PERBANDINGAN ALIRAN

On Rabu, 16 Februari 2011 1 komentar

(Perbuatan Tuhan, Perbuatan Manusia,
Antropomorfisme, Melihat Tuhan dan Kalamullah)

A. Perbuatan Manusia
Merupakan permasalahan polemis dikalangan umat Islam, terutama menyangkut hubungannya dengan perbuatan Tuhan, apakah manusia melakukan perbuatannya sendiri atau tidak ? kalau Tuhan ”campur tangan” dalam perbuatan manusia, sejauhmana intervensi Tuhan tersebut?
Disini akan diketengahkan pendapat masing-masing aliran mengenai hal tersebut.
1. Aliran Jabariah.
Menurut aliran ini, manusia tidak berkuasa, atas perbuatannya yang menentukan perbuatan manusia itu adalah Tuhan, karena itu manusia tidak berdaya sama sekali untuk mewujudkan perbuatannya baik atau buruk.
Paham Jabariah sebagaimana dikemukakan di atas adalah paham yang dilontarkan oleh ”Jaham bin Shafwan”, tokoh utama Jabariah. Pendapat Jaham bin Shafwan tentang perbuatan manusia tersebut dianggap paham Jabariah ekstrim sebab dalam paham tersebut manusia tidak punya andil sama sekali dalam perbuatannya, semua ditentukan oleh Tuhan.
Selain hal tersebut, ada juga paham Jabariah moderat, yang dikembangkan oleh Husan bin Najjar, Dhirar bin Amr dan Hafas alfardi, menurut mereka perbuatan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh Tuhan. Tetapi manusia punya andil juga dalam mewujudkan perbuatannya.
2. Aliran Qadariah
Menurut aliran ini, manusia mempunyai iradhat (kemampuan berkehendak dan memilih) dan qudrad (kemampuan untuk berbuat). Menurut paham ini Allah SWT memberikan manusia sejak lahirnya dengan qudrad dan iradhat, suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya sendiri dengan akal dan ajaran agama sebagai pedoman dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa menurut paham ini Tuhan tidak campur tangan dalam perbuatan manusia. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan itu.
3. Aliran Mu’tazilah
Menurut aliran ini, masalah perbuatan manusia ini sesuai dengan paham Qadariah. Bahkan menurut Prof. DR. Ahmad Amin, kaum Qadariah sering dinamakan Mu’tazilah karena mereka sependapat bahwa manusia mempunyai kemampuan mewujudkan tindakan dan perbuatannya, tanpa campur tangan Tuhan mereka juga membantah segala hal yang terjadi karena Qadha dan Qadar Allah semata.
Muhammad Abduh mengatakan bahwa sebagaimana manusia tahu akan wujudnya tanpa memerlukan bukti apapun, begitu pulalah ia mengetahui adanya perbuatan atas pilihan sendiri dalam dirinya. Hukum alamlah yang menentukan adanya perbuatan atas pilihannya sendiri itu dalam diri manusia. Meskipun Muhammad Abduh ketika ditanya apakah ia beraliran Mu’tazilah atau Asy’ariyah ia menjawab, dengan jawaban bahwa ia tidak taqlid kepada siapapun. Namun pendapatnya sangat sesuai dengan faham Mu’tazilah, yang mempunyai pendapat sama persis dengan pendapat Muhammad Abduh tersebut.
Menurut aliran ini, perbuatan manusia itu sebenarnya adalah perbuatan Allah SWT dan manusia hanya memperoleh (al-Maktasib) perbuatan dari Allah.
Menurut al-Asy’ary, yang dimaksud al-kasb atau al-muktasib ialah berbarengan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Artinya perbuatan itu baru terlaksana jika sesuai dengan kehendak Tuhan. Sehingga dapat dilihat bahwa yang berpengaruh dan efektif dalam mewujudkan perbuatan manusia adalah Tuhan, dan bukan manusia itu sendiri, dalam artian perbuatan manusia baru efektif jika sesuai dengan kehendak Tuhan.

B. Perbuatan Tuhan
Masalah ini juga mengandung beberapa pendapat berkaitan dengan perbuatan Tuhan, semisal apakah perbuatan Tuhan yang mutlak tanpa batas atau ada batas-batas tertentu sehingga Tuhan dapat saja menjadi tidak berkuasa mutlak.
Disini akan dijelaskan pendapat aliran-aliran mengenai hal tersebut :
1. Aliran Mu’tazilah
Aliran ini berpendapat bahwa setiap yang bisa ada tidak ada disebut sifat aktifa, seperti menjadikan, memberi rizqi, berbicara dan lain-lain. Sifat-sifat itu baru, sifat zat bagi mereka hanyalah dua, yaitu ilmu dan qudrad, yaitu sifat dimana Tuhan tidak bisa disifati dengan sebaliknya. Selain itu aliran ini berbeda pendapat menenai apakah perbuatan Allah SWT itu berakhir atau tidak ? tentang hal ini mereka terpecah menjadi dua.
Jaham Ibn Shafwan berangapan bahwa perbuatan Allah itu semisal masalah neraka dan surga yang diciptakanNya akan berakhir berbeda dengan neraka itu tidaklah berakhir.

2. Aliran Asy’ariyah
Aliran ini berpendapat bahwa sifat aktifa ialah sifat yang apabila tidak ada, maka tidak mengharuskan adanya sifat-sifat lawan. Seperti menghidupkan, menjadikan dan memberi rizqi. Sifat-sifat aktifa adalah baru.
Jadi dapat dipahami bahwa masalah surga dan neraka misalnya maka keduanya setelah dicipta maka bisa saja dia tidak berakhir dalam artian kekal atau abadi.
3. Aliran Maturidy
Aliran ini berpendapat bahwa sifat aktifa adalah qadim, seperti sifat za juga, semua sifat aktifa terkumpul dalam satu sifat yaitu takwin.

C. Antropomorphisme (Musybbihah)
Antropomorphisme adalah meletakkan sifat-sifat manusia kepada yang bukan manusia atau kepada Allah. Istilah ini juga dipakai untuk memberi gambaran tentang sifat Tuhan dengan sifat-sifatnya dalam bentuk manusia.
Berbicara mengenai Antropomorphisme menjadi amat menarik ketika ternyata ada beberapa pendapat mengenai hal tersebut yang dikemukakan oleh beberapa aliran dalam teologi Islam.

1. Aliran Musyabbihah (Antropomorphisme)
Aliran ini dengan tegas menyatakan bahwa Tuhan adalah jisim, bahkan seperti manusia, beranggota badan, berarah, bergerak dan sebagainya. Sebagaimana yang sudah dipahami oleh pihak gereja Kristen yang menggambarkan sosok Tuhan serupa dengan manusia dan mengajukannya kepada manusia dalam rupa antrofomorfis. Dibawah pengaruh gerejalah mereka dibesarkan dengan mengkosekuensikan Tuhan sama dengan manusia dan bentuk fisik lainnya.
2. Aliran Ulama Kalam
Aliran ini menyatakan tegas-tegas kebalikannya, yaitu Tuhan tidak mungkin berupa manusia (Antropomorphisme), karena kita manusia, tidak dapat mengetahui Allah dan menentukan sifat-sifat yang sebenarnya kecuali dengan menggunakan Tasbih (persamaan) dengan (makhluk) dan tanzih (pensucian). Akan tetapi harus diakui bahwa Tuhan tidak pantas berjism seperti keadaan makhluk-makhluk.
3. Aliran Ibnu Rusyd
Menurut aliran ini persoalan kejismian, semisal Antropomorphisme, termasuk soal yang tidak di singgung-singgung syara’ hanya dalam beberapa nash syara’ lebih condong menetapkan kejismian daripada meniadakannya, menurut Ibnu Rusyd kita dalam hal ini harus mengikuti syara’ yaitu tidak usah membicarakannya. Kalau ada yang bertanya haruslah dijawab dengan firman Allah :

Terjemahnya :
”Tiada sesuatu yang menyamainya, ia Maha Mendengar dan Maha mengetahui”. (QS. As-Syura : 11).

D. Melihat Tuhan
Melihat Tuhan secara substansi berkaitan erat mengenai persoalan tubuh atau jism, juga hal itu terkait oleh persoalan arah dan kedudukan atau posisi, hal ini mengundang aliran-aliran dalam Islam untuk lebih mempelajari dan mengemukakan pendapat yang walau secara pasti mereka mendasar pendapatnya berdasar pada ayat Al-Qur’an namun ternyata hasil penelitian dan pendapat mereka berbeda antara aliran yang satu dengan aliran pemikiran yang lain. Bentuk perbedaan hasil I’tibar mereka itu akan diuraikan sebagai berikut :

1. Aliran Mu’tazilah
Pendapat mereka dalam soal melihat Tuhan dapat diduga sebelumnya, yaitu mengingkari sama sekali, karena mereka selalu memegang teguh prinsip dan menganut pikiran yang masuk akal.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan golongan ini untuk meligitimasi pendapat mereka, berdasar akal dan syara’. Alasan-alasan akal pikiran:
a. Kalau Tuhan bukan jisim, ia tidak kalau tidak berarah, ia tidak bisa dilihat manusia, karena sesuatu yang dilihat harus ada pada arah tertentu dan orang yang melihat.
b. Untuk dapat melihat diperlukan syarat-syarat, antara lain sinar dan yang dilihat berwarna. Hal-hal ini tidak mungkin terdapat pada Allah.
Alasan-alasan Syara’ :
Firan Allah dalam al-Qur’an:

Terjemahnya :
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-An’am : 103)

Bagi pengikut aliran Mu’tazilah ayat tersebut di atas adalah ayat yang muhkam, sedang ayat-ayat lainnya yang berlawaan lahirnya, dianggap mutasyabih yang harus ditakwilkan.
2. Aliran Asy’Ariyah
Pengikut aliran ini bahwa Tuhan mempunyai arah, karena itu tidak ada kesulitan untuk memungkinkan adanya penglihatan kepada Allah di akhirat nanti, bukan di dunia.
Alasan yang dikemukakan adalah dalil dari al-Qur’an pada surah al-Qiyamah ayat 22-23:

Terjemahnya:
Wajah-wajah orang-orang mu’min pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.

Ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa melihat tersebut akan terjadi dengan mata kepala. Adapun dari dalil aqli dikemukakan oleh al-Ghazali yang mengungkapkan bahwa sesuatu yang dilihat, tidak harus ada pada arah tertentu dari orang yang melihat. Seorang dapat melihat dirinya pada cermin, cermin itu bukan dirinya juga tidak bertempat pada cermin yang ada dimukanya. Pendapat ini bisa dianggap sebagai refresentatif dari pendapat Asy’ariyah karena al-Ghazali termasuk salah satu dari aliran asy’ariyah bahkan sangat berjasa mengembangkan aliran ini.
3. Aliran al-Maturidiah
Pendapatnya sepintas sama dengan Asy’ariyah, yang berpendapat bahwa melihat Tuhan di Akhirat tidak memerlukan syarat-syarat material untuk dapat dilihat mata kepala, seperti cahaya, warna, arah dan sebagainya. Jadi, menurut Ibnu Rusyd mengemukakan melihat Tuhan kepada orang banyak adalah perbuatan yang bid’ah, mereka tidak dapat menerima diyat terhadap sesuatu yang bukan benda, bagaimanapun juga macamnya diyat itu cukuplah diyakini bahwa Tuhan itu cahaya langit dan bumi, sesuai dengan ketentuan nas syara’ agar mereka tidak janggal menerimanya.

E. Kalamullah
Pembahasan mengenai Kalamullah (perkataan Allah) menjadi pembicaraan yang menarik disebabkan oleh banyaknya asumsu atau pendapat aliran-aliran teologi dalam Islam, misalnya apakah perkataan Allah itu qadim atau abadi sama dengan qadimnya Allah SWT sendiri, yang merupakan sumber dari perkataan tersebut.
Dalam tulisan berikut ini akan dijelaskan dari aliran-aliran yang ada dalam teologi Islam berkaitan dengan masalah Kalamullah itu, juga dalil yang dikemukakan untuk meligitimasi atau menguatkan dalil mereka yang ternyata semuanya juga berdalil dalam Al-Qur’an itu sendiri.
1. Aliran Mu’tazilah
Aliran muktazilah melihat Al-Qur’an sebagai suatu perkataan yang terdi dari huruf dan suara, artinya disamakan dengan perkataan biasa dikenal. Perkataan menyatakan pikiran yang ada pada dirinya, supaya diketahui orang lain. Kalau Al-Qur’an terdiri dari kata-kata, sedang kata-kata itu baru, maka Al-Qur’an itupun baru. Selain itu sifat qalam (Al-Qur’an) bukanlah sifat dzat, tetapi adalah salah satu sifat perbuatan (sifat aktifa) karena itu menurut mereka Al-Qur’an itu adalah makhluk. Artinya Tuhan mengadakan perkataan pada lauhul mahfudz, atau Jibril utusan-Nya.
Alasan yang dikemukakan aliran Muktazilah adalah alasan berdasar pada Al-Qur’an atau syara’ dan alasan yang bersandar pada logika akal pemikiran.
Alasanya syara’ adalah Al-Qur’an surah az-Zukhruf. 3, Hud. 1, Yusuf. 2, at-Taubah. 6, al-Baqarah. 30, sedangkan alasan dalam bentuk logika adalah sudah disepakati kaum muslimin bahwa apa yang dinamakan “Qur’an” adalah kata-kata yang dapat di dengar dan di baca dan terdiri dari surat-surat, ayat-ayat, huruf-huruf tertentu. Sudah barang tentu Qur’an tersebut kalam yang menjadi salah satu sifat Tuhan.

2. Aliran Asy’ary
Aliran ini berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah bukan makhluk, bahkan Asy’ary menyatakan bahwa tidak satupun bagian dari Al-Qur’an itu makhluk. Namun pendapat imam Asy’ary oleh pengikutnya ternyata ada yang bertentanagan pendapatnya.
3. Aliran Maturidy
Aliran ini searah dengan pendapat aliran Asy’ary yakni Al-Qur’an bukanlah makhluk. Jadi tidak perlu dikomentari lebi panjang lagi.
4. Aliran Ibnu Rusyd
Menurut pengikut aliran ini Al-Qur’an yaitu perkataan Allah, adalah qadim akan tetapi perkataan yang menyalinnya adalah baru yang diadakan oleh Tuhan, bukan oleh manusia sendiri.
5. Aliran Khawarij
Pengikut aliran ini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk sama dengan sama dengan pendapat Mu’tazilah.

1 komentar:

Herianti IAIN BONE mengatakan...

Thanks...ijin copy...!

Posting Komentar