Menunaikan Haji dan Thawaf di sekeliling berhala.
3. Mengorbankan hewan sembelihan demi berhala dan menyebut namanya.
4. Orang Arab juga percaya dengan pngundian nasib dengan anak panah di depan Hubal, mereka juga percaya pada peramal, orang pintar dan ahli Nujum.
Ada juga penduduk Arab yang menyembah matahari dan bulan. Mereka berpendapat bahwa bulan dan bintang-bintang meminta cahaya dari matahari. Buruk atau baiknya nasib alam bergantung dari belas kasihan matahari. Mereka juga mendirikan kuil-kuil penyembahan atau pemujaan matahari .
Sekalipun masyarakat Arab Jahiliyyah seperti itu, ternyata masih ada sisa-sisa agama Ibrahim dan mereka sama sekali tidak meninggalkannya, seperti pengagungan terhadap ka’bah, Thawaf di sekelilingnya, Haji, Umrah, Wuquf di Arafah dan Mudzalifah.
Semua gambaran agama dan kebiasaannya adalah syirik dan penyembahan terhadap berhala menjadi kegiatan sehari-hari. Sementara sebelum itu sudah ada agama Yahudi, Masehi, Majusi, Nasrani dan Shabi’ah yang masuk ke dalam masyarakat Arab. Itulah agama-agama yang ada pada saat detik-detik menjellang kedatangan Islam di Arab. Namun agama-agama itu sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang yang mengaku beragama Ibrahim, justru keadaannya melenceng jauh dari perintah dan larangan Syariat Ibrahim.
Semua agama dan tradisi bangsa Arab pada masa itu, keadaan orang-orang musyrik. Musyrik hati, kepercayaan, tradisi dan kebiasaanya hampir serupa.